Oleh: Vayan Yanuarius
Tinggal di Ritapiret
Pembangunan dalam sektor ekonomi menurut kaum developmentalis adalah jalan menuju kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat dan bagi kemajuan politik suatu Negara.
Karena itu, pembangunan mengutip Mouresau Fahkri dipandang sebagai “agama baru” yang harus diterima dan didukung. Tanpa adanya pembangunan dalam bidang ekonomi, kesejahteraan dan kemakmuran jauh panggang dari api.
Namun, semangat yang gegap gempita kaum developmentalis dalam memperjuang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam konteks pembangunan zaman sekarang berbanding terbalik. Pembangunan sebagai bentuk konkret emansipasi sektor ekonomi berubah wajah menjadi monster yang menyeramkan.
Hal ini sangat terasa oleh masyarakat saat ini. Demi sebuah pembangunan, hak asasi manusia sebagai hak dasar setiap individu dibungkam dengan cara represif dan militeristik.
Realitas ini menunjukkan bahwa pembangunan bukan lagi dilihat sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk merdeka dari krisis yang dialami seperti cita-cita kaum developmentalis. Tapi, pembangunan menjadi peluang bagi kekuasaan untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan hegemoni yang melegalkan pembangunan tanpa adanya kompensasi dengan masyarakat. Kita bisa membaca bahwa pembangunan yang genjot dilakukan sekarang oleh pemerintah bukan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Tapi pada keuntungan segelintir individu atau kelompok saja.
Apabila pembangunan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, mengapa masyarakat sebagai subjek pembangunan tidak dilibatkan secara aktif dalam merancang pembangunan tersebut sehingga dengan demikian tidak terjadi konflik vertikal antara penguasa dan masyarakat?
Saya kira, dengan menghadirkan masyarakat dalam merancang program pembangunan, kesejahteraan niscaya akan terwujud, emansipasi dalam sektor ekonomi dan progres dalam bidang politik.
Beberapa hari terakhir ini, ruang publik kita dibanjiri oleh berita tentang masyarakat Basipae di Timor Tengah Selatan- Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meneteskan air mata penderitaan akibat aksi represif dan militeristis yang dilakukan oleh pihak pemerintah provinsi NTT.
Berdasarkan keterangan yang saya temukan bahwa sengketa ini bermula pada tahun 1982 ketika pemerintah dan Negara Australia membangun kerja sama dalam bidang peternakan dan penggemukan sapi dengan meminjam lahan masyarakat.
Term “pinjam” di sini perlu dipahami secara baik bahwa pada suatu saat nanti ketika masa kontrak sudah selesai maka lahan tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat. Artinya Australia meminjam lahan masyarakat adat Basipae dengan jangka waktu yang tertentu dan bukan menjadi milik.
Lahan yang akan digunakan untuk melakukan proyek peternakan dan penggemukan sapi seluas 3.700 hektar. Namun, lahan tersebut kelihatannya kurang besar untuk menjalankan proyek tersebut maka pihak Australia meminta tambah lahan menjadi 6000 hektar.
Polemik mencuat di permukaan ketika pemerintah Provinsi NTT mengklaim bahwa tanah tersebut telah diserahkan kepada pemerintah, sehingga pemerintah menerbitkan sertifikat sebagai bukti bahwa lahan tersebut milik pemerintah.
Namun, klaim pemerintah tersebut mendapat penolakan dari masyarakat karena klaim tersebut tidak berdasarkan pada kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Pada tahun 2012 masyarakat adat Basipae melakukan penolakan ketika pemerintah ingin memperpanjang kontrak tanah tersebut. Hemat saya alasan sangat logis dari masyarakat adat Basipae bahwa mereka (masyarakat) ingin mengembalikan fungsinya sebagai kawasan konservasi.
Namun, rupa-rupanya pemerintah tidak menerima penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Basipae dan ingin melakukan pendekatan sekali lagi.
Kemudian, beberapa bulan yang lalu ketika Gubernur mengunjungi masyarakat Basipae, terjadi sebuah aksi histeris yang dilakukan oleh masyarakat terlebih khusus kaum perempuan dengan menelanjangkan diri di depan Gubernur sebagai bentuk penolakan terhadap kedatangan Gubernur. Hemat saya, aksi ini merupakan perjuangan yang sangat besar dari kaum feminis untuk mempertahankan apa menjadi hak dasar mereka.
Pasca merayakan hari kemerdekaan RI ke-75 masyarakat adat Basipae bukannya bersorak-sorai merayakan kemerdekaan RI dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan tapi sebaliknya, elegy penderitaan di tahan mereka sendiri. Aksi penggusuran tempat tinggal dan aksi represif dari pihak kepolisian atas instruksi pemerintah Provinsi menghantui kehidupan masyarakat Basipae.
