Maumere, Vox NTT- Dominikus Talo (46) baru selesai memandikan satu jenazah. Ia keluar dari ruang jenazah RSUD dr. T.C. Hillers Maumere dan duduk di bawah pohon sambil mengisap sebatang rokok.
Seorang teman memperkenalkannya kepada VoxNtt.com. “Sudah tahu belum? Ini dokter ahli mayat di sini,” ujarnya tertawa.
Domi hanya tertawa menanggapi candaan kawan tersebut.
Ia sedang menunggu kedatangan petugas Dinas Sosial Kabupaten Sikka. Ada jenazah yang baru ditemukan dalam keadaan membusuk dan harus dimandikan.
Pasalnya, Dinas Sosial yang mengurusi pemakaman jenazah yang ditemukan telantar seperti itu. Terutama bila tak ada keluarga yang mengurusi pemakaman.
“Saya mau kerja cepat,” ungkap pria asal Kolit, Desa Ojan, Kecamatan Talibura, Sikka ini.
Otodidak
Berurusan dengan mayat adalah keahlian domi. Ia tak mempelajarinya secara khusus.
Pendidikannya pun hanya tingkat Sekolah Dasar. Meski demikian, ia pernah berusaha menjadi tentara. Kala itu, tahun 1990, Domi ikut tes jadi tentara.
Menurut pengakuannya, ia tak lulus lantaran tak berhasil mendapatkan tanda tangan dukungan dari orangtua.
“Saya disuruh pulang ke kampung untuk minta tanda tangan orangtua, tetapi karena mama tidak setuju maka saya ke Maumere untuk cari kerja,” ungkapnya.
Usianya masih belasan tahun saat melamar menjadi cleaning service di RSUD dr.T.C. Hillers Maumere. Dalam perjalanan, karena kesulitan petugas di kamar mayat, Domi diminta merangkap sebagai pemandi jenazah.
Tidak ada ritual khusus. Sebelum proses memandikan, terlebih dahulu ia mendoakan arwah jenazah. Tidak lupa meminta izin kepada jenazah terutama perempuan.
Ia sudah memandikan ribuan jenazah. Menurutnya, paling sulit adalah memandikan jenazah korban pembunuhan dan kecelakaan serta jenazah yang baru ditemukan setelah beberapa hari meninggal.
“Paling susah itu jenazah korban kapal Karya Pinang yang tenggelam. Semua orang tidak berani. Untung saya dibantu oleh satu dokter,” ujarnya.
Bukan hanya memandikan, Domi juga turut membantu memakaikan pakaian ke jenazah. Ia pernah alami kesulitan soal itu.
“Kalau kasi pakai pakaian adat Bajawa itu paling rumit. Saya sampai minta keluarga dari jenazah itu untuk buatkan gambar,” terangnya.
Meski demikian, menurutnya ada satu prinsip yang dia pegang. Ia tak boleh dan tidak akan pernah menceritakan perihal mayat yang dimandikan kepada siapa pun termasuk sang istri.
Jualan Peti Jenazah
Saat ini beban kerja Domi tak lagi berat. Ia dibantu oleh dua orang tenaga sukarela.
Istri dan anak-anaknya pun tak mempersoalkan pekerjaannya.
Sebelum menikah, sang istri, Maria Imelda sudah tahu profesi suaminya. Mereka sama-sama tinggal di rumah Direktur Rumah Sakit kala itu, dr. Henyo Kerong. Imelda bekerja sebagai juru masak.
Di tahun-tahun awal bekerja, upahnya sangat kecil. “Honor awal dengan 75.000, naik 100.000, naik 150.000, tiga empat bulan bayar untuk sebulan,” ungkapnya.
Pada tahun 1998, Domi diangkat jadi PNS. Saat ini, Domi sudah memiliki ijazah SMP dan SMA yang diperolehnya melalui program Kejar Paket.
Domi mengaku tak pernah berlibur atau meninggalkan tugasnya.
“Dulu zaman Pak Alex Longginus saya pernah minta cuti, tetapi baru satu Minggu dipanggil kembali suruh masuk kerja karena kesulitan orang untuk mandikan mayat,” tuturnya.
Meski demikian, sebagai PNS golongan rendah, pendapatannya tak seberapa.
Untuk membiayai pendidikan kedua anaknya, Domi membuka usaha jualan peti jenazah di rumahnya, di Wairklau.
“Saya punya anak perempuan dua orang. Sekarang kuliah di Jakarta,” ungkap Domi bangga.
Domi merasa menjadi pemandi jenazah adalah jalan hidupnya. Ia akan berusaha untuk selalu memberikan pelayanan terbaik bagi mereka yang telah meninggal.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba