Bajawa, Vox NTT – Pertengahan Agustus 2020, Yohanes Lusi, anak kedua dari pasangan Nikolaus Sedhu (Alm.) dan Sofia Lodo (Almh.) dilaporkan ke Polres Ngada. Warga Desa Rakalaba, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada itu dipolisikan lantaran konten yang disampaikannya melalui media sosial Facebook.
Pelapor, Eufrasia S Lay atau Aci Emi, menuduh pemilik akun Juand Fernando Mmc itu melakukan rasis, pemfitnaan, menyebarkan kabar bohong serta melakukan ujaran kebencian di grup Facebook Ngada Bangkit pada 13 Agustus 2020.
Selain Yohanes, pemilik Toko Aneka Jaya juga melaporkan tiga pemilik akun Facebook lainnya karena turut melakukan tindakan serupa melalui tulisan di kolom komentar.
Salah satu yang dipermasalahkan Aci Emi ialah penggunaan kata “China”. Salahkah sebutan China dialamatkan kepada pengusaha Toko Aneka Jaya itu?
Baca Juga: Setelah Penjarakan Ayahnya, Kini Pemilik Toko Aneka Jaya Bajawa Polisikan Yohanes Lusi
Pada awal masa Orde Baru, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 agar menggunakan istilah “China”, bukan “Tionghoa/Tiongkok” demi uniformitas dan menghindari dualisme peristilahan.
Namun Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencabut edaran yang dahulu ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet Ampera Sudharmono itu. Melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014, SBY mengubah istilah “Tjina/China/Cina” menjadi “Tionghoa”.
Alasannya, istilah “China” sangat erat kaitannya dengan psikososial-diskriminatif terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa sehingga akan berdampak pada pelanggaran nilai-nilai atau prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, menurut sejarahwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, sebagaimana dilansir Tempo.co, 19 Maret 2004, diskriminasi terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa telah terjadi di masa pemerintahan Orde Baru setelah Presiden Soeharto mengganti frasa “Tionghoa” dan “Tiongkok” dengan sebutan “Tjina/China/Cina”.
Mulanya, pergantian istilah itu bertujuan untuk menghilangkan rasa inferior suku lain terhadap suku China dan kesan superior untuk suku China itu sendiri.
Namun perubahan penamaan itu terkesan dipaksakan dan dianggap tidak tepat. Buktinya, pemerintah Orde Baru malah menyensor dokumen-dokumen berbahasa Tiongkok dan melarang kebudayaannya ditampilkan di Indonesia.
Itulah sebabnya, keputusan Presiden SBY dinilai tepat sehingga menghapus stigma diskriminasi selama rezim Orde Baru.
“Secara historis, keputusan ini tepat. Ini menghapus stigma diskriminasi masa Orde Baru,” ujar Asvi dikutip Tempo.co.
Apakah Kepres nomor 12 tahun 2004 sudah sampai ke lapisan masyarakat, terutama di daerah? Thomas Aquinas Meno, pegiat media sosial di Kabupaten Ngada mengatakan penyebutan istilah “China” kepada WNI keturunan Tionghoa masih terjadi hingga saat ini.
Saban hari, masyarakat di Kabupaten Ngada dan mungkin di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur masih akrab dengan istilah “China” ketimbang “Tionghoa”.
Bahkan mereka memiliki sapaan khusus seperti “Baba” untuk pria dan “Aci” untuk wanita. Penyebutan China hingga sapaan Baba dan Aci bagi masyarakat di wilayah ini, jauh dari tujuan dan kesan diskriminasi.
Menurut Thomas, belum adanya upaya dari pemerintah daerah atau lembaga lainnya untuk mensosialisasikan Kepres nomor 12 tahun 2004, membuat masyarakat masih akrab dengan istilah yang dianjurkan pemerintah Orde Baru itu.
“Jadi, kalau tidak percaya, coba kita uji pendapat publik. Kita panggil Baba Engku (suami dari Aci Emi) dan kita tanya di orang Bajawa. Pasti jawaban mereka, ini orang China. Kira-kira begitu,” katanya.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Yohanes