Kupang, Vox NTT – Petani di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengancam akan mengurangi areal luas tanam lahan irigasi bila pemerintah mengurangi dosis pupuk bersubsidi untuk tahun 2021 sesuai surat edaran Dinas Pertanian NTT tertanggal 17 Juli 2020.
Wakil Ketua Komisi II DPRD NTT, Patris Lali Wolo kepada wartawan, Kamis (27/08/2020), mengaku dirinya mengetahui adanya ancaman itu berdasarkan aspirasi yang diperolehnya tentang penguragan usulan pupuk bersubsidi elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) untuk tahun 2021 berdasarkan rekomendasi Litbang Pertanian pusat.
“Kita minta Dinas Pertanian NTT untuk mengkaji dan mengusulkan ulang dosis pupuk bersubsidi agar sesuai dengan e-RDKK yang diajukan kelompok tani,” kata Patris.
Patris mengungkapkan, pada 20 November 2015, Litbang Pertanian pusat mengeluarkan rekomendasi soal dosis kebutuhan pupuk bersubsidi tiap hektar.
Di mana pupuk urea 200 kg, NPK 300 kg, dan Za 100 kg, serta SP36 sebanyak 100 kg. Penggunaan dosis pupuk ini telah memberikan dampak positif bagi peningkatan produktivitas sebesar enam sampai delapan ton per- hektare.
Ironisnya, pada 17 Juli 2020, Litbang Pertanian Pusat mengeluarkan tentang rekomendasi dosis pupuk bersubsidi untuk tahun 2021 yang jumlahnya mengalami penurunan cukup tinggi.
Rinciannya, NPK 175 kg atau turun 42 persen, urea 50 kg atau turun 75 persen, ZA 100 kg atau turun 50 persen.
Sedangkan pupuk SP36 turun 100 persen karena tidak diberikan rekomendasi dosis.
“Bila pengurangan dosis pupuk bersubsidi ini tidak dikaji ulang, produktivitas padi bisa mengalami penurunan hingga 50 persen atau hanya berkisar antara tiga sampai empat ton per hektare dari sebelumnya enam sampai delapan ton gabah per hektare,” ujarnya
Politisi PDIP itu menyampaikan, jika terjadi penurunan produktivitas gabah, tentunya akan mengurangi pendapatan petani.
Hal ini jelas dia, akan diperparah lagi bila terjadi serangan hama penyakit terhadap tanaman padi. Dengan demikian, penurunan produksi bisa mencapai 70 sampai 80 persen.
Selain itu biaya yang dikeluarkan pun sangat besar, karena petani membutuhkan obat- obatan untuk pengendalian hama penyakit, juga membutuhkan tambahan pupuk sebesar 50 persen dari dosis yang ada.
Patris menjelaskan, kalau petani ingin mempertahankan agar produkvititas padi sawah tetap mencapai enam sampai delapan ton per hektare, tentunya petani harus menambah input untuk membeli pupuk non subsidi.
Hitungannya, dibutuhkan urea 150 kg. Dengan harga satuan Rp 7.000/kg, maka dana yang dibutuhkan sebesar Rp 1,050 juta.
“Dibutuhkan NPK 125 kg. Dengan harga satuan Rp 7.600/kg, maka dibutuhkan dana Rp 950.000. Sehingga total input yang dibutuhkan petani sebesar Rp 2 juta, “pungkasnya
Apabila terjadi serangan hama penyakit, input akan bertambah 75 persen atau menjadi Rp 3,5 juta hanya untuk pembelian pupuk non subsidi.
“Apabila petani tidak mampu menambah input Rp 2 sampai Rp 3,5 juta, petani akan mengurangi luas areal tanam padi yakni hanya mengolah 25 persen atau petani akan menanam komoditi lain yang lebih menguntungkan,” ujar Patris.
Ia menambahkan, dengan pengurangan luas areal tanam padi atau petani menanam komoditi lain sebagai akibat dari ketidakmampuan menambah input (pembelian pupuk non subsidi), produksi padi tentunya menurun.
Hal ini akan berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, pemerintah provinsi terpaksa mendatangkan beras dari luar daerah.
“Kita minta pemerintah segera mengajukan dosis pupuk subsidi yang tepat untuk kebutuhan petani sawah agar dalam inputan e-RDKK untuk 2021 sesuai dengan kebutuhan petani untuk hasil yang optimal dan luas tanam tetap sesuai target,” tandas Patris.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba