Oelamasi, Vox NTT- Warga camp pengungsian Tuapukan menggelar aksi unjuk rasa di Desa Tuapukan, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Jumat (04/09/2020) siang.
Aksi tersebut seputar sertifikat hak milik tanah warga eks Timor-Timur yang tinggal di Timor Barat itu.
Koordinator Umum aksi unjuk rasa Warga Eksodus Timor Timur di Camp Pengungsian, Misaqui Agustinho, mengatakan hidup dalam ketidaklayakan adalah realitas obyektif yang tergambar jelas dari setiap permukiman pengungsi eks Timor-Timur di Timor Barat.
Padahal secara terminologis, jelas Misaqui, kata ‘pengungsi’ sejatinya sudak tidak pantas dilebelkan kepada warga eks Timor-Timur yang sudah dua dekade ada NKRI.
Pada tanggal 22 Desember 2002 lalu, UNHCR telah mendeklarasikan cessation of status yaitu penghapusan status pengungsi eks Timor-Timur yang ada di Indonesia. Hal yang sama pula dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.
Misaqui menegaskan, nyatanya penghapusan status pengungsi itu tidak memberikan dampak yang lebih baik untuk kehidupan warga eks Timor-Timur.
“Tetapi hanya mengaburkan realitas penderitaan para pengungsi,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, pasca penghapusan status pengungsi itu, resettlement menjadi solusi terbaik dari prespektif pemerintah dan PBB sesuai dengan konvensi tentang pengungsi (durable solution) dalam penanganannya.
Dengan kebijakan itu menjadi awal dari aktivitas relokasi atau pemukiman kembali warga eks Tim-Timor yang berada di camp atau barak pengungsian ke tempat-tempat yang sudah dipilih dan dibangunkan oleh pemerintah.
“Apakah relokasi ke resettlement itu menjadi solusi terbaik penanganan para pengungsi?, Ataukah sebuah tindakan yang memunculkan efek domino?, Apakah dengan penghapusan status para pengungsi pada tahun 2005 lalu menjadikan para pengungsi sebagai WNI yang memilik hak dan kewajiban sebagai warga Negara?” tandas Misaqui.
Menurut dia, aksi unjuk rasa tersebut
bertujuan untuk mengingatkan pemerintah Republik Indonesia bahwa, masih banyak warga Negara Indonesia eks Timor-Timur yang masih hidup di camp pengungsian. Mereka seolah terlupakan oleh pemerintah.
Aksi ini juga sekaligus memperingati 21 tahun kehidupan WNI eks Timor-Timur pasca pengumuman hasil jajak pendapat 4 September 1999 di Timor Barat.
Setelah aktivitas relokasi dari tiap camp/ barak pengungsian, lanjut Misaqui, ternyata masih banyak para pengungsi belum pindah ke tiap resettlement yang telah dibangun.
Hal itu disebabkan oleh beberapa persoalan dasar yang menjadi hambatan untuk setiap warga.
Ada warga yang tidak memiliki nama penerima resettlement. Ada juga yang tidak bersedia untuk menempati resettlement meskipun memiliki nama untuk menempatinya.
Bagi warga yang tidak mendapatkan resettlement harus berbesar hati dan menjalankan kehidupanyan di camp/barak pengungsian.
Menurutnya, tidak adanya tindak lanjut yang jelas dan konsistensi oleh pemerintah untuk menanggapi persoalan para warga pengungsi yang masih hidup di camp/barak. Bahkan mereka dilupakan dalam kesunyian panjang.
Sehingga terus memperpanjang penderitaan warga eks Timor-Timur yang berada di camp/barak pengungsian.
Misaqui menambahkan, tujuh tahun setelah program relokasi ke resettlement, angin segar berhembus dari Kementerian PUPR dengan dana berupa pembangunan permukiman.
Itu melalui program masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan total dana 1 triliun rupiah.
Namun sayangnya, dana itu tidak sedikit menyentuh dan berdampak untuk masyarakat camp seperti Noelbaki, Tuapukan dan Naibonat.
“Hal ini menjadi nestapa untuk kehidupan para penghuni camp/barak,” ujarnya.
Para warga camp yang sebenarnya memenuhi syarat untuk penerimaan dana itu, demikian Misaqui, harus kembali kehilangan asa lantaran dana pemukiman untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak menjadi bagian mereka.
Misaqui menyatakan pemerintah terkesan kurang adil dalam memperlakukan para warga penghuni camp/barak, sehingga mereka tidak mendapatkan bantuan itu.
Apabila dugaan itu terbukti benar adanya, maka pemerintah yang sejatinya menjadi alat Negara dengan tugas yang melekat padanya harus menjamin kehidupan warganya yang mulai kehilangan substansi dari eksistensinnya.
“Maka hal itu akan memperkeruh, memperlebar jurang kemiskinan dan kemelaratan para warga penghuni camp dengan warga negara lainnnya,” jelasnya.
Ia menjelaskan, warga penghuni camp/barak yang tetap menetap meskipun memiliki kesempatan untuk pindah ke hunian baru.
Hal itu menjadi bentuk kekecewaan para warga pengungsi yang merasa hunian baru yang dibangun oleh pemerintah berupa resettlement sangat tidak layak.
ketidaklayakkan itu teridentifikasi dari tidak dilengkapinya sarana air bersih, listrik, akses jalan yang memadai.
