Betun, Vox NTT- Belum lama ini, dua politisi senior Kabupaten Malaka, Adrianus Bria Seran dan Devi Hermin Ndolu menyampaikan pesan moral menjelang Pilkada 9 Desember 2020 mendatang.
Pesan itu untuk menghindari potensi konflik antar-kubu di Kabupaten yang sedang dipimpin Bupati Stefanus Bria Seran itu.
Keduanya berharap agar berpolitik secara normal dan berpatokan pada budaya khas Malaka, Sabete – Saladi.
Adrianus Bria Seran sendiri adalah Ketua DPD II Partai Golkar Malaka, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD setempat. Sedangkan, Devi Hermin Ndolu adalah ketua DPC PDI Perjuangan Malaka, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD setempat.
Pesan moral keduanya hadir di tengah tensi politik kubu petahana dan penantang meninggi jelang Pilkada 9 Desember 2020 mendatang.
Pantauan VoxNtt.com, saling serang di media sosial atau media lainnya tidak terhindarkan lagi
Saling hujat, saling hina bahkan sampai mengeluarkan kata-kata mutiara yang kurang etis, menghiasi dinding group baik di WhatsApp maupun di Facebook.
Berikut hasil wawancara VoxNtt.com dengan tokoh Diaspora Malaka, Benyamin Mali terkait budaya Sabete-Saladi, Jumat (25/07/2020)
1. Apa pendapat Anda tentang imbauan Devi Ndolu sebagai Ketua DPC PDIP dan Adrianus Bria Seran sebagai Ketua DPD II Partai Golkar kepada masyarakat Malaka untuk memanfaatkan budaya Wesei-Wehali dan Sabete-Saladi dalam menyongsong Pilkada 9 Desember nanti?
Imbauan kedua beliau itu sah-sah saja dan wajar. Sebagai ketua dari masing-masing partai di tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Malaka, apalagi partai-partai yang punya “kuasa-besar” dalam dunia politik Indonesia, keduanya punya kewajiban moril dan politik dan sudah seharusnya untuk jauh-jauh hari menciptakan iklim politik yang kondusif, yang aman-damai, jauh dari konflik. Ini tanggung jawab moral dan politik yang tidak ringan.
Pertanyaannya ialah “mengapa hanya berdua? Di mana ketua partai yang lain: PKB, Gerindra, PSI, Perindo, Hanura, Nasdem? Ada apa sehingga mereka yang lain ini tidak diajak. Sehingga imbauan itu menjadi suatu imbauan bersama dari semua kekuatan politik yang ada di Malaka, sekaligus untuk memperlihatkan kepada masyarakat kekompakan-politik di Malaka? Ada kesan “perang-dingin” dalam hal ini.
2. Menurut om, Apa sih budaya Wesei-Wehali dan Sabete-Saladi itu?
Nah ini dia! Super sekali pertanyaan ini! Sungguh elok bahwa kedua petinggi partai itu mengimbau seluruh komponen masyarakat Malaka pada umumnya, dan para tim sukses pada khususnya untuk mewarnai Pilkada Malaka nanti dengan adat budaya “Wesei-Wehali, Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek”.
Pertanyaannya ialah apakah kedua beliau itu memahami betul hakikat dari adat-budaya “Wesei-Wehali dan Sabete-Saladi” itu? Lebih dari itu, apakah keduanya sudah menghayati dan sendiri telah menerapkannya dalam berpolitik? Maafkan saya, kalau saya agak ragu! Mengapa? Karena yang satu “anak-mantu-Malaka”, sedangkan yang lain “anak-kandung-Malaka” namun masih sangat muda usianya meskipun dikenal dan disapa di seantero Malaka dengan panggilan “Bapa-Raja”.
Pertanyaan Anda memberi saya kesempatan baik untuk menerangkan adat-budaya Malaka yang luhur itu. Apa yang saya tahu dan saya katakan di sini mungkin meleset, karena saya sendiri sudah sejak 1978 tidak tinggal di Malaka, sudah lebih lama tinggal di rantau sehingga sudah lupa-lupa ingat makna dari kedua pasang ungkapan itu.
Untuk kebutuhan kita dalam kerangka Pilkada cukuplah kiranya saya terangkan ungkapan “Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek”. Ungkapan “Wesei-Wehali” yang biasa dengan lancar diucap, lain waktu saja.
