Oleh: Fancy Balo
Mahasiswa STFK Ledaro
Pluralitas hidup bernegara dan berbangsa di Indonesia adalah suatu kekayaan yang patut dibanggakan. Realitas prluralitas agama, suku, bahasa, wilayah, dan ras menjadi gambaran wajah indah tersendiri bagi potret Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Di samping pengakuan keberagaman sebagai keindahan, Indonesia juga terjerat dengan banyak kasus intoleransi yang tercatat hampir di sepanjang tahun.
Di akhir tahun 2019 sampai awal 2020 misalnya, laman surat kabar nasional maupun lokal dipenuhi dengan berita kasus-kasus intoleransi. CNN Indonesia (17/11/2019) mencatat ada 31 kasus pelanggaran hak terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, dengan beberapa kasus yang lebih mendominasi terjadi diantaranya, pelarangan terhadap ritual, pengajian, ceramah atau pelaksanaan kepercayaan agama yang terjadi sebanyak 12 kasus, pelarangan pendirian rumah ibadat dengan 11 kasus; dan perusakan rumah ibadat tercatat tiga kasus.
Ada pun kasus lain soal intoleransi yang paling mendasar di beberap daerah tertentu di Indonesia yaitu diskriminasi rasial (VOA Indonesia, 21/06/2020), dan pertikaian antarsuku (CNN Indonesia, 05/03/20). Serempak wajah pluralitas yang kaya dan indah berubah menjadi gerang dan menakutkan. Kehidupan sosial bernegera menjadi suatu ancaman akan timbulnya konflik-konflik yang meresahkan keberadaan setiap individu. Siapa sangka kalau kesatuan yang telah dimeteraikan dengan “Nusantara” dan “Tunggal Ika” kian terancam menjadi wajah keterpecah-belahan. Dengan demikian, realitas ini menyadarkan kita sebagai satu bangsa bahwa seruan toleransi menjadi urgen dan perlu diperhatikan secara serius.
Toleransi adalah suatu wacana yang selalu relevan dan bahkan urgen untuk digaungkan dalam kehidupan negara demokrasi dengan realitas yang plural.
Meneropong Indonesia dengan beragam kasus intoleransi, saya mencoba mencari penyelesaiannya dalam konsep “dialog rasional” oleh Charles E. Larmore untuk menemukan bentuk toleransi yang otentik. Larmore adalah seorang pemikir liberal yang realistis.
Ia membangun gagasannya dalam filsafat moral dengan memperhatikan secara seimbang antara konteks masyarakat modern dan keberlanjutan sejarah. Dialog rasional dibangun untuk menyelesaikan persoalan yang tidak mudah untuk menemukan penyelesaian.
Menurut dia pembenaran bukan saja soal pembuktian logis dan koheren melainkan upaya untuk meyakinkan orang lain yang tidak setuju lewat dialog rasional tentang entahkah sudut pandangku dapat diterima atau tidak.
Untuk mewujudkan kehidupan toleransi di Indonesia, saya menganjurkan perlunya dibangun atas dasar dialog rasional ini. Setiap persoalan intoleransi dan motovasi toleransi harus dikaji dan dibangun bersama atas landasan umum (Common ground of common life) kehidupan histori budaya kita dengan menjunjung tinggi apa yang dinamakan Larmore, equal respect for persons.
Sesama hendaknya dipandang sebagai ‘pribadi’, bukan sarana untuk memaksakan kehendak kita. Penghormatan terhadap yang berkeyakinan lain bukan karena semata suatu kewajiban mutlak bagi saya, tetapi karena sesama adalah tujuan in se dengan nilai dan haknya sendiri.
Intoleransi hidup beragama, ras, dan suku yang masif terjadi di negeri ini tidak lain ialah hilangnya rasa hormat terhadap sesama sebagai pribadi yang sama in se, dan tingginya fanatisisme, etnosentrisme, dan relativisme terhadap nilai-nilai atau warisan budaya yang seharusnya digunakan untuk mewujudkan common ground.
