Pengantar Redaksi
Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat, dua bulan belakangan diwawancarai Pius Rengka secara sporadik. Disebut sporadik karena wawancara itu berlangsung dengan pola ngobrol dan diskusi di beberapa tempat dan waktu berbeda pada periode Juni hingga Juli. Tetapi materi diskusi pun beraneka tema berbeda.
Meski demikian, tema pembangunan mendapatkan prioritas tertinggi karena terkait dengan tonggak pedoman arah kepemimpinannya. Misalnya, terkait mimpi pria kelahiran Oenesu, Kabupaten Kupang, 17 Februari 1965 itu, tentang masa depan provinsi yang dipimpinnya ini. Juga ditanyakan kisah hidupnya. Entahkah terkait relasi keluarga atau tentang jalan hidupnya.
Serial wawancara sporadik itu, tidak luput ditanyakan perihal gaya bicaranya yang lugas, spontan, terus terang, bahkan terkesan “kasar”. Wawancara diselingi obrolan santai, selepas rapat kunjungan kerja Juni hingga pekan pertama Juli 2020. Dibagikannya pula warna-warni kisah mobilitas vertikal yang dialami sepanjang ziarah hidupnya.
Suami anggota DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat ini, merantau ke Jakarta tahun 1991. Kisah itu perlu diceriterakan ringkas di sini karena meski ayah tiga pria ini adalah Gubernur, tetapi dia toh manusia nan biasa dari keluarga sederhana. Ia lahir dari rahim rakyat jelata.
Pulau Semau tempat di mana ibu kandungnya bermukim adalah gambaran riil dari pulau penuh pilu yang terlupakan. Betapa tidak. Semau yang terletak tak jauh dari tepi selatan barat daya Pulau Timor itu dapat diitempuh 30 menit dengan sebuah speedboat. Pulau Semau, seolah diciptakan Tuhan dari sisa tanah liat yang dihempas begitu saja secara tak sengaja ke tengah samudra tanpa maksud membentuk nusa tersendiri. Tetapi begitulah. Justru di tengah gambaran derita pulau itu, lekukan pelukan pantai nan elok seperti dirias laut membiru, dipadu buih ombak yang melumat perlahan pelan di bibir pantai itu. Semau lalu kemudian terkesan semacam Firdaus mungil di tengah laut Sawu. Bahkan ada yang menyebutnya sebuah surga mungil di tepi buih riak ombak Laut Sawu.
Pulau Semau dililit pantai berpasir putih. Seolah darinya terberi narasi bisu tentang kisah empat gadis cantik rupawati telanjang dada berbaring terkurung dalam dekapan delapan pria berhasrat jauh.
Di tempat inilah, Victor dibesarkan. Ia memiliki kisah hidup susah bukan main sebagaimana umumnya rakyat jelata di situ. Kehidupan sangat keras di alam terbuka dan terluka. Ia menggantang derita sepanjang remaja. Dia menelan pil pahit getir kemiskinan. Dia bahkan selalu dihajar para seniornya, meski tak pernah berbuat salah. Meski keluarganya dari garis keturunan bangsawan Helong, tetapi nasib sejarah hidupnya tak selalu membawa untung. Keras dan penuh duka.
Gubernur Viktor berdialog di dua tempat di Pulau Rote. Pertama, diajak ngobrol di keheningan malam di Hotel Nembrala Beach. Kedua, di Cottage Mulut Seribu. Cara bicara dan isi pikirannya pun tak bebas dari pengaruh jejaring konteks dan perspektif lokal, nasional, regional dan bahkan global. Dunia ini telah menjadi “kampung” global.
Wawancara lain dilakukan di Otan dan Pantai Liman, Pulau Semau. Di Pulau Flores wawancara berlangsung di Labuanbajo. Bahkan saat sedang mendaki bukit Pulau Padar atau saat minum kopi santai lepas senja di café Hotel Plataran. Di Ruteng, Reo, Pota, Riung, Mbay dan Ende, wawancara dengan pola ngobrol dan diskusi. Berikut ini adalah petikannya.
Pertanyaan (T): Anda tampak mulai lelah ya urus ini NTT?
