Oleh: Erna Maifani
Anggota English Writing Club (EWC) Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang
Kebijakan pemerintah mengenai pemberlakuan new normal (tatanan baru) di tengah pandemi covid-19 (penyakit virus korona 2019) sejumlah waktu lalu masih menyisakan pro dan kontra.
Ada yang setuju agar kebijakan tatanan baru terus diterapkan saja dengan syarat-syarat tertentu. Ada pula yang menyarankan kebijakan itu ditunda demi menghindari risiko yang lebih besar.
Namun, dengan didorong oleh pendapat para ahli epidemiologi dan dokter bahwa covid-19 tidak akan pernah hilang, suka tidak suka, kebijakan tersebut tetap harus dijalankan. Pemerintah tidak lagi mungkin menutup akses ekonomi secara berkepanjangan.
Pasalnya, tak sedikit pekerja yang kehilangan pekerjaan selama masa lockdown (karantina wilayah). Jumlah pekerja yang telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja ( PHK) akibat covid-19 sudah menembus dua juta orang.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK (Kompas.Com).
Kemelut ini memang menuntut adanya kearif-bijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, misalnya, pembelajaran masih tetap digelar secara daring (online) walau memang era tatanan baru telah diberlakukan.
Pembelajaran daring jauh sebelumnya telah dilakukan sejak keluarnya surat edaran Kemendikbud No.36962/MPK.A/HK/2020 tertanggal 17 Maret 2020 tentang pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran covid-19.
Di beberapa perguruan tinggi, pelaksanaan pembelajaran daring pada masa pandemi covid-19 yang sudah dimulai sejak Maret 2020 tidak begitu bejalan dengan lancar.
Ada beberapa perguruan tinggi yang tidak (belum) siap dengan pembelajaran daring karena belum memiliki sistem pembelajaran daring. Ketidaksiapan (kebelumsiapan) ini dikarenakan pembelajaran pada kondisi normal lebih kerap dilakukan secara konvensional (tatap muka).
Alhasil, para dosen juga kesulitan dalam memanfaatkan platform pembelajaran daring. Bahan ajar yang disediakan juga belum begitu optimal. Ini bukan berarti para dosen tidak berkualitas, melainkan masih harus beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran yang baru.
Masalah lainnya adalah jaringan internet di daerah tidak mendukung, atau mahasiswanya tidak memiliki perangkat untuk mengakses pembelajaran daring.
Pada kasus ini, mahasiswa pun tak jarang berjumpa dengan masalah finansial. Masalah ini pada umumnya mengakibatkan mahasiswa kesulitan dalam mengikuti kuliah daring.
Reformulasi Kuliah Daring
Berkaca pada pengalaman kuliah daring yang berjalan agak sendat, hemat saya, pengelolaan kuliah daring di era tatanan baru perlu dipertimbangkan ulang secara matang.
Reformulasi (perumusan ulang) kuliah daring perlu dilakukan segera dalam menyongsong tahun ajaran baru (semester baru). Pertimbangan ini mesti dimulai dari penerapan protokol kesehatan hingga penerapan metode kuliah pada semester baru.
Apakah kuliah daring masih tetap dilanjutkan ataukah kembali ke kuliah konvensional harus dirumuskan secara cermat. Ataukah kuliah daring dan kuliah konvensional dipadukan mesti dipertimbangkan juga. Masalahnya adalah kuliah daring kadang dianggap remeh. Bukan kuliah yang biasa.
Bahkan, kuliah daring dianggap sebagai liburan panjang, sehingga kerap ditinggalkan mahasiswa. Ditambah kurang pengawasan dari para dosen, misalnya, kuliah daring berjalan seadanya saja, kuliah ini semacam gagap dan kering (garing).
Maka, kampus mesti memikirkan kembali penerapan kuliah daring bila masih hendak diteruskan. Kampus mesti memperbaiki sarana prasarananya, khususnya dalam hal aplikasi supaya dapat mendukung proses belajar mengajar. Ini tentunya tidak hanya untuk dosen, tapi juga untuk mahasiswa.
Akan tetapi, bila kuliah konvensional masih tetap dilakukan, kampus harus menyediakan kelas dengan tata letak mengikuti protokol kesehatan. Kelas tatap muka mesti berkapasitas lebih kecil, dan ini merupakan tambahan biaya bagi kampus.
Belum lagi kampus juga harus menyediakan fasilitas lain, seperti tempat cuci di beberapa tempat yang mudah diakses mahasiswa, dosen, dan karyawan. Tempat-tempat pelayanan mahasiswa juga harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkan mereka tetap bisa menjaga jarak saat meminta pelayanan.
Menuju Kampus Berbasis Daring
Di era tatanan baru ini, pembelajaran secara daring menuntut hadirnya inovasi, khususnya di sektor teknologi. Media teknologi, baik yang tersedia secara bebas maupun yang berbayar, mesti dioptimalkan.
Sosialisasi dan pendidikan terhadap penggunaan media teknologi mesti dilakukan, baik kepada para dosen maupun mahasiswa. Kedua unsur penting ini mesti menguasai secara sungguh platform pembelajaran daring yang digunakan.
Kendala pembelajaran daring yang biasanya dihadapi mahasiswa, seperti biaya internet maupun ketersediaan jaringan internet di tempat mahasiswa berada juga harus ditangani secara bijak. Mungkin tidak akan menjadi masalah bagi kampus yang telah membangun portal akademik yang terintregasi dengan pembelajaran daring sebelum terjadi pandemi virus korona.
Tapi, akan bermasalah bagi kampus yang belum memiliki portal akademik. Sesungguhnya, portal akademik ini bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran daring berkualitas.
Teknologi informasi dalam portal akademik ini dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk dosen dan mahasiswa, tapi juga orangtua dan pemerintah. Kehadiran orangtua dan pemerintah hanyalah, misalnya, untuk mengontrol kualitas pembelajaran dalam sistem ini.
Untuk itu, setidaknya ada tiga hal penting yang patut diperhatikan dalam menyongsong kampus berbasis daring, yakni pertama, dosen dan mahasiswa harus meningkatkan keterampilan internet dan literasi komputer.
Kedua, dosen harus melakukan penjajaran konstruktif ulang terhadap keselarasan tiga komponen outcome based education ( OBE ), yakni (1) capaian pembelajaran, (2) aktivitas pembelajaran, dan (3) metode asesmen pembelajaran yang telah disusun dalam rencana pembelajaran semester (RPS).
Selanjutnya, perlu dilakukan pemetaan ulang capaian pembelajaran terhadap aktivitas pembelajaran, termasuk penentuan metode asesmen yang cocok bagi setiap capaian pembelajaran.
Ketiga, dosen harus menjamin kesiapan materi kuliah dengan perspektif “belajar mandiri” dalam format digital sedemikian rupa, sehingga mahasiswa mudah memahami materi kuliah.