Pertama: “SABETE” bisa berarti: (1) “duduk bersila”, dalam konteks “bicara-adat” untuk menunjukkan “sikap rendah hati, hormat, menjunjung tinggi martabat tua-tua adat lain yang hadir”; efek samping dari sikap ini ialah anda sendiri sebagai “orang yang sedang bicara” akan dihargai balik oleh semua yang hadir, lantaran anda sudah lebih dahulu menunjukkan sikap menghargai, menghormati, menjunjung tinggi (“Makneter–Hakneter”) tua-tua ada lain yang hadir; (2) bisa berarti “kata-kata Anda ketika bicara hendaknya lembut, halus, tidak tajam, tidak kasar” (“Sabete” – “Sai Mbetek”: kata-kata yang terungkap “tidak tajam, tidak kasar”; ibarat parang atau pisau, isinya tumpul, tidak tajam, namun ber-nas). Dalam konteks ini juga, nama manis untuk anak gadis “BETE” mengandung makna “anak gadis yang manis, yang lembut, baik sifatnya, lembut tutur-katanya” (Nai Bete, Seuk Bete, Bui Bete, Hoar Bete).
Kedua, “SALADI” dari kata “sai – kladik”, artinya “di luar batas atau kelewat batas”. “Kladik” itu bermakna juga “natar” (kandang). Dalam konteks “bicara-adat” atau “bicara-biasa”, orang Malaka hendaknya “jaga-batas, tahu-batas” dengan memperhatikan “lawan-bicara, partner-bicara atau partner-dialog”, dengan siapa anda bicara, apa kedudukan lawan bicara anda, berapa usianya. Status dan umur merupakan batas-batas yang harus diperhatikan dan dijaga, agar kita tidak langgar batas. Kalau “melanggar-batas” itu, maka kita akan disebut “notar-lalek” artinya “tidak tahu adat, tidak tahu aturan”.
Ungkapan “SALADI” ini semakna dengan “HAKTAEK”. Dalam konteks ini, ingat “struktur rumah panggung orang Fehan khususnya, yang bertingkat-tingkat di mana ada “labis kraik dan labis leten”. Dalam konteks “bicara-adat”, labis-leten itu adalah tempat khusus untuk orang-orang tua, tua-tua adat. Tidak pernah boleh “labis-leten” diduduki oleh orang-orang muda (mane foi-wai, mane nurak) atau oleh anak-anak mantu laki-laki (mane-fou, mane-maktama-uma). “Labis-kraik” boleh diduduki oleh anak-anak muda (mane-maklais, mane ai lais, lima lais), karena mereka harus selalu “SIAP 86” untuk mengeksekusi perintah orang-orang tua, entah untuk pergi menyampaikan undangan secara lisan atau menjemput seorang orang tua, atau apa saja yang disuruh-lakukan oleh orang-orang tua.
3. Ada relevansinya-kah budaya Wesei-Wehali dan Sabete-Saladi itu dengan isu politik Pilkada?
Pertanyaan ini berat untuk dijawab, sebab konteks keduanya berbeda. Konteks ungkapan “Wesei-Wehali, Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek” adalah adat budaya Malaka, sementara konteks “Pilkada” adalah politik, politik-praktis, politik perebutan kursi jabatan, yang penuh dengan intrik, di mana para kontestan dapat saja menghalalkan segala macam cara untuk memenangkan pertarungan.
Warna dasarnya adalah “perebutan”, yang berpotensi “kekerasan”. Bicara adat-budaya Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek dalam konteks Pilkada enak dan mudah, namun sulit sekali dalam pelaksanaannya. Lihat saja realitasnya nanti.
Namun niat kedua pimpinan partai untuk menerapkan adat-budaya “Wesei-Wehali, Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek” dalam Pilkada patut diapresiasi tinggi, kendatipun berat. Maka saran saya, di samping niat kultural yang luhur mulia itu, alangkah baiknya, kedua pimpinan partai itu bersama Bupati SBS berkomunikasi dengan semua pimpinan agama setempat untuk mengadakan “Bulan-Doa-Pilkada” menjelang Pilkada 9 Desember. Misalnya, yang sudah saya sarankan di FB saya bagi seluruh umat Katolik ialah “BERDOA ROSARIO”, entah secara pribadi maupun secara bersama seluruh umat di semua paroki Dekenat Malaka.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi
Editor: Ardy Abba