*) Cerpen Latrino Lele
Mengenal gadis itu membuatku candu. Ia sungguh manis setiap kali senyum rindu tersungging di bibirnya. Ia nyaris membuatku tidak bisa tidur semalaman suntuk hanya karena paras manisnya yang selalu terngiang di kepalaku. Bahkan hari-hariku telah dilumuri oleh paras manisnya yang aduhai. Aku terpikat dengan seluruh keutuhan pesonanya.
Dea, sapaan manja gadis itu. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak perjumpaan pertama di warung kopi milik bi Inah. Apakah ini namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin demikian.
***
Di waktu senja dengan hembusan angin timur menerpa mesranya meninggalkan jejak dingin yang begitu tajam meliuk menusuk pori-poriku. Aku tak kuasa menahan dinginnya. Begitu pun Romi temanku. Sebagai solusinya aku dan Romi mencari dan merasakan kehangatan di warung kopi bi Inah sewaktu pulang kuliah sore. Kalau bukan datang menikmati suguhan kopi hitam yang menghangatkan jiwa di setiap tegukannya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan kami kala suasana senja yang dingin seperti ini. Aku dan Romi memilih untuk duduk di meja paling pojok. Entah kenapa aku dan Romi begitu bersahabat dengan meja di pojok itu. Bahkan kami merasakan kenyamanan tersendiri berada di tempat itu. Rasanya sudah tak sabar untuk menyeruput kopi hitam buatan bi Inah yang terkenal akan kenikmatan itu. Penuh kehangatan yang menyegarkan pikiran. Bi Inah pasti memiliki resep rahasia yang membuat kopi hitam di warungnya memiliki kekhasannya tersendiri. Maka tidak diherankan lagi jika warung bi Inah sangat ramai dikunjungi para peminat kopi.
Bagi kami minum kopi adalah sebuah kebutuhan yang tak mungkin dilewatkan dalam sehari pun. Apa lagi kopi buatan bi Inah. Mungkin Anda adalah seorang yang paling rugi jika sudah berkunjung di kota ini, tetapi tidak menyuguhkan kopi buatan bi Inah. Kopi buatan bi Inah memang sungguh mantap bagi siapa pun yang menyeruputnya.
Faktor lain karena dibuatnya dengan penuh cinta sehingga rasanya lebih dari enak juga nikmat. Bagiku bi Inah seperti ibuku sendiri. Aku merasakan kehangatan cinta ibu di setiap tegukan kopi hitam buatan bi Inah. Maklumlah aku tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang seorang ibu. Aku hanya tinggal dengan ayahku sejak kecil. Aku tak tau ke mana ibuku pergi. Ayahku hanya bilang ibuku telah lama pergi meninggalkan kami. Aku sendiri sempat marah-marah dengan sikap ibuku yang tega meninggalkan kami.
Tetapi entahlah buat apa dikenang lagi itu hanya luka lama yang telah aku lepas. Aku tak mau ia terus membekas dalam hatiku. Dan hanya membuatku mati terpuruk oleh kerinduan yang tak terwujud akan kehadiran ibuku. Aku sendiri pun telah memaafkan ibuku yang pergi tanpa tinggal jejak itu.
Sambil menunggu dua cangkir kopi hitam yang sudah dipesan, Romi mengeluarkan kretek surya pro dan menyulutnya sebatang tak tahan dengan hawa dingin yang kian mencengkam. Begitu pula denganku menyulut sebatang dan menyembulkan asap yang menyerupai awan-awan kecil yang imut di atas kepalaku. Kami bercerita banyak hal terkait materi kuliah juga nostalgia semasa kami kecil. Terkadang kami tertawa pecah di senja itu ketika ada momen lucu yang diceritakan. Kami begitu antusias untuk saling bertukar cerita. Bagiku Romi adalah sahabat terbaikku. Kami sudah berteman sejak kecil sampai sekarang sudah menjadi mahasiswa semester lima. Sungguh merupakan waktu yang lama. Persahabatan kami sudah terikat sangat erat. Mungkin lebih erat dari ikatan benalu pada tumbuhan yang menjadi mangsanya. Tidak dapat dipisahkan lagi. Dalam keasyikan bercerita kami dikejutkan oleh suara sopran yang lembut dan menggetarkan raga.