Namun, oleh sikap individualistis yang selalu memantik bagi nyalanya api intoleransi, maka selalu ada upaya mereduksi nilai-nilai kebenaran pandangan agama, suku, dan ras tertentu dan memandang yang lain sebagai ancaman bagi kebenaran saya.
Kembali lagi kepada konsep dialog rasional yang ditawarkan dalam tulisan ini. Untuk menangkal maraknya kasus intoleransi di negeri ini yang sering terjadi secara masif, maka perlulah sekarang untuk membangun dialog rasional sebagai upaya untuk menggaungkan toleransi yang merupakan cita-cita kita bersama.
Dialog rasional dimaksud tidak hanya soal kita mebentuk suatu kelompok dari perkumpulan orang-orang yang berbeda dalam satu ruang untuk mendiskusikan satu dua soal intoleransi.
Namun, dialog di sini ialah kesadaran setiap individu berupa ‘pembatasan diri’. Pembatasan diri dimaksud ialah kemampuan untuk membangun komunikasi dalam diri sendiri secara otonom untuk berpikir dan bertindak berdasarkan alasan-alasan rasional yang ditemukan dalam dasar hidup bersama untuk hidup yang baik ketika berhadapan dengan berbagai realita keberagaman.
Selain itu, setiap individu membangun di dalam dirinya suatu rasa panghargaan atas pribadi lain dan penghormatan terhadap landasan hidup bersama yang sudah dibentuk dan ditemukan dalam sejarah bangsa kita. Landasan itu ialah asas kekeluargaan dalam tubuh Pancasila kita. Inilah syarat mutlak bagi keberhasilan dialog rasional demi terciptanya toleransi yang otentik dalam suatu bangsa yang plural.
Saat ini kemeriahan Dirgahayu Hari Kemerdekaan Indonesia sudah dan sedang dirayakan di seluruh pelosok negeri. Kembali perjuangan para “founding fathers” kita kenangkan. Sekali lagi tentang sejarah yang telah mempersatukan kita semua. Sejarah perjuangan kebebasan, kemerdekaan dengan bersimbah darah dan bahkan kehilangan jutaan nyawa, itu semua hanya untuk Indonesia kita yang telah satu ini.
Dari sini dengan bertolak dari perspektif sejarah, maka tendensi setiap individu atau pun kelompok yang dengan sadar dan sengaja menghendaki perpecahan [intoleransi] adalah penghianatan terhadap kemerdekaan kita.
Momen memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia adalah kesempatan kita bersama untuk merefleksikan hari-hari panjang perjuangan negeri dan bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa; Kamanusiaan Yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksananaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Apakah nilai-nilai dasar kemerdekaan ini telah kita jalankan dalam kehidupan praksis secara penuh dan selaras sebagai bangsa yang telah satu? Perjuangan untuk kesatuan adalah perjuangan dialogal, mewujudkan damai dan loleransi. Kepekaan untuk belajar dar sejarah untuk menangkap api semangat dari para pendiri bangsa ini (founding fathers) dan terus berjuang kini untuk tetap menjaga kesatuan hidup sebagai Bangsa Indonesia.
Akhirnya kita sepakat bahwa realitas keberagaman Indonesia yang indah dapat dijaga dengan jalan membangun dialog rasional demi mengisi kemerdekaan kontinuitas yang mengedepankan kesetaraan martabat manusia. Perlu diingat mengenai dialog rasional yang digagas Larmore, bukan untuk mengarahkan setiap perbedaan kepada satu kebenaran tunggal.
Dialog rasional ditawarkan kepada setiap individu lebih sebagai kepekaan moril untuk membangun sikap netralitas terhadap segala persaingan pandangan yang berbeda tentang hidup yang baik. Dan sudah saatnya hemat saya, bangsa Indonesia perlu memagang konsep dialog rasional ini untuk mengasah kepekaan moril demi mengembalikan wajah gerang bangsa kita dari luka-luka intoleransi kepada hidup bergendengan dan berdamai satu sama lain sebagai satu keluarga. Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang berwajah toleransi.