JAKARTA, Vox NTT–Anggota DPR RI Komisi IV, Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema menekankan pentingnya pengembangan sektor pertanian dan kedaulatan pangan sebagai kunci kemajuan bangsa.
Menurut Ansy, Indonesia berdaulat dalam pangan apabila secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
“Pangan adalah senjata, kunci strategis bagi kemajuan bangsa. Bila menguasai pertanian, maka suatu negara berpotensi menjadi besar. Sebaliknya bila negara bergantung pada negara lain (impor), maka itu awal keruntuhan negara tersebut. Maka negara harus hadir melalui kebijakan konkret untuk memajukan sektor pertanian. Bangsa harus berdaulat dalam pangan,” ujar Ansy Lema ketika menjadi salah satu pembicara dalam Rapat Koordinasi Bidang (Rakorbid) Pertanian DPP PDI Perjuangan yang berlangsung di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2020).
Wakil Rakyat asal Dapil NTT 2 itu menyatakan Undang Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Sistem Pangan Nasional secara eksplisit menyebutkan kedaulatan dan kemandirian pangan sebagai fondasi/spirit sistem pangan nasional.
Spirit itu harus menggerakan pengembangan produksi sektor pertanian dan pangan menuju tercapainya ketahanan pangan nasional, di mana adanya ketersediaan pangan dengan harga terjangkau dan pemanfaatannya bagi seluruh masyarakat.
Namun, secara khusus Ansy menambahkan, pembangunan sektor pertanian mestinya tidak hanya bertujuan pada ketahanan pangan, melainkan harus berorientasi pada terwujudnya kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan menekankan pentingnya aspek produksi lokal sesuai karakteristik budaya tiap daerah, mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan, mengutamakan prinsip diversifikasi pangan, serta menolak subordinasi atau dominasi sistem pangan oleh pasar global.
“Fondasi kedaulatan dan kemandirian pangan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 ingin memastikan agar setiap individu/warga negara dapat hidup sehat, aktif, produktif berkelanjutan dengan mengandalkan produksi dalam negeri sesuai karakteristik budaya lokal. Diversifikasi pangan sesuai karakteristik daerah menjadi kata kunci. Pangan juga harus tersedia untuk seluruh masyarakat dengan harga terjangkau,” terang Ansy Lema.
Realitas Pangan di Indonesia
Faktanya, sampai saat ini Indonesia masih mengalami berbagai permasalahan kompleks terkait pertanian dan pangan. Salah satu yang menonjol adalah belum meratanya ketahanan pangan.
Data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (BKP Kementan) menunjukkan ketimpangan tersebut. Daerah Bali, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Utara berturut-turut memiliki Indeks Ketahanan Pangan (IKP) tertinggi yakni 85,15; 83,63 dan 81,44 persen.
“Sedangkan urutan IKP terendah ada di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku (52,35), NTT (50,69), Papua Barat (30,12) dan Papua (25,13). Itu berarti ada belum ada pemerataan pangan di seluruh Indonesia,” beber Ansy.
Ketika dicermati, Ansy menemukan bahwa mayoritas sepuluh provinsi dengan IKP tertinggi adalah provinsi dengan produksi beras terbanyak. Misalnya, data BPS Tahun 2019 menunjukkan Jawa Tengah memproduksi beras tertinggi pertama, yakni sebesar 5,54 juta ton beras.
Demikian pun Sulawesi Selatan adalah produsen beras tertinggi keempat, yakni sebanyak 2,9 juta ton. Sedangkan daerah-daerah IKP terendah merupakan provinsi dengan produk pertanian non beras.
“Tiga provinsi dengan IKP terendah (NTT, Papua, dan Papua Barat) adalah provinsi dengan produksi pertanian non beras. Itu berarti, daerah rentan pangan adalah daerah yang bergantung pada pasokan (utamanya beras) dari wilayah dengan indeks pangan tinggi penghasil beras. Maka jelas bahwa pengembangan sektor pertanian terlalu fokus pada beras (rice oriented) yang mengakibatkan pengabaian pangan lokal. Ini saatnya melakukan diversifikasi pangan,” imbuh Ansy.
Ansy menyoroti pula problem luas sawah yang menyusut. Selama 5 tahun, dari 2015–2019, terjadi penyusutan luas sawah sebesar 628.958 hektar di 23 provinsi. Pelebaran luas sawah di beberapa wilayah tidak signifikan. Penyusutan terjadi karena alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian yang bersifat tidak produktif, seperti pertambangan.
Luas lahan sawah yang menurun mengakibatkan produksi beras menyusut. Pada 2015, produksi beras sebesar 43,82 juta ton dan 2019 sebesar 31,31 juta ton.