Mereka secara konstitusional merdeka tapi secara riil mereka belum merdeka. Mereka masih dijajah oleh penguasa sendiri. hak-hak mereka dirampas dan mereka diusir secara membabi buta. Akibat dari tindakan represif dan militeristik tersebut masyarakat adat Basipae terpaksa mengungsi ke hutang. Mereka tinggal dalam keadaan menderita. Anak-anak ditelantarkan begitu saja. Nasib mereka dikemudian hari belum pasti.
Tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat Basipae di atas sama seperti Drakula yang dilukiskan oleh Alexander Jebadu dalam buku “Drakula Abad 21 (2020)”.
Drakula tersebut adalah makhluk supranatural yang suka memburu manusia dan mengisap darahnya. Dalam versi masyarakat Basipae, “Drakula” tersebut memburu hak dasar masyarakat Basipae dan mengisap kekayaan di dalamnya. Dengan demikian, masyarakat Basipae mengalami patologi kronis akibat tindakan represif sedangkan “Drakula” hidup makmur dan berjaya.
Pertanyaan yang muncul setelah menelusuri historisitas konflik masyarakat adat Basipae adalah mengapa masyarakat Basipae menolak pembangunan tersebut padahal menurut pemerintah pembangunan tersebut sangat menjanjikan kesejahteraan ekonomi masyarakat Basipae sendiri? Pembangunan yang macam manakah yang dicita-citakan oleh masyarakat adat Basipae?
Atas pertanyaan pertama hemat saya sudah sangat jelas dijawab oleh masyarakat adat Basipae sendiri bahwa mereka menginginkan agar lahan tersebut kembali menjadi kawasan konservasi.
Konservasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemeliharaan dan perlindungan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara mengawetkan.
Alasan ini hemat saya sangat tepat. Kita dapat menyaksikan fenomena alam yang sering terjadi sekarang seperti gempa bumi, tanah longsor, krisis air bersih, banjir, virus (termasuk virus Corona/Covid-19 sekarang yang menelan ratusan ribu manusia di dunia) adalah dampak dari tindakan manusia yang merusakan ekosistem alam.
Masyarakat Basipae hemat saya cukup jauh merefleksikan fenomena alam yang terjadi sekarang ini. Mereka melihat bahwa tindakan yang tidak ramah lingkungan adalah tindakan yang merusak tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Tentunya, alasan ini tidak berarti bahwa masyarakat Basipae anti terhadap pembangunan, anti terhadap kemajuan dan peradaban dan Anti dengan pemerintah.
Pembangunan sangat penting bagi peradaban manusia karena dapat memberikan jaminan ekonomi (economic guarantee).
Namun ada hal yang paling fundamental dari pembangunan yang tidak dapat ditolerir ketika dilanggar yakni hak asasi individu. Di sini yang ingin ditekankan ialah antara pembangunan yang dapat menyejahterakan ekonomi rakyat ekuivalen dengan kemerdekaan hak-hak setiap orang.
Artinya kedua dimensi ini harus berjalan bersama untuk mencapai kemerdekaan. Menurut teori ekonomi sebagaimana tertuang dalam buku “Drakula Abad 21” bahwa mengejar keuntungan dalam usaha adalah sesuatu yang wajar. Tapi, jangan karena mengejar keuntungan yang besar dimensi humanitas (kemanusiaan) dilecehkan.
Oleh karena itu, solusi terhadap konflik sengketa tanah masyarakat adat Basipae hemat saya ada dua. Pertama, melalui pendekatan kedua pihak yang bersengketa (pemerintah dan masyarakat Basipae).
Namun, dalam pendekatan yang dilakukan pemerintah tidak boleh memaksa masyarakat agar mengizinkan lahannya untuk digunakan demi kepentingan investasi. Artinya, setiap keputusan yang diberikan oleh masyarakat bersifat final.
Kedua, perjanjian secara hukum dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya manipulasi. Ketika diskursus mencapai titik konsensus bahwa masyarakat mengizinkan lahan untuk dijadikan lahan investasi perlu disahkan secara hukum. Perjanjian yang melanggar hukum akan ditindak secara hukum pula.
Dengan demikian, pembangunan bukan saja berorientasi pada kejayaan dalam bidang ekonomi saja tetapi juga pada emansipasi hak-hak asasi manusia itu sendiri. Kedua hal ini harus berjalan bersama untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan bagi seluruh elemen bangsa umumnya dan masyarakat adat Basipae pada khususnya.