*) Cerpen Chan Setu
Sudah lama ayah dan ibunya menunggu waktu untuk meminang Juan dengan Dee. Keduanya sudah lama dijodohkan kedua orangtua mereka masing-masing.
“Juan pulanglah, jangan terlalu lama menetap dengan kesunyian. Ingat pesan ayah dulu. Ayah hanya memenuhi keinginanmu dengan syarat kau tak harus jadi. Ibu dan ayahmu, menyimpan segundang asa padamu. Ketika, Ria kakak perempuanmu beberapa tahun lalu dipinang oleh Lion, ayah dan ibu tahu bahwa kakakmu tak bisa ditahan untuk tinggal dirumah ini. Ia harus keluar dan pergi menetap bersama suaminya. Dan beberap bulan yang lalu kakak laki-lakimu Gus baru saja menikahi Tanti. Keduanya telah memiliki keluarganya masing-masing. Dan kau Juan, jadi satu-satunya harapan yang tumbuh subur. Sesuai rencana ayah dan ibu, rumah ini milikmu. Tanah yang telah lama digarap oleh Om Gusti dan Om Jun akan menjadi hak warismu. Asal, pulanglah. Sudah sejak 6 tahun yang lalu ayah mengirimmu pergi menemui duniamu dan sudah usai toga wisudamu, pulanglah ayah dan ibu menantimu dengan kerinduan.” Begitulah, isi surat yang diterima Juan dari Pak. Rober, seorang pegawai pos sekaligus pemilik “tedang” tempat mangkal Juan dan teman-temannya.
Juan memang ingin pulang namun waktunya belum tiba. Bukankah seorang anak akan datang kepada orangtuanya untuk meminta restu jika waktunya tiba?
Beberapa tahun yang lalu, ketika menamatkan pendidikan pada Sekolah Dasar Katolik di Desa. Juan meminta restu ayah dan ibunya untuk melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama – Sekolah Menengah Atas di lembaga pendidikan calon Imam (seminari menengah) . Kedua orang tua Juan merestuinya tanpa ambil pusing dengan seluruh proses pendidikan yang akan dijalani oleh Juan.
Selepas menamatkan Sekolah Menengah Atas, Juan meminta restu kembali untuk maju dan melamar masuk biarawan religius. Ayah dan ibunya yang seorang Katolik tulen merestui permintaan anak bungsu mereka. Namun dengan syarat “kau harus pulang. Sebab semuanya sama. Sama-sama ingin kau pulang.” Bahasa ayah dan ibu selalu tergiang di benak Juan. Sayangnya Juan terlalu egois untuk menipu nalurinya.
Pada setiap akhir semester perkuliahan Juan selalu datang berlibur di rumah orang tuanya. Setiap itu juga Ayah dan Ibu Juan selalu memberi ia pesan dengan bahasa yang sama sejak ia meminta restu untuk melanjutkan pendidikannya di Seminari Tinggi.
Juan tahu bahwa dirinya adalah putera kedua di dalam keluarga mereka dan menjadi anak bungsu dari tiga bersaudara, Ria, Gus dan ia.
di tahun ketiga liburannya, Juan mulai didesak ayah dan ibunya agar segera pulang. Pulang dan pulang. Satu kata ini menjadi rutinitas setiap kali ia ditelepon atau menelepon ayah dan ibunya. Bahkan beberapa kali, surat masuk dengan bahasa yang sudah sering dibacanya berkali-kali sejak Seminari Menengah kemarin.
Di hati Juan sendiri, ia tidak benar-benar paham tentang hidupnya. Ia selalu percaya bahwa akan tiba waktunya. Setiap kali ia menguatkan dirinya dengan kata-kata kedua orangtuannya yang selalu tergiang di telingnya ia semakin yakin bahwa pintu kemungkinan itu selalu masih terbuka. Bahka ia sadar bahwa sekali-kali keinginannya untuk meninggalkan dunianya sekarang ia benar-benar merasa kehilangan. Kehilangan atas setengah bagian dari kebahagian yang sedang dirasakan dan dinikmatinya.
Dan pada hari ini, Juan menerima surat yang ketiga di awal bulan Juni. Beberapa hari yang lalu ia baru saja menerima surat dari pembesarnya di Seminari Tinggi yang berisi balasan atas surat Lamaran Kaul dan surat selamat menjalankan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Waekomo, Kabupaten Lembata- Flores Timur. Dan baru kemarin ia menerima sebuah surat dari sahabat perempuannya Jeni yang berisi undangan untuk menghadiri upacara pernikahannya di Paroki Onekore Ende. Hari ini, ia menerima surat dari kedua orangtuanya. Surat yang sering kali ia terima bahkan Juan sering menghafal setiap bahasa yang ditulis oleh kedua orangtuanya. Dari ketiga surat tersebut hanya dua surat terakhir yang perlu bahkan harus dibalas oleh Juan.
“Jeni, maaf ya, saya tidak bisa menghadiri upacara dan perayaan pernikahanmu dengan Ances. Soalnya, banyak hal yang masih harus saya selesaikan di Maumere. Intinya, selamat ya untuk perayaan kalian berdua. Doaku selalu menyertai kalian berdua. Untuk kado dihari bahagia kalian berdua, nanti akan kukirimkan pada waktunya. Semoga berkenan dengan hadiahnya.” Ucap Juan, via telepon seluler.
“Terima kasih Juan untuk doa dan harapannya. Dan selamat menjalankan Tahun Orientasi Pastoralnya. Semoga sukses.” Sambung Jeni. Saat keduanya ingin mengakhiri telepon mereka.
Juan belum menceritakan kepada satu pun anggota keluarganya berkaitan dengan keinginannya untuk tetap menjalankan Masa Orientasi Pastoral. Hari itu, ia berkenan untuk menceritakan keinginannya. Namun hari terasa begitu panjang dan ia masih terlampau sibuk dengan segala hal berkaitan dengan perjalanannya menuju tempat TOPnya.
Sehari setelah menerima surat dari kedua orangtuanya Juan menimang-nimang untuk mengabari kedua orangtuanya. Berbagai perasaan tercampur aduk di dalam dirinya. Takut mengecewakan, takut dimarahi dan berbagai ketakutan jatuh di dalam benaknya. Ia ingin mengabari sekaligus menceritakan kepada kedua orangtuanya via telepon seluler. Namun di sisi lain ia masih terlalu takut untuk mendengar suara kaget dari kedua orangtuanya. Sehingg, Juan memilih untuk menceritakan maksudnya melalui surat. Begini ia menulis surat itu.
Teruntuk ayah dan ibu di rumah
Kemarin, saya baru saja menerima bahasa kasih dan cinta dari kalian berdua. Terasa bahagia dengan air mata yang tumpah tanpa permisi lalu pamit dan pergi serta kembali membawa kenangan. Saya selalu mengenang setiap kali senja jatuh tepat di depan teras rumah kita, ayah ibu, Kakak Ria, Kakak Gus dan saya yang sedang asyik duduk berpangku kaki sambil menyeruput kopi buatan mama dengan sepiring fillu yang sekali-kali ibu mencoba menanaknya di tungku. Paling tidak itu momen paling berarti setiap kali kalian memaksaku untuk mengenang.
Ayah dan ibu, sehat-sehat selalu kan? Saya di sini, baik-baik saja. Banyak hal yang ingin saya ceritakan namun ayah dan ibu tahu pastinya surat ini tak harus jadi sebuah buku dengan covernya yang berjudul surat buat ayah dan ibu (kelakar saja). Bagaimana keadaan keluarga Kakak Ria dan Gus? Apakah mereka sering mengunjungi ayah dan ibu di rumah? Semoga mereka punya waktu untuk berada bersama bapak dan mama di rumah.
Bapak dan mama, dari sekian banyak pengalaman yang ingin saya ceritakan di dalam surat ini mungkin hanya ada satu hal yang ingin saya ceritakan kepada bapak dan mama. Namun sebelumnya, saya harap ketika bapak dan mama membaca ini bapak dan mama harus yakin bahwa saya masih tetap milik bapak dan mama.
Begini bapak – mama, tiga atau empat hari yang lalu sebelum saya menerima surat dari ayah dan ibu. Sebenarnya saya telah menerima dua surat. Hanya saja ada satu surat yang teramat penting yang ingin saya ceritakan ini. Saya hanya ingin bapak dan mama mengiyakan keinginan saya ini. Saya ingin melanjutkan proses pembinaan dan pendidikan saya di Seminari Tinggi ini. Saya yakin bapak dan mama tahu, bahwa saya telah lulus Yudisium dan tentang toga itu sudah pasti dirayakan. Hanya saja saya ingin melanjutkan proses pembinaan ini dengan melanjutkan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Waekomo, Kabupaten Lembata – Flores Timur selama satu setengah tahun. Dan saya tidak bisa memastikan keinginan ayah dan ibu agar saya segera pulang bahkan harus pulang. Sayah hanya bisa memastikan bahwa seorang anak akan pulang ketika ia tahu kapan ia harus meminta restu kepada kedua orangtuanya. Oleh karena itu, perihal surat yang ingin saya ceritakan itu ialah surat yang berisi balasan untuk mengikrarkan kembali kaul dan selamat menjalankan Tahun Orientasi Pastoral, surat dari pembesar kami. Teruntuk itu saya minta maaf, bahwa saya belum bisa pulang dan untuk semester kali ini saya tidak bisa pulang. Saya harap bapak dan mama bisa mengamini keinginan saya ini.
Terima kasih ayah dan ibu. Salam rindu dari anak bungsu kalian. Salam kecup buat ayah dan ibu. Sekali lagi maafkan Juan. Juan tidak bisa menerima perjodohan kalian. Teruntu itu, Juan minta maaf.
Anak kalian
Juan, Juni 2020.
*Tentang Penulis
Chan Setu saat ini menetap di Wisma Arnoldus Nita Pleat, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Maumere. Penulis buku Antologi Cerpen dan Puisi “Embun Pada Sepasang Mata Lebam”