*Oleh: Riko Raden
VoxNtt.com pada 5 Agustus 2020 lalu, menurunkan sebuah berita dengan judul “Kisah Seputar Ayah Kandung Bunuh Dua Anak Kandungnya.” Peristiwa ini terjadi di Desa Balaweling Noten, Kecamatan Witihawa, Kabupaten Flores Timur. Dalam berita yang disajikan oleh media ini mengatakan bahwa pelaku membunuh para korban dengan sengaja. Media ini juga belum mendapatkan data yang tepat tentang pelaku yang tega membunuh anak kandungnya sendiri.
Saya secara pribadi merasa terpukul juga merasa sedih ketika melihat dan membaca berita ini. Saya merasa sedih karena pelaku dalam kasus ini bukan orang lain, melainkan orang tua (ayah) sendiri. Orangtua yang sebenarnya menjadi payung untuk melindungi anak dari tindaka-tindakan kekerasan, malah menjadi pelaku dalam pribadi anak itu sendiri. Orangtua yang secara faktual menjadi wadah utama pembentukan karakter hingga nilai-nilai budi pekerti yang nantinya akan mempengaruhi kualitas anak di masa depan, menjadi pudar dan telan dalam waktu sekejap. Kehadiran orangtua dalam kasus di atas bukan lagi menjadi motivator yang baik, tapi menjadi pelaku kejahatan dalam diri seorang anak. Sehingga hak seorang anak untuk hidup pun telah berakhir.
Budaya kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur lebih khusus di Kabupaten Flores Timur. Kalau kita melihat secara mendalam budaya NTT sangat kental dengan nilai dan norma, baik pada kalangan pemerintah, agama, sekolah maupun dalam keluarga. Setiap institusi ini mempunyai persamaan dalam menghayati budaya NTT. Artinya bahwa masyarakat NTT pada umumnya sangat berpegang teguh pada nilai dan norma yang berlaku dalam setiap budaya di daerah ini. Dalam keluarga misalnya, ada norma untuk menjaga nama baik keluarga. Di sini peran orangtua sangat penting agar keluarganya tetap aman dan damai.
Menurut Aristoteles, keutamaan moral diperoleh sebagai hasil pembiasaan di mana seseorang secara sadar dan teratur melakukan tindakan-tindakan yang baik dan menghindari tindakan-tindakan yang buruk. Keutamaan moral juga dipandang sebagai satu kualitas atau disposisi, yaitu suatu keadaan diri yang sempurna yang selalu mengarahkan subjeknya pada hal-hal yang baik. Orangtua tentu menjadi subyek yang baik agar pribadi seorang anak taat pada norma yang berlaku dalam keluarga.
Namun, ketika melihat kasus di atas, rupanya norma yang berlaku dalam keluarga itu sendiri tak berlaku lagi. Orang tua yang menjadi kapten dalam keluarga itu sendiri pelan-pelan mulai tenggelam dan kehidupan keluarga tidak aman dan damai. Peran orang tua sebagai agen moral itu sendiri telah hancur dan anak-anak menjadi korban dalam keluarga.
Hemat penulis, maraknya terjadi kekerasan terhadap anak dalam keluarga, bisa jadi akibat dari rapuhnya tatanan keluarga. Karakteristik tatanan keluarga yang rapuh di antaranya adalah ketidakmampuan orangtua dalam mendidik anak dengan sebaik-baiknya, yaitu tiadanya perhatian, kelembutan dan kasih sayang orangtua terhadap anak. Sadar atau tidak sadar bahwa orangtua merupakan agen utama dalam pendidikan anak. Orangtua harus memahami segala kebutuhan anak supaya anak berkembang dalam pengetahuan yang luas. Misalnya, sebagai guru, orangtua hendaknya memenuhi tiga kebutuhan anak lewat pengajaran yakni mengajarkan kebenaran-kebenaran dan prinsip moral universal, membantu membentuk suara hati, dan mendorong pelaksanaan kebijakan. Ketiga hal ini sangat bergantung pada praktik-praktik pemeliharaan metode yang tepat. Dalam artian ini, hal terpenting dalam pendidikan nilai bukan terletak pada soal mengetahui tentang apa yang diajarkan melainkan tentang bagaimana mengajarkan. Hal yang sama diajarkan oleh Yesus dalam cerita Kitab Suci bahwa Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Sikap rendah hati menjadi utama dalam mengajarkan hal-hal yang baik dalam kehidupan anak.
Oleh karena itu, adalah sangat beralasan bagi orangtua untuk mengetahui dan mempraktikan cara mendidik anak yang tepat, seperti penyediaan waktu, komunikasi yang mengena, mengatasi kenakalan anak, memberi ruang yang cukup kepada anak untuk berpikir kritis dan berkreasi, dan berusaha mendukung sekaligus memberi semangat tindakan-tindakan positif anak sebagai bentuk aplikasi pemikiran.
Terhadap kasus di atas, mungkin salah satu contoh sikap ketidakmampuan orangtua dalam mendidik anak dengan baik. Kehadiran orangtua dalam kasus di atas bukannya membawa terang bagi kehidupan anak, melainkan membawa maut yang membuat anak itu sendiri kehilangan nyawa. Belajar dari kasus seperti ini, maka orangtua harus mencegah sedini mungkin kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Keluarga (orangtua) bukan sekadar hubungan darah bagi anak. Sudah seharusnya keluarga menjadi rumah kembali yang menyenangkan bagi anak. Tidak hanya saat pergi, anak pun merasa nyaman saat berada dalam lingkungan keluarga. Keluarga pun menjadi sumber inspirasi dan spirit yang selalu hidup. Hal ini dikarenakan anak belajar banyak dari lingkungan terdekat tentang banyak hal. Mereka dapat melakukan banyak hal karena mendapat dukungan inspirasi dari lingkungan terdekat.
Aktivitas hidup yang melimpah berkat dukungan keluarga menjadi obor bagi anak untuk tumbung kembang. Rasa cinta yang mendalam dari orangtua dan lingkungan sekitar akan menyelamatkan anak dari masalah di kemudian hari. Anak pun akan belajar bagaimana orang sekitar memperlakukannya. Perlakuan yang baik dan bijak terhadap anak merupakan investasi yang lebih mahal dari barang berharga sekali pun. Pada akhirnya, keluarga perlu memfungsikan diri sebagai tempat yang paling nyaman bagi anak-anak bukan sarang yang menakutkan bahkan sampai kehilangan nyawa.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.