Kak… ini kopi hitamnya, suara lembut nan mesra itu mengusik perbincangan aku dan Romi. Aku menatap dalam gadis di sampingku itu. Sungguh gadis ini seperti seorang bidadari yang selalu setia datang di setiap mimpi-mimpiku kala aku terlelap. Aku terpukau pada gadis di sampingku ini. Ia sungguh cantik menawan. Aku jatuh cinta padanya, gumamku dalam hati.
Oh.. terima kasih banyak, jawabku begitu antusias sambil menyambar dua gelas kopi hitam pada dulang yang dibawanya. Gadis itu langsung pergi meninggalkan kami.
Ini bukan mimpi kan? Aku bertanya pada Romi yang sudah tak sabar menyeruput kopi hitam itu. Ah… mimpi kamu bilang, ada-ada saja kamu Ino, balas Romi sedikit kesal dengan pertanyaan konyolku. Mungkin engkau sudah mabuk dengan aroma kopi hitam buatan bi Inah yang sungguh nikmat itu, lanjut Romi ngeledekku. Bukan, maksudku aku melihat bidadari yang mengantarkan kita kopi hitam. Maksud kamu, gadis yang sedang bercakap-cakap dengan bi Inah itu bukan? Apakah kamu jatuh cinta padanya, Romi berapi-api menyahutku. Iya mungkin aku jatuh cinta padanya, aku kagum padanya, Ia sangat cantik, manis parasnya, balasku lebih antusias. Iya… gadis itu memang sungguh cantik, Romi juga memuji keanggunan gadis itu.
Senja terlalu cepat berlalu. Malam dengan gagahnya mendekap bumi dengan kesunyiannya. Kopiku juga kopi Romi tinggal ampas di dasar gelas bergambar bunga mawar. Kami telah puas dengan hidangan kopi di senja ini dibarengi cerita yang tak pernah habis antara aku dan Romi. Tapi senja ini ada yang berbeda. Aku berjumpa dengan bidadari yang selalu datang dimimpi-mimpi indahku. Dia gadis itu yang mengantar kami kopi hitam. Aku telah candu dibuatnya. Inginku terus menatapnya yang selalu menyunggingkan senyum ramah di bibirnya. Ia ramah kepada siapa saja dengan menebar senyumnya yang bersahabat. Itu kekhasan gadis itu.
Gadis itu telah pergi entah ke mana membawa keranjang berisi gelas kotor. Sementara itu Bi Inah sendiri sibuk mengurusi meja yang berantakan di warungnya. Romi juga bergegas membantu bi Inah membereskan beberapa meja yang berantakan. Aku juga demikian membantu bi Inah dan Romi. Pada kesempatan itu aku pun berniat menanyakan kepada bi Inah perihal gadis yang baru saja pergi.
Bi, gadis tadi yang membantu bi Inah itu siapa yah?, aku bertanya penuh harap. Oh.. itu Dea anakku yang barusan lulus SMA di kota sebelah. Sekarang Ia membantu bibi di warung kopi ini nak Ino, jawab bi Inah semangat. Begitu yah… kok bi Inah tak pernah bercerita tentang anak ibu Dea kepada kami. Pasti sekarang ibu sekeluarga sudah bahagia bisa berkumpul dengan anaknya. Bi Inah tidak menyahut, aku lihat wajahnya berubah menjadi sendu hendak menitikkan air mata. Seolah kata-kataku yang terucap meluncur begitu tajam menusuk ulu hatinya. Membuka lembaran kepahitan nostalgia yang telah dikubur lama. Maaf bi… aku tidak bermaksud membuat bi Inah sedih, aku coba menenangkan bi Inah. Tidak apa-apa nak, bi justru sangat senang dengan kalian berdua yang selalu membantu bibi. Juga menghibur bibi dengan gurau dan canda kalian. Kalian anak-anak yang baik.
