Oelamasi, Vox NTT-Menjelang Pilkada serentak tahun ini, banyak kader partai politik khususnya di NTT menyatakan pengunduran diri.
Sebut saja Ketua PKPI Kabupaten Sumba Timur, Ketua Hanura Kabupaten Sumba Timur dan Ketua Hanura Kabupaten Belu. Tak hanya pucuk pimpinan, pengunduran diri juga disusul puluhan kader dari masing-masing partai.
Menanggapi fenomena itu, pengamat sosial politik asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Viky Jalong menyebut tiga gejala sedang terjadi dalam iklim partai politik.
Pertama, terkait tata kelola partai politik atau organisasi politik. Menurut Viky, tata kelola partai berhubungan dengan koordinasi.
“Kok bisa yah tidak ada koordinasi selama ini antara kabupaten, provinsi dan pusat,” ujar dosen politik Fisipol UGM itu.
Kedua, terkait dominasi patronase politik para elit dari tingkat kabupaten, provinsi dan pusat.
Menurut Viky, selama ini partai dianggap sebagai tempat untuk membangun kekuatan sendiri dengan mengandalkan uang dan kekuatan dukungan arus bawah.
Partai, kata dia, bukan lagi sebagai sebuah tempat untuk menemukan kesepahaman ideologi. Selain itu, pendidikan politik semakin menjadi jauh dari tujuan utamanya. Alhasil, siapa yang terkuat akan muncul sebagai dominasi dalam partai politik.
“Kerja kandidasi itu meski disiapkan. Apalagi kerja agregasi kepentingan,” tegasnya.
“Partai itu kan sama dengan orang kan gitu. Negosiasi itu sudah lebih penting dari pada kesepakatan-kesepakatan bersama dalam partai politik,” tambahnya kepada VoxNtt.com, Rabu (12/08/2020) siang.
Ketiga, kata dia, demokrasi yang ideal bersifat top down dan bottom up. Soal kompromi dari bawah dan dari atas.
Menurut Viky, kepincangan demokrasi meyebabkan terjadinya fenomena itu.
“Kasus yang diangkat itu menarik karena memang gejala itu sudah biasa terjadi. Lebih menarik, karena keberanian untuk mundur. Ada sikap perlawanan dari kabupaten,” jelasnya.
Menurut Viky, suara dari bawah (bottom up) perlu didengar oleh tingkat yang lebih tinggi.
“Suara yang di bawah itu juga perlu didengar oleh propinsi dan juga pusat. Itu sikap yang luar biasa bahwa kabupaten juga bisa melawan dengan mengambil langkah-langkah itu. Bagaimana mereka mau taat pada partai sementara partai tidak taat pada dirinya sendiri maupun pada asas demokrasi yaitu pembangunan kesepakatan,” tandasnya.
Ia menjelaskan bahwa, pola-pola tersebut hampir ditemukan di semua partai politik.
“Itu berlaku untuk semua partai politik hanya kebetulan saja, kasus yang diangkat itu di beberapa partai politik,” ungkapnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Irvan K