Keadaan diperparah lagi oleh rumah hunian yang sangat kecil dengan ukuran 5×6 meter persegi dan sempit untuk setiap KK yang memiliki anggota keluarga di atas 6 orang dan tidak tersedianya lahan garapan.
Mayoritas dari para penghuni camp adalah petani yang kesehariannya mengantungkan hidup pada lahan garapan sewaktu di Timor-Timur.
Para pengungsi pun merasa kebijakan relokasi pada setiap resettlement dengan setiap persoalan itu secara tidak langsung membunuh mereka dengan perlahan-lahan.
“Dan bagaimana seorang petani bisa betahan tanpa lahan garapan maka konsekuensinya mereka yang berprofesi sebagai petani akan beralih profesi,” ujarnya.
Persoalan itu, lanjut dia, menjadi lebih runyam ketika tempat yang menjadi hunian baru itu dibangun pemerintah di atas tanah milik masyarakat lokal tanpa kejelasan dan ganti rugi.
Itu akan mengakibatkan konflik sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan para penghuni camp/barak.
Contoh kasus “Oebelo atas” dan tanah merah yang tidak mendapatkan kejelasan status tanah dikarenakan resettlement itu digugat oleh seorang pengusaha yang mengaku pemiliki dari tanah itu.
Sehingga ada upaya dari mereka untuk meminta kepastian akan status tanah dalam bentuk sertifikasi kepada pemerintah memperoleh hasil yang nihil.
Kasus lainnya, sebut Misaqui, adalah tanah hunian baru yang diukur sewaktu program nasional (PRONAS) tahun 2019 kemarin hanya diberikan sertifikasi hak guna bagunan (HGB).
Menurut dia, jika tanah yang menjadi hak dasar untuk manusia bisa hidup darinya hanya digunakan, maka dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan malah petaka baru setelah keluar dari camp/barak pengungsian.
Sebab HGB akan diperpanjang 20 tahun sekali, sehingga warga penghuni resettlement itu tidak mendapatkan kepastian status hak milik selamanya kecuali harus membeli.
“Fakta ini ada di resettlement Grya Permai Oebelo (GPO),” tandasnya.
Ia mengatakan, dana yang dialokasikan untuk pelepasan lahan untuk dibangunnya resettlemen seperti pada resettlement GPO, Obelo Atas dan Tanah merah, sarat kepentingan dan memiliki indikasi manipulasi uang Negara.
Dipindahkannya warga dari camp ke resettlement dengan harapan hidup dalam kepastian malah menjadi masalah baru, sama seperti efek domino.
Menurutnya, meskipun pantang memanggil para warga eks Timor-Timur dengan sebutan pengungsi tetapi tidak bisa dipungkiri realitas sosial menunjukan keadaan yang tidak terlalu berubah semenjak pertama kali mereka menjadi penghuni baru di Timor Barat pasca Referendum Timor Timur tahun 1999 lalu.
Keadaan tidak berubah. Artinya mereka masih hidup seperti para pengungsi pada camp/barak pengungsian.
Meski secara yuridis warga eks Timor-Timur memang sudah menjadi warga Negara Indonesia. Namun secara sosiologis, interaksi mereka masih seperti pengungsi yang selalu saja mengharapkan uluran tangan dari orang lain.
Hal itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka berjuang untuk hidup dalam keadaan yang sangat melarat dan miskin di camp pengungsian.
Misaqui mengungkapkan kemelaratan dan kemiskinan berakar dari ketidakpastian akan status tanah. Sebab tanah yang menjadi kebutuhan fundamental untuk menunjang kehidupan hari esok menjadi seuatu yang abstrak dan tanpa kejelasan.
Dikatakan, mayoritas dari mereka adalah petani yang mutlak membutuhkan tanah untuk garapan.
Sayangnya seringkali mereka tidak mendapatkan bantuan dalam cakupan infrastruktur seperti pengalian/pengeboran sumber air bersih, bantuan rumah, WC umum dan alat pertanian dengan dalih pemerintah bahwa tanah yang mereka tempati bukan merupakan status hak milik, sehingga mubazir jika diberikan para penghuni camp/barak.
Kondisi ini menunjukan ketidakberdayaan pemerintah untuk menangani persoalan pengungsi penghuni barak dan bahkan pembiaran yang dilakukan oleh Negara.
Kata dia, keadaan itu seperti dipelihara oleh oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan kemiskinan mereka untuk kepentingan pribadi pada momen-momen pileg, Pilkada dan Pilpres.
Harus diakui bahwa masih banyaknnya warga eks Timor-Timur yang menghuni camp akibat kelalaian penanganan dari pemerintah.
Itu seperti penyediaan resettlement yang bermasalah, tidak adanya pelepasan tanah untuk resettlement tertentu, daerah gersang yang tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam, tidak adanya penyediaan air bersih dan sanitasi yang tidak disediakan.
Hal demikaian yang membentuk prespektif mereka. Bahkan bagi orang menyaksikan kehidupan mereka, masih layak disebut sebagai pengungsi.
Misaqui melanjutkan, agar bisa terlepas dari belenggu kemiskinan ini, mayoritas petani penghuni camp harus diberikan kepastian akan status tanah yang bisa dipakai untuk garapan. Hal itu agar mereka tidak selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba