Kupang, Vox NTT-Hampir sepanjang Agustus 2020, publik, khususnya Nusa Tenggara Timur (NTT) dihebohkan dengan perseteruan antar-Pemerintah Provinsi NTT melawan masyarakat Besipae Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Perseteruan panas antar-pemerintah vs rakyat itu bermula dari Pemprov NTT di bawah pimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat yang dinilai mengkalim sepihak tanah ulayat milik masyarakat Besipae.
Klaim Pemprov ini kemudian memantik kemarahan warga yang merasa tanahnya diserobot Pemprov. Demi mempertahankan tanah warisan leluhur, mereka pun tidak tinggal diam.
Rangkaian aksi demonstrasi dilakukan di atas lahan tersebut, demi mempertahankan tanah yang telah menghidupkan mereka dan anak cucu selama bertahun-tahun.
Blokir jalan hingga aksi telanjang dada para Ibu di hadapan Gubernur Viktor B. Laiskodat dan sumpah serapah sambil makan tanah di hadapan pihak keamanan yang bersenjata lengkap. Setidaknya hanya itu cara melawan yang bisa mereka lakukan kepada kekuasaan yang terus menghimpit mereka.
Isak tangis para ibu dan anak-anak yang terus memancarkan aura ketakutan pun pecah, mewarnai perjuangan masyarakat adat itu.
Tak hanya di Besipae, aksi beruntun aliansi masyarakat peduli Besipae yang terdiri dari organisasi mahasiswa hingga LSM pemerhati lingkungan dan masyarakat adat digelar di mana-mana. Mulai dari Provinsi, yakni di Kantor Gubernur dan DPRD NTT hingga di Istana Presiden.
Baca: “Drakula Pembangunan” dan Emansipasi Hak Asasi Manusia di Besipae
Berita tentang rangkaian aksi tersebut, viral di media sosial entah berbentuk narasi maupun video yang mempertontonkan represivitas aparat.
Bak gayung bersambut, perlawanan demi perlawanan rakyat itu rupanya sampai juga ke telinga Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang kemudian turun ke lokasi sengketa, Senin 24 Agustus 2020 untuk berdialog dengan Pemprov NTT dan masyarakat adat Besipae yang digusur.
Kehadiran Komnas HAM, sebagaimana informasi yang dihimpun media ini, selain karena adanya dugaan pelanggaran HAM dalam upaya menguasai tanah ulayat masyarakat adat Besipae, seperti penggusuran dan pembongkaran rumah warga secara paksa, juga memastikan dugaan tindakan kekerasan bersenjata di atas lahan sengketa yang kemudian videonya viral.
Video yang viral itu memperlihatkan aparat gabungan Pol PP, Brimob dan TNI diduga tengah melakukan kekerasan terhadap warga, dengan menodongkan senjata hingga melepaskan tembakan ke tanah sebanyak tiga kali.
Akibat ulah para aparat itu, terjadi gangguan psikologis dan trauma bagi warga, khususnya Ibu-ibu dan anak.
Baca: Soal Besipae: Massa Gelar Unjuk Rasa, Pemprov NTT Undang Wartawan ‘Coffee Morning’
Terhadap tembakan tiga kali ke tanah itu, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing kepada media menyebutkan, tembakan itu sebagai sock terapi kepada warga yang enggan keluar dari lahan yang diakui warga sebagai tanah ulayat mereka.
Pernyataan Sony Libing itu sebagai respons atas berbagai pernyataan dan kecaman publik, yang menyoroti aksi kekerasan Pemprov bersama aparat gabungan.
Sehari setelah aksi represif aparat itu, viral lagi di media sosial. Di situ disebutkan bahwa konflik Besipae berakhir, bahkan ada yang menulis bahwa Pemprov dan warga Besipae sudah berdamai. Karena itu sengketa tanah di sana, berakhir.
Baca: Sejarah Konflik Besipae TTS vs Pemprov NTT yang Berujung Aksi Telanjang Para Ibu
Hal itu berangkat dari tiga tokoh masyarakat yang disebut beberapa media sebagai Usif (Raja) yakni, Gustaf Nabuasa, Frans Nabuasa dan Nope Nabuasa.
Ketiga tokoh ini menandatangani surat kesepakatan dengan Pemprov NTT, yang isinya menyatakan lahan 3.780 hektar yang bersengketa dengan warga itu sebagai milik Pemprov. Kesepakatn itu kemudian dikalim para tokoh dan Pemprov ini sebagai akhir dari konflik Besipae.
Tak berhenti di situ, mempertegas kesepakatan mereka, ketiga tokoh yang disebut sebagai Raja ini bergabung bersama beberapa elemen masyarakat pada Rabu, 02 September menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRD NTT.
Baca: PP PMKRI Kecam Tindakan Represif Terhadap Warga Besipae
Inti demonstrasi itu ialah mendukung pemerintah NTT dan meminta agar segera memanfaatkan lahan sengketa itu dengan berbagai aktivitas pembangunan.
Saat itu, Nope Nabuasa turut menyampaikan apa yang sudah disepakati bersama Pemprov, yakni menegaskan kembali bahwa lahan 3.780 itu telah diserahkan ke Pemprov.