***
Keseringan berjumpa dengan Dea membuat kami semakin dekat dan tampak lebih akrab. Aku diam-diam telah menaruh rasa cinta yang dalam kepada Dea. Sejujurnya aku sudah lama jatuh cinta kepadanya. Kalau tidak salah sejak aku berjumpa pertama kali dengannya ketika Ia mengantarkan kopi hitam di warung ibunya. Kala itu di waktu senja. Mungkin hanya Tuhan dan aku sendiri yang mengetahui betul perasaanku saat itu.
Mengenai keakraban kami. Aku sendiri bisa merasakan bahwa Dea juga memiliki rasa yang sama denganku. Aku bisa melihat dari matanya. Seorang yang menaruh cinta yang tulus kepadaku. Sungguh tatapan matanya tidak pernah bisa berbohong perihal perasaannya kepadaku. Pada suatu momen indah di taman kota setelah aku memberinya bunga, aku pun mengungkapkan rasa cintaku kepada Dea. Seperti yang aku duga Dea dengan senang hati menerima cintaku. Kami menjadi sepasang kekasih. Bi Inah sendiri merestui hubungan kami begitu pun dengan ayahku. Asalkan kami tetap jaga diri dan tidak putus kuliah. Aku sendiri sudah memasuki semester akhir. Dan Dea memasuki semester empat. Kami kuliah di kampus yang sama.
***
Pada suatu momen perkumpulan keluarga besar ayah. Bi Inah dan Dea diundang untuk turut berpartisipasi dalam acara keluarga tersebut. Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya pada kesempatan ini juga antara aku dan Dea resmi bertunangan. Diketahui oleh kedua keluarga besar aku dan Dea.
Sungguh di luar firasatku momen yang seharusnya penuh canda tawa dan kebahagiaan. Menjadi momen kepahitan juga bercampur bahagia bagiku. Aku sendiri bingung untuk mengekspresikan perasaanku. Ternyata bi Inah adalah ibuku. Sosok yang aku rindukan selama ini untuk berjumpa. Merasakan kehangatan pelukannya yang mesra. Ia berpisah dari ayah ketika aku berumur tiga tahun. Saat itu bi Inah sedang mengandung Dea yang masih tujuh bulan dalam rahimnya. Ia pergi meninggalkan ayah sebab merasa tidak layak menjadi istri dari seorang suami yang begitu baik dan bertanggung jawab seperti ayahku. Ia terpaksa meninggalkan ayah setelah diketahui dirinya hamil oleh lelaki hidung belang yang tidak bertanggung jawab.
Malam itu menjadi sunyi ikut menitikkan air matanya. Air mata bi Inah juga ayah tidak dapat dibendung lagi di pelupuk mata mereka. Air mata itu mengalir dengan gesit berderai membasahi pipi mereka. Mereka berpelukan begitu erat menuntaskan rindu yang membuncah selama ini. Tangisan haru pecah di malam ini.
Air mataku berderai menatap haru kebahagiaan kedua orang tuaku yang kini berjumpa lagi. Mengenai Dea, seakan aku tidak bisa mengafirmasi kenyataan akan seperti ini. Aku tak menyangka ternyata Dea adalah adikku. Meskipun kami beda ayah, tetapi aku dan Dea berasal dari rahim yang sama. Yakni dari rahim bi Inah. Aku sudah terlanjur cinta kepadanya. Telah membayangkan indahnya hidup bersamanya selamanya. Aku bisa merasakan apa yang Dea rasakan. Ia pasti tersiksa sepertiku. Sekarang aku mencintai Dea hanya sebagai saudariku. Iya karena memang Dea saudariku.
Ruang Imajinasi, 25 Juli 2020
*Identitas Penulis
Nama Yohanes Latrino Lele, asal kampung Bokogo. Sekarang kuliah di STFK Ledalero dan menetap di Biara Scalabrinian, Maumere. Penyuka kopi, karena dari minum kopi lahirlah banyak inspirasi.