“Ini ditambah fakta bahwa para petani di Indonesia didominasi oleh golongan petani dengan luas lahan paling kecil. Data BPS tahun 2018 menunjukkan, petani yang memiliki lahan di bawah 0,50 hektar sebanyak 15,89 juta orang. Sedangkan petani yang memiliki lahan lebih dari 10 hektar hanya 78,6 ribu orang. Penyusutan jumlah lahan dan semakin kecilnya lahan petani sangat berpengaruh terhadap produktivitas. Apalagi saat ini kita mengalami problem regenerasi petani, di mana mayoritas petani kita sudah berusia di atas 45 tahun,” papar Ansy.
Covid-19, Momentum Kedaulatan Pangan
Pandemi Covid-19 menghadirkan masalah dan tantangan baru bagi sektor pertanian di Indonesia. Dalam konteks global, Organisasi PBB-FAO memprediksi akan adanya kerawanan pangan akut pada akhir 2020 di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Negara yang bergantung pada impor dalam pemenuhan pangannya akan terganggu. Menurut FAO, 80 juta orang yang hidup di negara impor akan terancam kecukupan pangannya. FAO memprediksi, 265 juta orang berisiko kelaparan pada 2020, serta 75 juta anak terancam stunting di 50 negara.
“Dalam konteks nasional, pandemi berakibat pada turunnya Nilai Tukar Petani (NTP). Pada Mei 2020, NTP tercatat 99,47 atau turun 0,85 persen dari April 2020 sebesar 100,17 persen. Harga pangan global juga anjlok karena menurunnya permintaan. Pandemi turut berpengaruh pada naiknya kemiskinan dan merosotnya ekonomi,” kata Ansy.
Indonesia harus mempersiapkan diri agar tidak menderita kerawanan pangan akut akibat pandemi. Karena itu Ansy berpendapat, momentum pandemi Covid-19 harus menjadi titik picu gotong royong mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan.
Negara harus mengurangi ketergantungan pada impor dan memperbaiki ketahanan pangan dalam negeri. Maka sebagai solusi, anggota Komisi IV DPR RI itu pertama-tama meminta negara agar segera melakukan diversifikasi pangan lokal. Beras tidak menjadi satu-satunya komoditi pangan. Ketahanan pangan diwujudkan melalui pemberdayaan pangan-pangan lokal yang sesuai karakteristik wilayah.
“Selain diversifikasi pangan lokal, negara perlu menekan alih fungsi lahan pertanian. Lahan pertanian tidak boleh diganti menjadi lahan non produktif, seperti pemukiman ataupun lahan investasi,” paparnya.
Sebagai langkah jangka pendek selama pandemi, Ansy mendorong pemerintah menggiatkan masyarakat untuk memanfaatkan pekarangannya guna menanam sayur ataupun pangan lokal.
Pemerintah harus membantu petani untuk membeli/menyerap hasil panen mereka. Untuk keberlanjutan produksi, pemerintah juga perlu memberikan modal kerja, seperti bibit, pupuk, dan alat-alat pertanian yang memadai. Tak kalah penting, pemerintah dapat memastikan kelancaran mobilitas atau transportasi serta distribusi pangan.
Konteks NTT
Terkait konteks NTT, Ansy berharap pemerintah dapat mengembangkan pertanian lahan kering. Pertanian di NTT berbeda dengan pulau Jawa yang dominan lahan basah.
Luas lahan kering di NTT adalah 1.331.373,00 hektar, sedangkan lahan basah hanya 214.387,90 hektar. Rasio lahan kering dan basah di NTT 1:6. Apalagi menurut data BPS September 2019, angka kemiskinan NTT tercatat 20.62% atau sebanyak 1.129.460 orang, di mana 1.020.840 orang tinggal di pedesaan, mayoritasnya petani lahan kering.
“Kemiskinan NTT adalah kemiskinan petani lahan kering. Jika mau bangun NTT, pemerintah harus bantu petani. Berikan alat berat excavator dan bantu subsidi pembukaan lahan kering. Setelah itu pemerintah harus melakukan diversifikasi pangan lokal, mengajak petani tanam ubi, jagung maupun sorgum. Rice oriented harus dihilangkan. Tanam jagung, misalnya, dengan mengembangkan varietas jagung yang tumbuh di Pulau Timor seperti Jagung Hibrida, Lamuru, Bisma, Srikandi Kuning, Srikandi Putih, dan varietas lokal Piet Kuning,” jelasnya.
Diskusi yang diselenggarakan secara vitual ini menghadirkan sejumlah narasumber lainnya, yakni Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Koperasi dan UMKM Mindo Sianipar, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pertanian, Perkebunan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan Made Urip serta pejabat Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Koperasi. Peserta diskusi adalah para kader dan struktur partai dari seluruh Indonesia. (VoN).