Di sana, mereka diterima oleh Gabriel Beri Bina bersama seorang anggota DPRD yang lain. Di hadapan sejumlah media dan para demonstran, Gabriel menyatakan, DPRD mendukung pemerintah dan mengapresiasi para tokoh yang menyerahkan tanah tersebut.
Tolak Kesepakatn Pemprov dengan Tokoh Adat
Hasil penelusuran media ini ke berbagai sumber, menyebutkan, konflik Besipae sesungguhnya belum berakhir.
Pasalnya ketiga tokoh yang menyerahkan lahan itu ke Pemprov bukan sebagai perwakilan rakyat yang bersengketa. Selain itu, mereka dinilai tidak mempunyai hak atas tanah tersebut.
Karena itu, warga 37 kepala keluarga (KK) yang menjadi korban penggusuran paksa, hingga saat ini tetap berjaga di bawah tenda darurat yang mereka bangun di sekitar wilayah sengketa.
“Kami masih di bawah tenda Kaka,” aku Niko Manao, salah satu juru bicara warga korban saat dihubungi VoxNtt.com via WhatsApp, Minggu 2 September 2020.
Niko menerangkan, mereka tetap bertahan di sekitar lokasi karena menolak kesepakatan yang dibuat oleh Pemprov bersama Gustaf, Frans dan Nope Nabuasa. Alasannya, kesepakatan itu dibuat secara sepihak tanpa melibatkan warga yang menjadi korban dari konflik tersebut.
Baca: Besipae, Penjajahan di Tengah Kemeriahan HUT Kemerdekaan RI ke-75
“Iya karena kesepakatan sepihak kk, tdk pernah melibatkan masyarakat korban,” terang Niko, menjawab pertanyaan, mengapa mereka menolak.
Nabuasa Bukan Usif
Selain alasan kesepakatan yang dibuat sepihak itu, mereka juga tidak mengakui kesepakatan tersebut karena mereka menilai, para tokoh yang bersepakat dan menyerahkan lahan itu kepada Pemprov, menurut hukum adat, Gustaf, Frans dan Nope Nabuasa bukanlah Usif atau Raja.
Karena itu ketiganya tidak mempunyai legitimasi dalam menyerahkan tanah ke Pemprov.
Dalam sistem kekuasaan adat Amanuban Selatan, ketiga tokoh tersebut adalah Meo yang bertugas sebagai Panglima Perang. Tugas mereka adalah untuk menjaga kedaulatan kerajaan dari serangan pihak luar. Tidak ada dalam sistem kekuasaan kerajaan yang menjelaskan Meo sebagai pemilik tanah ulayat.
Oleh sebab itu, mereka menyebut kesepakatan yang dibuat para Meo dan Pemprov tersebut merupakan produk hukum yang cacat.
“Meo itu panglima kk, yg punya hak atas tanah adat adalah usif,” ujar Niko.
Alasan mendasar lainnya yang membuat mereka bersikukuh menolak ialah karena ada dugaan pembohongan publik yang dilakukan Pemprov dalam kesepakatan tersebut.
Menurut Niko, dalam sertifikat, luas lahan yang diserahkan yakni, 3.780 hektar tetapi jika mengarah pada peta atau sketsa yang dimiliki warga saat ini menunjukkan bahwa, lahan yang akan dikuasai Pemprov seluas, 6.000 ha.
“Di dalam sertifikat 3.780 ha, tapi kalau kita lihat di petanya, itu sketsa 6000 ha kk,” terang Niko.
Baca: Klaim Kepemilikan Besipae dan Cacat Prosedural Pemprov NTT
Dari situ mereka menyimpulkan, ada upaya dari Pemprov untuk mengelabui publik.
Meo Tidak Berhak atas Tanah, Apalagi Menyerahkan Tanah ke Pihak Lain
Usif Pina Nope, yang dihubungi VoxNtt.com via WhatsApp, Jumat 02 September malam menjelaskan, dalam sistem kekuasaan kerajaan, Meo tidak mempunyai hak atas tanah apalagi menyerahkan tanah ke pihak lain.
Karena itu, menurut dia, narasi yang muncul di media selama ini adalah opini yang sengaja dibentuk Pemprov NTT, seolah-olah para Meo itu berhak untuk menyerahkan tanah.
Mereka menduga, opini yang kemudian beredar liar itu hanya untuk mengalihkan simpaty publik yang selama ini telah berjuang bersama masyarakat adat Besipae.
“Jelas tidak berhak, tapi karena opini yang dibentuk oleh Pemprov bahwa itu mereka yang berhak untuk menyerahkan. Jadi, kami berusaha meluruskan,” terang Usif Pina.
Baca: Pakaiannya Dibangga, Rakyatnya Bagaimana?
Sebagai Usif, Pina Nope hanya menginginkan agar masyarakat Amanuban tidak menjadi orang asing di atas tanahnya sendiri.
“Intinya, kami mau masyarakat Amanuban jangan menjadi orang asing di negeri sendiri karena ulah sekelompok orang, yang memanfaatkan kedudukan adanya untuk kepentingan politik sesaat,” tandas Usif Pina Nope. Bersambung
Penulis: Boni J