*) Cerpen Latrino Lele
Semburat jingga yang tampak memukau di ufuk barat telah hilang entah ke mana. Mungkin ia sedang bercumbu mesra bersama kesunyian malam yang kian pekat ini.
Ah.. entahlah itu bukan urusanku. Bukan sangat penting juga untuk aku ketahui. Pastinya, kini hanya tertinggal rona estetisnya yang masih melekat manja di mata para penikmat. Karena malam sudah terlalu gagah laksana perwira ia mendekap ibu bumi dengan alunan kesunyian dalam pekatnya.
Tak terdengar lagi suara ibu-ibu memanggil anaknya yang terlalu asyik bermain untuk segera mandi. Juga celotehan orang-orang kampung yang lalu-lalang di ruas jalan depan rumah pun telah tiada. Mereka kini telah bersandar mesra dalam kasih keluarga tercinta. Menenun asa di setiap senyum semringah yang tersungging pada bibir-bibir lugu sanak keluarga. Suasana kampung kini semakin tenang. Oleh karena penghuni setianya telah kembali merebahkah tubuh lelah dalam rangkulan terhangatnya. Setelah seharian berkelana mengais bongkahan berlian di ladang-ladang nun jauh. Di luar rumah kami hanya terdengar hiruk-pikuk suara binatang malam yang bersahutan. Iramanya merdu mempesona. Seolah mereka tengah memadahkan lagu syukur menyambut romantika malam yang bertaburan bintang itu. Sungguh malam yang damai menyejukkan hati gundah. Merawat lara yang berseliweran pada nuansa kerinduan membuncah. Kampungku yang ramai kini berkawan sepi. Mengarungi sunyi bersama bisunya malam dalam tapak yang masih panjang.
Di dalam rumah yang tidak begitu besar aku bersama keluarga menikmati indahnya sebuah momen kebersamaan. Hanya ditemani kopi pahit dan pisang goreng yang menjadi snack ringan kami setiap malam menjelang. Kami duduk melingkari meja di ruang tamu yang tak begitu luas. Kopi pahit dan pisang goreng olahan cinta ibu terasa sangat nikmat dipadukan panorama bahagia yang tersirat manis pada wajah ibu dan adikku Jeni. Tawa renyah dan senyum manja merekalah yang selalu menyejukkan jiwaku. Juga menjadi pengobat rinduku pada mereka. Telingaku terasa lebih manja untuk mendengar coretan-coretan bahagia yang dikisahkan ibu. Juga adikku Jeni yang tidak ketinggalan berceloteh tentangnya. Mereka begitu antusias bertukar cerita kepadaku yang notabene jarang berada bersama mereka.
Namaku Johan. Aku seorang frater yang beberapa bulan lalu baru menerima kaul pertama di negeri yang jauh. Aku pulang ke kampung halaman mengisi waktu liburanku bersama keluarga tercinta. Menuntaskan rasa rindu yang terlalu berat untukku pendam selama ini. Hari-hari berada bersama mereka membuat ingatanku menyulam kembali nostalgia lama kala aku kecil dulu. Begitu mesra untuk dikenang. Sekarang aku bisa merasakan seduhan racikan kopi buatan ibu di kampung. Setelah lima tahun aku berpisah dari mereka.
***
Malam ini juga merupakan malam terakhir aku bersama Ibu dan adiku Jeni. Sebab besok aku segera kembali ke Biara. Tempat di mana aku merajut kasih yang intim bersama Dia yang memanggilku. Kepada Dia yang selalu menopangku kala aku rapuh tak berdaya. Aku telah jatuh cinta kepada-Nya. Bahkan cintaku kepada Dia yang memanggilku terlampau besar untuk kulukiskan. Aku pun ingin menjadi kekasihnya. Cita-cita luhur yang telah aku impikan sedari Sekolah Menengah Pertama. Panggilan akan cinta yang terlampau besar itulah yang membuat aku untuk segera pulang. Waktu liburan telah selesai. Kini aku harus kembali. Untuk melanjutkan formasi panggilanku.
Ibu, besok aku akan pulang ke Biara waktu liburanku telah selesai, ucapku pelan pada Ibu sembari menyeruputi kopi pahit yang terasa lebih nikmat. Ibu tak menyahutku Ia hanya diam membisu. Suasana yang semula penuh keceriaan kini menjadi semakin tegang. Aku menatap dalam wajah ibu di depanku. Aku temukan kesedihan yang tersirat di wajah manisnya. Matanya terlihat mendung. Air matanya pun luruh tak berkesudahan membasahi pipinya.
Aku memahami benar apa yang ibu rasakan saat ini. Memang terasa pedih hati ibu harus rela melepaskan kepergian anaknya. Setelah beberapa tahun merindukan kepulangannya. Kini Ia harus pergi lagi meninggalkan mereka.
Tapi aku harap ibu bisa merelakan dan merestui aku untuk terus berjalan pada jalan yang telah aku pilih ini Bu, kataku lagi mencoba meyakinkan ibu yang sedari tadi mengucurkan air matanya. Tak ada jawaban yang barangkali dikatakan ibu. Hanya air mata yang setia membahasakan pedih hatinya. Ibuku masih diam membisu bersama adikku Jeni.
Cinta kepada Dia yang memanggilku terlampau besar, ibu. Ia meletup-letup dalam dadaku. Apakah ibu ingat dengan amanah yang selalu ibu katakan kepadaku kala malam menjelang, kataku lagi penuh harap ibu mengingatnya.
Seolah Ibu memahami maksudku. Ibu menatapku lembut, iya nak, ibulah yang selalu mendukungmu selama ini agar engkau kuat menjalani panggilan hidup sebagai seorang frater, kata ibu dengan nada sendu sembari mengusap air mata yang berlinang di pipinya. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda nak. Lihatlah ayahmu kini telah tiada. Tinggal engkaulah satu-satunya lelaki dalam keluarga kita. Engkaulah yang akan menggantikan posisi ayahmu, nak. Ibu sudah semakin menua bersama waktu. Siapakah yang akan menjaga ibu dan adikmu Jeni? Kami merasa kesepian tanpamu. Kami ingin engkau berada di sini bersama kami, ibuku memelas dengan nada sedikit serak. Iya kak, ibu benar jangan pergi lagi kak. Kami rindu kakak, adiku Jeni turut memohon kepadaku.
Intinya ibu tidak merestui engkau kembali pada jalanmu nak, ibuku menegaskan lagi. Tak dimungkiri air mata ibu yang berjatuhan kini semakin deras berderai berlinang membentuk anak sungai di pipinya.
Kata-kata ibu seperti belati yang menghujam tepat jantungku. Membuat jantungku berdegup kencang dan semakin kencang. Tak menyangka seorang ibu yang selalu mendukungku kini Ia menjadi orang pertama yang melarangku untuk lanjut pada panggilanku. Ini sungguh di luar dugaanku.
***
Menjalani panggilan hidupku tanpa doa restu dari Ibu ternyata cukup menyedihkan. Terasa sangat berat di setiap langkah kaki yang harus aku tempuh. Tapi aku sudah terlanjur cinta kepada Dia yang memanggilku. Aku tak mau meninggalkannya. Aku sudah berkomitmen untuk terus berjalan pada jalanku saat ini. Hanya doa penuh khusuk yang dapat aku rapalkan kepada Tuhan agar membuka mata hati ibuku. Sehingga Ia merestuiku menjadi pelayan Tuhan kelak. Kapela Biara menjadi tempatku bersanding peluk paling teduh untukku mengadu segala rasa ini. Aku menyerahkan semua beban hidupku kepada Dia yang memanggilku.
Semenjak aku menolak permintaan ibu untuk segera keluar dari jalan panggilan hidup membiara. Membuat kami tak berkomunikasi seperti biasanya. Semuanya berubah. Ibu enggan berbicara denganku. Apakah ini risiko yang harus aku tanggung, Tuhan? Atau mungkin ini salib yang harus aku pikul. Pertanyaan yang selalu aku lontarkan pada Tuhan dalam kesunyianku. Aku kini seperti anak ayam tanpa induknya. Aku merasa tak kuasa untuk menghadapi semua ini, Tuhan. Bantu aku Tuhan.
Entahlah sudah berapa tahun aku tidak pernah pulang. Atau bahkan berkomunikasi dengan ibu dan adikku Jeni pun tidak pernah. Pesan yang kukirim tak pernah dibalasnya. Begitu marahkah mereka terhadapku?
Apakah iya aku harus keluar dari panggilanku. Maka semuanya akan baik kembali. Ah… ini tak mungkin aku yakin suatu saat ibuku pasti akan merestuiku, sebuah harapan yang masih terselip di hatiku.
Aku tak tahu kabar mereka sekarang. Apakah baik-baik saja. Aku harap demikian. Hanya doa yang dapat aku persembahkan kepada mereka. Rasa rindu untuk berjumpa mereka sudah terlalu berat untukku tanggung. Inginku bercanda ria bersama mereka.
***
Buah dari cinta yang tulus semerbak aromanya. Terasa teduh seperti mendengar sajak romantika para penyair rindu. Ia terasa manis tuk dipandang bak mawar yang bermekaran di taman firdaus. Menyejukkan hati yang gundah. Menyegarkan jiwaku yang rapuh. Kini aku sadar Tuhan cintaku kepadaMu ternyata indah di waktunya.
Johan…. maafkan ibu nak. Maafkan ibu. Ibu menyesal, suara ibu menggelegar seperti petir meliuk masuk gendang telingaku. Air matanya berjatuhan bak hujan bulan Juni berderai di pundakku. Maafkan ibu nak, kata-kata yang masih Ia ucapkan di telingaku. Aku pun memeluknya lebih erat lagi menuntaskan rinduku padanya. Maafkan aku juga ibu, sahutku tak sadar aku pun menitikkan air mata. Tidak. Tidak nak, engkau benar Tuhan lebih mencintaimu. Kini ibu sadar ternyata Tuhan telah memanggil dan memilih engkau menjadi kekasihnya. Menjadi pelayannya dan menjadi pelayan bagi semua orang.
Sungguh ini merupakan hari yang paling bahagia bagiku. Di hari aku hendak menerima rahmat tahbisan suci. Seorang yang aku rindu kini datang menumpangkan tangannya atas kepalaku sebagai doa restu. Terima kasih ibu telah datang memberiku dukungan, bisikku pada Ibu. Tuhan sudah mengabulkan doaku. Terima kasih my Adonai.
Nita, 10 Agustus 2020
*Identitas Penulis
Nama Yohanes Latrino Lele. Mahasiswa STFK Ledalero dan sekarang menetap di Biara Scalabrinian, Maumere.