Editorial, Vox NTT-Tepat di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (HUT-NKRI) ke-75, Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Foto dirinya mengenakan tenunan adat Nunkolo itu, seketika viral di media sosial. Beragam komentar berseliweran di medsos menyusul beredarnya foto tersebut.
Sebagian besar komentar datang dari masyarakat NTT, provinsi yang setiap tahunnya dilabeli termiskin dan terbelakang.
Khusus Pulau Timor dan Kabupaten TTS, tempat asal tenunan yang dikenakan Jokowi, beberapa hari sebelumnya juga viral lantaran disebut Gubernur Viktor Laiskodat sebagai penyumbang orang bodoh dan miskin terbanyak di bangsa ini.
Selain Timor, pulau Sumba juga masuk dalam kategori pulau penyumbang orang bodoh dan miskin.
Pernyataan itu menuai aneka kritik bahkan kecaman yang melayang bebas di media sosial. Berbagai perspektif saling beradu di ruang publik.
Namun sikap berbeda justru ditunjukkan netizen NTT ke Presiden Jokowi. Jika Gubernur dikecam karena pernyataannya, Sang Presiden justru memanen pujian dan apresiasi karena dinilai memberi rasa hormat kepada masyarakat TTS, sekaligus mempromosikan tenunan khas adat Nunkolo kepada dunia.
Jika di Istana, presiden tampil gagah perkasa dengan balutan tenunan asli TTS, di hari yang sama, warga di Besipae TTS justru porak poranda karena dihantam keganasan kekuasaan yang memperalat aparat.
Ketika pakaian mereka dipakai untuk menghormati Sang Saka Merah Putih di istana, mereka sendiri malah tertunduk lesu berselimut ketakutan karena ditunjuk-tunjuk pakai moncong senjata laras panjang aparat gabungan, Polri (Brimod), TNI dan Pol PP.
Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang, Fadly Anetong dalam press release yang diterima VoxNtt.com, Selasa 18 Agustus petang, mengecam keras aksi represif Pemprov NTT di bawah rezim Viktor Laiskodat-Josef Nae Soi.
Ia menegaskan, apa yang terjadi di Besipae, tak hanya menimbulkan rasa trauma pada warga terutama anak-anak, itu juga berpotensi menghilangkan harapan hidup masyarakat setempat.
Bagaimana tidak, tanah adat yang telah menghidupi mereka selama bertahun-tahun dirampas begitu saja oleh pemerintah.
Gubuk, tempat mereka tinggal digusur, disaksikan oleh anak-anak dan kaum ibu, tanpa rasa belas kasihan.
Mereka kini pasrah sambil menanti datangnya balai bantuan. Sementara anak-anak terancam akan kehilangan akses terhadap pendidikan yang serba biaya.
Padahal, mereka sudah berupaya mempertahankan tanah adat mereka. Berbagai aksi protes mereka lakukan, mulai dari aksi telanjang dada kaum ibu hingga ritual sumpah, makan tanah. Semua itu, mereka lakukan demi hidup.
Tetapi begitulah kekuasaan bekerja, mereka tak kenal adat walau mereka kerap menyerukan sikap beradab di saat mereka bertindak biadab.
Kini, warga Besipae tersingkir dari tanahnya, mereka kini harus tidur beralas tanah beratap langit di luar kawasan yang telah diklaim Peomprov secara sepihak.
Beberapa bayi dan Ibu hamil harus dibaringkan hanya dalam gubuk darurat dari daun lontar. Terik di siang hari dan dinginnya malam, harus dirasakan bayi-bayi yang tak tahu menahu soal konflik antar-orangtua mereka dengan Pemprov NTT.
Demikian juga Ibu hamil, janin dalam rahimnya harus merasakan kelaparan karena terusir dari tempat ia mendapatkan makanan.
Berharap Uluran Tangan Presiden
Saat ini, satu-satunya harapan masyarakat Besipae adalah intervensi Presiden, sebagai atasan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat.
Intervensi Presiden sangat dibutuhkan, mengingat lawan rakyat Besipae saat ini adalah orang Nomor 1 di NTT.
Untuk menghentikan langkahnya ke Besipae hanya dapat dilakukan Presiden. Sebab saat ini, kekuatan rakyat tak lagi sanggup menahan kengototan kekuasaan lokal.
Suara rakyat, bukan lagi penentu dalam pengambilan kebijakan sebagaimana yang diutarakan selama momentum menjelang Pemilu. Demokrasi bukan lagi ‘mendengarkan’ seperti yang disampaikan Jokowi saat pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden.
Kasus Besipae merupakan ujian bagi presiden Jokowi. Apakah masih mendengarkan suara rakyat atau malah memunggungi rakyat.
Pakaian adat kebesaran orang TTS yang dipakai Jokowi seharusnya juga menjadi simbol keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat adat agar mereka bisa merasakan perlindungan negara.
Sungguh pemandangan yang tak elok jika pakaian adatnya dijunjung tetapi manusia sebagai subyek adat itu sendiri digusur atas nama pembangunan.
Karena itu presiden harus bersikap tegas dan punya pilihan politik yang jelas terhadap kasus Besipae.
Sejarah Konflik Besipae TTS vs Pemprov NTT yang Berujung Aksi Telanjang Para Ibu
Jangan sampai masyarakat menilai presiden hanya mempromosikan mode adat TTS demi kepentingan bisnis, namun pada saat yang sama menggoreskan luka kemanusiaan dalam sejarah peradaban mereka.
Selama ini, Jokowi memang kerap dicitrakan dekat dengan rakyat. Mulai dari cara berpakaian, gaya bicara bahkan disebut-sebut presiden wong cilik.
Kemenangannya dalam pilpres jilid pertama maupun kedua tak terlepas dari citra yang sudah kuat melekat dalam masyarakat itu.
Ketidakjelasan sikap Jokowi di Besipae justru akan meruntuhkan semua narasi yang terlanjur melekat selama ini. Presiden bisa saja disebut mengumbar kebanggan semu lewat pendekatan budaya demi meraup simpati, lalu membiarkan rakyat sebagai pemilik kebudayaan itu digusur dan dihilangkan hak-haknya.
Penulis: Boni Jehadin