Jawab (J): Tidaklah. Biasa saja. Namanya juga kerja, harus serius, focus dan disiplin. Rakyat NTT memandatkan saya dan Kak Josef Nae Soi jadi gubernur dan wakil gubernur. Itu berarti rakyat menugaskan kami untuk segera memecahkan masalah rakyat. Jadi, kami harus kerja serius dan tuntas. Tidak boleh santai. Apalagi waktu yang disediakan Undang-undang lima tahun.
T: Memang apa impian Anda agar NTT keluar dari kemiskinan akut itu?
J: Saya pikir impian saya dan Kak Josef sudah termaktub dan terangkum terang dan jelas dalam teks NTT Bangkit NTT Sejahtera. Visi misi sudah terangkum dalam ungkapan itu.
T: Dalam beberapa pidato dan sambutan Anda selalu menyebut kata fokus dan disiplin. Boleh dijelaskan maknanya, bukan sekadar makna denotatif, tetapi makna konotatifnya?
J: Begini. Pembangunan itu adalah perubahan terencana untuk kemakmuran rakyat. Pembangunan apa pun harus fokus dan disiplin seturut focus yang dipilih. Fokus pembangunan yang dipilih berawal dari pencermatan tentang profil masalah dasar yang dihadapi provinsi NTT. Untuk perubahan signifikan diperlukan tahapan jelas dan terukur. Dari satu tahapan ke tahapan lain harus dapat diramalkan apa yang mungkin terwujud. Dari kondisi existing ke tahapan modern harus terukur jelas. Asumsinya, jika masalah mendasar dipecahkan dengan tepat, maka masalah ikutan lain yang ditimbulkan oleh masalah dasar itu akan ikut berubah. Dengan kata lain, Anda harus fokus pada pemecahan problem pokok masyarakat NTT karena dengan demikian banyak masalah lain ikut terpecahkan. Maka tahapan pembangunan pun mengarah dan diarahkan ke pembebasan rakyat dari kemiskinan, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
T: Apa Anda yakin masalah kemiskinan NTT segera tuntas dalam waktu relatif singkat seturut jangka waktu politik 5 tahun?
J: NTT disebut provinsi termiskin dan terkorup ketiga di Indonesia. NTT juga provinsi penyakit. Konon, NTT merupakan ‘hypermart’ semua jenis penyakit yang tidak disukai umat manusia di seluruh dunia. Nah, pertanyaannya, apa masalah pokoknya? Dan, mengapa korupsi justru meluas di provinsi miskin ini? Karena itulah, saya dan Kak Josef harus temukan profil masalah utamanya atau masalah kunci di provinsi ini. Setelah masalah inti ditemukan, maka seluruh energi tersedia focus untuk mengatasi masalah itu. Jika kita fokus, maka tak ada jalan lain kecuali disiplin pada fokus yang dipilih dengan dukungan anggaran yang aksesibel dengan pemecahan masalah. Jangan ke mana-mana lagi. Karena itu, tidak semua sektor dan dinas dikerjakan serempak. Pasti ada dinas yang kurang diperhatikan terutama dari aspek anggaran.
T: Jika demikian, apakah berarti banyak dinas dan instansi tak kebagian anggaran pembangunan?
J: Saya suka mengutip ungkapan Inggris yang mengatakan: “Everything is nothing, focusing is something”. Artinya, kita tidak mau terjebak membangun semua sektor pada kesempatan yang sama, karena hal itu berarti kita harus membagi anggaran sedikit-sedikit kepada semua instansi. Padahal kita sadari hasilnya akan sedikit-sedikit juga, bahkan mungkin tidak ada atau tidak ngefek. Akibatnya kosong melompong. Lebih baik kita focus memecahkan masalah dasar dengan dukungan anggaran sebesar-besarnya agar penyebab utama kemiskinan terpecahkan. Implikasi empriknya jelas yaitu sesuatu yang sangat berarti bagi rakyat. Hasilnya tampak jelas. Misalnya, bangun jalan provinsi. Harus dikerjakan semuanya, bukan dicicil satu kilometer tiap tahun. Itu artinya kita butuh 270 tahun untuk menyelesaikan semuanya.
Masalah pokok kita adalah kemiskinan. Tetapi kemiskinan yang fenomenal itu, tentu ada sebabnya yang lebih mendasar.
T: Lalu apa masalah kunci atau masalah pokok itu?
J: Secara fenomenal umum masalah pokok kita adalah kemiskinan. Tetapi kemiskinan yang fenomenal itu, tentu ada sebabnya yang lebih mendasar. Teoretik disebut kemiskinan disebabkan kurang atau tiadanya akses dan kontrol rakyat terhadap kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, budaya dan politik. Lalu, mengapa akses dan kontrol itu kurang bahkan tidak ada? Akses dan kontrol itu kurang karena minusnya kepedulian pemerintah terhadap seluruh sumber daya kemakmuran yang masih potensial di NTT. Kemakmuran itu bersumber dari pertanian perkebunan, peternakan, perikanan dan pariwisata. Hal itu diperparah lagi karena infrastruktur jalan raya buruk sekali. Jaringan jalan raya provinsi sangat jelek. Padahal common sense kita tahu, status terberi (given) NTT adalah provinsi kaya.
Kaya apa? Ya, kaya sumber daya alam, kaya sumber daya manusia. Saya percaya banyak orang pandai dan cerdas di NTT, tetapi orang cerdas dan pandai itu kurang peduli terhadap penderitaan rakyat. Jadi NTT pun miskin kepedulian, miskin keberpihakan terhadap kaum lemah yang terpinggirkan. Jika demikian, masalah pokok NTT adalah nihil kepedulian pemerintah terhadap sesama yang berimpilkasi jamak, meski berada dalam selimut potensi sumberdaya yang berlimpah.
T: Apa lagi kekayaan NTT?
J: Kita kaya obyek wisata. Nyaris hampir semua pantai di NTT indah tak ada duanya di dunia. Ekowisata NTT sangat unik dan beragam. Laut pun kaya luar biasa.
Medio Agustus akan melakukan panen perdana garam industri di Kabupaten Kupang. Kita buat sejarah, kita pelaku sejarah. Garam industri ini digunakan untuk memenuhi kepentingan pasar domestik negara kita dan untuk kepentingan eksport. Garam konsumsi domestik rumah tangga pun kini dikembangkan antara lain di Mbay, Nagekeo.
T: Jika demikian apa problem selama ini?
J: Meski banyak kekayaan NTT itu ada persis di depan mata kita, tetapi pemerintah dan elemen sosial lain tak peduli pada potensi yang ada. Intervensi pembangunan lemah karena para pemimpin ingin memuaskan semua pihak di birokrasi. Lalu, anggarannya dibagi sedikit-sedikit yang penting semua dapat. Akibatnya, kekayaan NTT berhenti sebagai potensi karena tidak dikelola maksimal. Potensi ekonomi yang ada atau yang eksisting tidak berubah menjadi benda ekonomi yang memproduksi kemakmuran. Kemiskinan sesungguhnya fenomena akut dari waktu ke waktu yang memantulkan problem manusia dan ketiadaan kepedulian terhadap potensi ekonomi itu.
T: Mungkin saja pemerintah peduli, tetapi dana kurang?
J: Dana yang mengalir ke seluruh NTT tiap tahun rerata Rp. 32 triliun. Nah, dana sebesar itu ternyata tidak sanggup membebaskan NTT dari kemiskinan. Saya pikir ada problem pada grand design pembangunan. Design tidak fokus sehingga anggaran pun disebarkan ke mana-mana dan serba sedikit-sedikit. Prinsipnya atau cara piker para pengambil kebijakan publik ialah berusaha memuaskan semua pihak meski tidak semua pihak berubah. Maka siginifikansi pembangunan tidak berpengaruh besar dan luas. Buruk sekali.
T: Mengapa begitu?
J: Pembangunan yang dikerjakan di desa, kabupaten dan provinsi tidak focus karena tak ada design yang jelas itu tadi. Prinsipnya kan anggaran dibagi demi menyenangkan semua pihak di birokrasi. Karenanya dana dibagi sedikit-sedikit ke semua sektor dan dinas. Hasilnya? Kita semua sama tahu. Hasil pembangunan tidak ngefek atau gak nendang. Perubahan signifikan berskala besar tak tampak. Itulah sebabnya saya suka mengutip ungkapan Inggris: Everything is nothing, focusing is something. Jadi, pembangunan harus focus dan semua pihak harus disiplin ketat mengikuti focus itu.
Saya focus pada urusan di beberapa sektor kemakmuran. Yaitu pertanian, perikanan, peternakan dan pariwisata yang didukung infrastruktur yang handal.
T: Jika Anda mengatakan focus dan disiplin, lalu apa focus Anda untuk konteks pembangunan agar NTT segera berubah wajah dari profil miskin ke profil provinsi sejahtera?
J: Saya focus pada urusan di beberapa sektor kemakmuran. Yaitu pertanian, perikanan, peternakan dan pariwisata yang didukung infrastruktur yang handal. Anda tidak mungkin bicara pariwisata tanpa 5A, yaitu atraksi, akomodasi, aksesibilitas, amenitas dan awareness. Lima A itu saling terkait satu dengan lainnya atau kita sebut bersifat sine qua non. Nah, untuk itu, pertanian, perikanan, peternakan dan pariwisata sulit berkembang baik tanpa kucuran dana yang kuat serta jaringan jalan raya yang baik. Saya kira NTT akan tampak berbeda nanti mulai tahun 2021 ketika jalan raya provinsi sudah selesai tuntas, ikan kerapu di Waikelambu Riung mulai bertambah (targetnya 3 juta ekor ikan kerapu) begitu pun ikan kerapu di Mulut Seribu, Rote (tergetnya 10 juta ikan kerapu). Begitu pun ketika pabrik garam industry berjalan normal dan geliat pariwisata NTT akan bergelombang besar tahun 2023.
T: Bolehkah Anda konkritkan logika semua sektor itu?
J: Di bidang pertanian, misalnya, kita menanam jagung dan kelor di atas lahan 10.000 hektar. Sebaran lahan jagung dan kelor itu ada di sejumlah kabupaten di NTT. Saya menyebut tanam jagung panen sapi. Logikanya simple. Jika lahan pertanian dikelola secara modern dengan bibit jagung yang bermutu baik, maka tiap hektar lahan menghasilkan rerata minimal 4 sampai 5 ton. Harga jual jagung dikonversi ke harga sapi/ekor, Anda hitung sendiri. Jagung yang dihasilkan tidak hanya dikonsumsi rakyat, tetapi juga dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Sapi dapat dijual dengan harga cukup prospektif karena sapi yang kita miliki tidak lagi sapi kelas biasa, tetapi sapi yang harganya sangat menjanjikan kemakmuran. Saya tahu persis pasarannya di dunia. Demi sukses pertanian, sejak awal hingga proses pengelolaannya harus dikawal ketat oleh dinas terkait. Itulah sebabnya, saya membutuhkan tim kerja yang handal. Saya selalu menekankan prinsip kerja tim sehingga saya mendorong terbentukanya Super Team bukan Super Man. Nah, karena itu tekad itu, maka pembangunan memang harus fokus dan disiplin tinggi, supaya impact jelas dan kelihatan kasat mata. Sedangkan di sektor perikanan, tahun 2020 awal telah ditebar satu juta ikan kerapu di Waekelambu, Riung, Ngada. Panen perdananya, direncanakan September 2020. Opsi maksimal jumlah ikan kerapu yang ada di perairan Waekelambu sampai tahun 2023, mencapai 3 juta ekor. Ikan sebanyak itu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun eksport.
Pengelolaannya diserahkan kepada koperasi rakyat sekitar yang didampingi para profesional. Begitu pun pengembangan ikan kerapu di perairan Mulut Seribu, Rote. Sedikitnya 10 juta ekor kerapu akan dikembangbiakkan di situ. Silakan dihitung. Berapa kiranya keuntungan para petani atau rakyat setempat jika ikan kerapu itu dijual dengan rerata untung terendah Rp. 100/ekor. Saya prediksi perputaran uang di Waekelambu, rerata Rp. 300 milyard/tahun. Di perairan Mulut Seribu Rp. 1 triliun/tahun.
Lalu, langkah berikut ialah menciptakan rantai nilai (value chain) dan supply chain untuk mendapatkan nilai lebih dan rantai suplai dari ikan kerapu itu sendiri. Di sinilah arti penting, ucapan saya tentang keterkaitan (linkages) pertanian, perikanan dan infrastruktur serta pariwisata itu. Untuk itu, saya pastikan, bahwa infrastruktur jalan provinsi harus tuntas dikerjakan paling lambat awal tahun 2022. Tapi saya mau lebih cepat yaitu 2021, jalan provinsi tuntas dengan mutu jalan terandalkan. Jalan lintas utara Flores, yang menghubungkan Labuanbajo hingga Maumere pasti ditangani sangat serius, termasuk mendesak pemerintah pusat untuk menuntaskan bagian jalan yang menjadi tanggung jawab mereka. Saya tidak main-main dengan hal itu. Saya kira jika semua rencana ini sesuai scenario besar ini, maka tak ada kata miskin lagi. Semua elemen bergerak, dan berubah.
Saya selalu tekankan, perbedaan cara pikir orang kaya dan orang miskin itu jelas. Orang miskin mulai berpikir biaya dan bertanya dari mana duitnya, sedangkan orang kaya mulai dengan mimpi.
T: Nah, ini jelas rencana sangat besar karena menyentuh multiside. Saya sudah melihat ikan di Waekelambu dan pesona multiside di Mulut Seribu. Saya juga lihat dan rasakan jalan buruk di pesisir utara Flores. Lalu, darimana duit untuk membiayai rencana besar itu?
J: APBD Provinsi NTT jelas tak sanggup menalangi skema program pembangunan itu, terutama di infrastruktur jalan raya. Untuk itulah pemerintah harus pinjam. Jangan khawatir dengan pinjam uang. Anda tahu, pinjam uang itu basisnya trust. Saya tahu cara mengembalikannya. Coba hitung dan bandingkan dengan perolehan hasil yang pasti dimungkinkan oleh pembangunan infrastruktur, pertanian, perikanan, peternakan dan pariwisata kita. Logika bisnis harus niscaya dalam pemerintahan saya dan Kak Josef Nae Soi. Anda sebaiknya tidak berpikir dengan cara berpikir pemerintahan miskin yang gemar berpaling ke masa lampau.
Saya selalu tekankan, perbedaan cara pikir orang kaya dan orang miskin itu jelas. Orang miskin mulai berpikir biaya dan bertanya dari mana duitnya, sedangkan orang kaya mulai dengan mimpi. Apa yang harus dikerjakan agar NTT jadi kaya. Karena bagi orang kaya, mencari uang itu langkah terakhir setelah perumusan mimpi jelas dan membangun grand design menuju mimpi itu. Nah, mimpi dan grand design harus koheren agar kita focus di situ dan disiplin dengan focus. Jangan ke mana-mana. Focus saja.
T: Lalu, apa konsep pokok Anda tentang pariwisata sebagai prime mover pembangunan NTT?
J: Begini, pariwisata itu adalah suatu imajinasi tentang ekspektasi (harapan) kenikmatan manusia. Jika pariwisata adalah suatu imajinasi tentang ekspektasi manusia, maka pengalaman wisatawan merupakan klimaks kepuasan pribadinya atas realitas suguhan obyek wisata dengan segala dimensi ikutannya. Jika demikian, pembangunan pariwisata adalah suatu upaya untuk membantu mewujudkan imajinasi dan ekspektasi kenikmatan yang diidamkan para wisatawan. Lalu apa yang diidamkan itu? Yang diidamkan ialah pengalaman unik karena keindahan alam, eksotisme panorama pantai, keunikan kultural yang sangat berbeda, kesenian khas yang ditampakkan melalui karya seni manusia NTT dan kuliner yang khas pula.
Ikutannya tentu saja, kita sebut sebagai rantai nilai dan rantai suplai yang membuncahkan mobilisasi kemakmuran. Itulah yang saya sebut pariwisata sebagai prime mover itu. Konsep itu saya peroleh setelah saya melanglang buana ke mana-mana ke seluruh dunia. Saya simpulkan NTT seharusnya jauh lebih unggul karena potensi wisata NTT sangat khas dan unik. Sayangnya, sekian lama daerah ini tidak diurus baik.
Bersambung ke Bagian Kedua: