Suatu hari, orang-orang di kampung ini ramai mendesas-desus tentang pencuri yang lolos masuk rumah Pak Marten. Pak Marten adalah seorang warga kampung yang sangat rukun dan bijaksana dalam segala hal. Selain itu, ia juga seorang pensiunan guru. Mulai menjalankan masa pensiun sejak dua tahun lalu. Sedangkan, isterinya, ibu Veronika, akan pensiun setahun lagi dari tugasnya sebagai guru. Di rumah mereka tinggal hanya berdua. Dua orang anak mereka bekerja di kota. Anak yang bungsu masih menempuh pendidikan di Pulau Jawa.
Saat itu, keesokan malamnya, setelah warga ramai membicarakan peristiwa pencurian itu, warga kembali berkumpul di rumah Pak Marten setelah mendengar kabar bahwa pencuri itu telah tertangkap. Pencuri itu tertangkap di sebuah kampung yang agak jauh dari kampung itu. Kabar tentang pencuri itu memang sangat mengejutkan warga kampung ini. Mungkin karena sejak dahulu, di kampung ini tidak pernah terdengar tentang kasus pencurian seperti itu sehingga kejadian ini dianggap luar biasa dan mengejutkan.
Pencuri itu beraksi pada hari Minggu. Mungkin ia tahu, hari Minggu yang kudus bagi semua orang adalah kesempatan bagi dia untuk melakukan hal yang tidak terpuji itu. Dan, kalau saja hari itu bukan hari Minggu pencuri itu pasti tidak akan berhasil masuk dan mencuri di rumah pak Marten. Kalaupun berhasil masuk, setidaknya ia didapati oleh pemilik rumah. Karena, selain hari Minggu, Pak Marten tidak ke mana-mana, dan selalu berada di rumah.
Setiap hari, ketika isterinya ke sekolah, Pak Marten tinggal sendiri di rumah. Keseharian di rumah tanpa ada aktivitas adalah sesuatu yang menjenuhkan bagi dirinya. Ia merasa, sama halnya dengan pekerjaan “menunggu” yang selalu membuahkan rasa bosan. Untuk menghilangkan rasa jenuh itu, dan suapaya ada aktivitas di rumah, beberapa bulan lalu ia membeli dua ekor anak babi untuk dipeliaharanya. Sekarang kesehariannnya selalu mengurus hewan peliharaan itu.
Hari Minggu itu, pak Marten bersama isteri bergegas keluar dari rumah. Mereka pergi ke kampung sebelah untuk mengikuti arisan di rumah teman ibu Veronika. Acara arisan itu biasanya dilakukan setiap hari Minggu akhir bulan. Tiga menit pak Marten bersama isteri meninggalkan rumah. Seorang lelaki yang sejak tadi memperhatikan mereka, bergegas pergi dengan sepeda motonya dari sebuah kios tempatnya membeli rokok. Kios itu berada di dekat rumah Pak Marten.
Ia meninggalkan motornya di tempat yang agak jauh dari rumah yang menjadi targetnya itu. Tidak lain adalah rumah pak Marten. Setelah ia meninggalkan motornya, ia berjalan kaki tanpa memperlihatkan tujuannya. Tapi, matanya sedikit mengintai kondisi dan suasana sekitar.
Ia pun berhasil masuk ke dalam rumah Pak Marten dan mencuri uang simpanan sebanyak lima juta rupiah. Setelah ia mengambil uang itu, ia keluar lewat jendela tempat ia masuk tadi. Tanpa ia ketahui, ada seorang anak remaja yang melihatnya dari jalan raya. Anak itu mencurigainya terus memperhatikannya tanpa diketahuinya. Remaja itu mengambil HP miliknya lalu memotret orang itu dan nomor kepolisian sepeda motornya.
Saat diberitakan kehilangam di rumah Pak Marten, remaja itu mencurigai orang yang ia lihat itu. Saat dilaporkan ke polisi, remaja itu memberanikan dirinya untuk menceritakan apa yang ia lihat tentang orang itu. Dan, akhirnya, hanya dengan gamar yang dipotretnya itu, polisi yang bertugas di kecamatan itu berhasil menangkapnya.
Pada malam itu, setelah pencuri itu tertangkap, ia dikerumuni oleh warga kampung di halaman depan rumah Pak Marten. Polisi Johan, adalah seorang polisi yang bertugas di kecamatan itu. Ia berhasil menangkap pencuri itu di sebuah kampung, tempat asal pencuri itu lalu dibawa ke rumah Pak marten.
Saat mengerumuni pencuri itu di halaman depan rumah pak Marten, pemuda dan bapak-bapak tampak geram. Anak-anak muda di kampung itu tidak sabar untuk menghajarnya. Tak bisa dibayangkan kondisinya kalau saja tak ada polisi saat itu. Untungnya, polisi Johan berusaha dengan kuat untuk mengawasi warga agar tidak menyentuh pencuri itu.
Setelah beberapa saat dikrumuni warga di halaman depan, pencuri itu dibawa masuk ke dalam rumah Pak Marten. Pak Johan meminta untuk menutup pintu depan rumah agar tidak banyak orang yang mengerumuni pencuri itu. Namun, tetap masih banyak warga yang lolos masuk ke dalam lewat pintu belakang.
“Anjing! Lewat mana engkau masuk ke dalam rumah ini?” Tanya Pak Niko, seorang tetangga Pak Marten yang berkumis dan berjenggot tebal. Tampangnya menyeramkan. Badannya masih terlihat kekar meskipun usianya sudah 50-an tahun.
Pemuda itu hanya menundukkan kepala untuk berpaling dari tatapan geram orang-orang sekelilingnya. Pencuri itu terlihat seakan-akan setia menghormati benda malang yang mengikat kedua pergelangan tangannya.
“Hei! Engkau punya mulut! Atau kau tuli?” kata Pak Niko lagi dengan suara agak keras.
Pencuri itu pun mengangkat pelan-pelan kepalanya. Di wajahnya terlihat lebam hitam akibat kena tinju dari seorang anak muda bertato di halaman depan rumah Pak Marten. Anak muda itu berhasil mendaratkan tangannya pada wajah pencuri itu saat pak Johan sedang telepon untuk melaporkan kejadian itu ke Polres. Dan sekarang, pihak yang berwajib menangani kasus itu dari polres sudah dalam perjalanan menuju tempat itu.
“Di situ” Kata pencuri itu dengan nada pelan sambil menoleh ke arah jendela. Raut wajahnya penuh iba.
Polisi Johan itu meminta keterangan tentang data diri pencuri itu. Beberapa menit polisi Johan mengecek kebenaraan data dirinya pada KTP itu. Ia lanjut meminta nomor telepon keluarganya untuk meminta segera datang ke tempat itu.
“Kring…kring….kringg…” HP Polisi itu berbunyi.
“Halo, Ndan. Kalau sudah sampai di pertigaan itu, Ambil jalur kiri, lalu jalan lurus saja. Ndan, berhenti di rumah yang ada banyak motor di depannya.” Kata Polisi Johan. Semua mulut membisu, semua mata dan telinga orang-orang tertuju kepada polisi itu. Pencuri itu mulai gemetar.
“Ok, siap.”Jawaban dari seberang telepon itu.
Tidak menunggu lama, samar-samar mobil dengan kecepatan tinggi sudah terdengar memasuki kampung. Beberapa menit kemudian, satu unit mobil oprasional polisi itu berhenti di depan rumah pak Marten. Polisi Johan keluar dari rumah untuk menyambut rekan-rekannya itu.
Tadi sore, langit di atas kampung itu meurunkan gerimis dan sedidikit membasahi tanah hingga cukup untuk mengotori alas kaki. Sentakan sepatu untuk melepaskan kotoran di depan pintu, membuat pencuri itu gemetar ketakutan. Segerombolan polisi itu pun masuk ke dalam rumah. Ketiga polisi yang masuk belakangan lengkap dengan senjata, membuat pencuri itu tambah gemetar. Ia tak sanggup mengarahkan pandangan kepada polisi-polisi itu.
“Mana dia?” Tanya polisi yang berbadan lebih kekar dari rekan-rekannya. Nada bicaranya seperti sedang mengajak berkelahi. Kombinasi antara badan tinggi dan lengan yamg berotot berhasil membuat pencuri itu tetap menunduk.
“Ini, Ndan.” Kata polisi Johan sambil menoleh ke pencuri itu.
“Kamu, dari mana?”
“Dari kampung sebelah.”
Polisi-polisi itu pun lanjut menginterogasi pelaku dengan memberikan banyak pertanyaan. Beberapa alat bukti pun didokumentasikan. Setelah menginterogasinya dan mendokumentasikan bukti-bukti, polisi itu sekali agi meminta keputusan pihak korban, apakah masalah itu tetap diurus melalui jalur hukum atau melalui pendekatan kekeluargaan.
Pak Marten tampak bimbang untuk menentukan keputusannya. Polisi Johan memperhatikan pak Marten. Ia tahu pak marten bimbang untuk mengambil keputusan. Polisi Johan sendiri sangat mengharapkan masalah itu diurus secara hukum. Ia sangat memikirkan efek jera pada pelaku itu agar tidak mengulangi perbuatan yang tidak terpuji itu.
Dari pengakuan pencuri itu sendiri, ia sudah sering kali melakukan hal itu. Hal itu menjadi pertimbangan bagi Polisi Johan. Menurutnya, sebaiknya pencuri itu dibina atau dihukum untuk memberikan efek jera. Sebaliknya, ia berpikir, apabila masalah itu diselesiakan secara kekeluargaan, warga kampung akan resah dan takut kejadian itu terjadi lagi di kampung mereka.
Atas dasar pertimbangan yang sama juga, warga kampung yang ada di tempat itu, sontak bersuara agar pemuda itu tetap dibawa ke kantor polisi untuk menjalankan hukuman atas perbuatannya itu. Namun, sebelum mengambil mengambil keputusan, Pak Marten meminta pendapat Polisi Johan. Dari belakang ia memberi isyarat untuk memanggil polisi Johan tanpa terlihat oleh polisi-polisi lainnya. Polisi Johan pun pergi ke belakang untuk menghampirinya.
“Bagaimana menurut bapak?” Tanya pak Marten dengan nada kaku kepada polisi Johan.
“Pak, kalau diurus secara kekeluargaan, jangan cari saya lagi kalau terjadi masalah yang sama besok atau lusa.” Pungkas polisi Johan sekaligus meberikan ancaman.
Sepeda motor berhenti tepat di depan rumah pak Marten. Cahaya lampu di teras depan memperlihatkan dengan jelas kedua orang itu sedang turun dari sepeda motor. Satu orang berusia sekitar 50-an tahun, satu orang lagi sekitar 30-an tahun. Kedua orang itu tidak dikenali warga kampung itu. Mereka adalah ayah dan kakak dari pencuri itu. Mereka masuk ke dalam rumah Pak Marten dengan penuh kerendahan hati dan rasa bersalah atas perbuatan yang tidak terpuji itu.
“Pak Polisi, saya mohon, tolong anak saya jangan diteruskan secara hukum.” Pinta ayah pencuri itu.
Pencuri itu yang sejak tadi hanya mampu menundukkan kepala, tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Pak Marten. Ia berlutut dan memegang tangan Pak Marten sambil menangis untuk meminta dimaafkan dan meminta untuk tidak meneruskan urusan itu kepada polisi.
“Tolong lepaskan tangan saya, jangan berlutut seperti itu” kata Pak Marten.
“Eeh, kau duduk!” bentak polisi Johan.
Pak Remi adalah tetangga Pak Marten. Ia dikenal bijakasana dan selalau selalu pergi ke gereja setiap hari Minggu. Ia juga rajin mengikuti doa rosario setiap malam, dari rumah ke rumah. Ia selalu menerapkan cara hidup yang penuh dengan kebijaksanaan seperti yang dikhotbah oleh pastor dalam kehidupannya setiap hari. Sebagai bapak yang baik juga, ia selalu mengajar anak-anaknya untuk berbuat baik kepada sesama. Ia sangat menyayangi dan selalu menjaga anak-anaknya. Apalagi, anak perempuannya.
Sejak tadi, pak Remi merasa muak dan jengkel saat mendengar pengakuan pencuri yang sudah beristeri dan beranak itu. Pencuri itu adinya mengaku bahwa uang hasil curian itu telah ludes semalam. Ia telah gunakan uang itu untuk berfoya-foya dan bermain-main dengan perempuan di kos-kosan di kota.
Sebagai seorang ayah dan laki-laki yang baik, ia merasa muak dengan perbuatan pencuri itu. Ia juga membayangkan, seandainya, isteri pemuda itu adalah anak perempuannya, hatinya pasti hancur. Atas dasar itu juga, pak Remi memberanikan dirinya untuk berbicara kepada polisi-polisi itu. Ia mengatakan, pemuda itu mesti diserahkan kepada polisi untuk menjalankan hukuman atas kesalahannya.
Setelah pak Remi mengatakan hal itu, semua orang menganggukkan kepala. Mereka sangat setuju dengan keputusan itu. Akhirnya, pada malam itu juga pencuri itu dibawa ke kantor polisi. Ia akan menjalani hukumannya.
Penulis: Fersi Darson
Mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng