Kupang, Vox NTT-Aksi kawin tangkap yang direkam dan menjadi viral di media sosial ramai diperbincangkan khalayak massa baik di NTT maupun di kancah nasional.
Peristiwa itu menimpa R, perempuan asal Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Sumba Tengah, pada pekan lalu, Selasa (16/6/2020).
Dalam video berdurasi 30 detik tersebut, R diringkus oleh beberapa pria dan dibawa paksa ke rumah N (28), laki-laki yang akan menikahinya.
Tampak 5 lelaki tanpa menggunakan baju memboyong R masuk ke rumah N.
Realitas kawin tangkap juga terjadi di terminal Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Dalam video yang beredar, seorang perempuan dijemput paksa, lalu diboyong beberapa lelaki yang mengenakan pakaian adat. Perempuan tersebut berusaha melepaskan diri, namun usahanya gagal dan hanya mampu menangis.
Pada 6 Desember 2019 lalu, praktik kawin tangkap menimpa seorang perempuan berinisial M. Kala itu, M sedang duduk di depan kos. Tiba-tiba gerombolan warga memboyongnya secara paksa ke suatu tempat untuk dipertemukan kepada W, lelaki yang akan dinikahinya.
Berdasarkan penulusuran VoxNtt.com melalui pantauan media, berikut beberapa fakta dan opini terkait aksi Kawin Tangkap yang marak terjadi di Sumba.
Viral ‘Kawin Tangkap”, Ini Beragam Jenis Perkawinan dalam Masyarakat Adat Sumba
Pertama, Dijemput atau Diringkus Paksa
Korban kawin tangkap dijemput paksa oleh beberapa lelaki. Mereka memboyong si perempuan untuk dibawa ke rumah lelaki atau rumah adat.
Perempuan yang menjadi korban tak hanya dijemput paksa dari rumah tetapi juga di area publik seperti pasar dan terminal.
Meski berusaha melawan, para perempuan ini nyatanya tidak berdaya karena dikeroyoki pelaku lapangan.
Tak hanya itu, para korban juga kerap disembunyikan di rumah pelaku yang ingin mengawininya dan dijaga agar tidak melarikan diri.
Kedua, Ritual Memasuki Rumah
Setelah diringkus dan dibawa ke rumah lelaki atau rumah adat, seorang perempuan yang menjadi korban kawin tangkap mengikuti ritual memasuki rumah. Ritual ini bertujuan untuk menenangkan hati si perempuan.
Fakta ini terkuak dalam kasus yang menimpa Citra (nama samaran) pada tahun 2017 lalu.
“Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi tapi kena di kepala,” ungkapnya seperti dilansir dari BBC.com.
Air yang dimaksud Citra bukan sembarang minuman. Air tersebut mengandung unsur magic yang dapat menenangkan hati perempuan.
Jika sebelumnya korban menolak untuk kawin, setelah minum dan disirami air tersebut akan berubah pikiran dan menerima lelaki yang akan dinikahinya itu.
Ketiga, Memicu Pro-Kontra
Pengamat dan peneliti budaya menyebut fenomena kawin tangkap bukan budaya Sumba. Hal itu diungkapkan Frans Wora Hebi. Menurut dia, yang menjadi budaya itu adalah ritual kawin dengan mengikuti prosedur budaya yang berlaku.
Proses peminangan seorang perempuan kata dia, disampaikan dalam tutur kata yang halus atau metafora.
Sebagai contoh, si lelaki biasanya menanyakan kepada orang tua perempuan seperti ini, “Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?”
Jika permintaan itu dikabulkan oleh orang tua dan anak perempuan yang hendak dipinang, proses selanjutnya adalah peminangan resmi.
Sebaliknya menurut Frans, Menurut Frans, ‘kawin tangkap’ adalah praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya dan untuk menghindari tindakan hukum.
Meski demikian, sebagian masyarakat memandang ‘kawin tangkap’ sebagai budaya tradisional.
Tradisi itu memang terjadi pada zaman dahulu. Biasanya pelaku kawin tangkap adalah orang yang berada dan terpandang di masyarakat.
Keempat, Perempuan Mengalami Trauma
Korban kawin paksa mengalami trauma akibat dipermalukan di depan publik. Tak hanya itu, korban juga mendapat stigma buruk di masyarakat. Mereka dianggap tidak menghormati adat jika melawan dan melepaskan diri dari penangkapan. (VoN).