Dalam Konflik Besipae Belum Berakhir (1), VoxNtt.com menjelaskan tentang, mengapa masyarakat, korban dari konflik Besipae tetap bertahan di lokasi.
Pada bagian ini, VoxNtt.com akan menyuguhkan data penting yang wajib diketahui publik soal Besipae.
Lahan Sewa Pakai hanya 2.200 ha
Informasi yang muncul ke Publik selama ini, tanah yang disewapakaikan ke Pemprov NTT pada tahun 1983 ialah, 3.780 ha.
Dalam dokumen yang diterima dari Usif Pina Nope menjelaskan, luas lahan yang disewapakaikan ke Pemprov NTT saat itu, hanyalah 2.200 ha.
Hal itu tertuang dalam surat permohonan hak pakai yang dimohonkan Drh. CH. Y Mallesy atas nama Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, nomor 170/fkh/ACR/TTS/83 tanggal 31 Oktober 1983.
Baca: “Drakula Pembangunan” dan Emansipasi Hak Asasi Manusia di Besipae
Di situ, yang dimohonkan areal seluas 2.200 ha, bukan 3. 780 ha. Sementara, Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Panitia A) tanggal 31 Oktober 1983 menyebutkan, tanah yang dimohonkan 2.200 ha.
Salah satu yang menandatangani berita acara sewa pakai itu ialah (Meo) Frans Nabuasa selaku Kepala Desa Oe’ekam. Dalam berita acara itu menyebutkan, sebagian tanah itu ialah milik rakyat.
Pina Nope menegaskan, Frans Nabuasa sudah mengakui dalam berita acara tahun 1983 bahwa sebagian tanah itu milik rakyat.
Dalam Surat Gubernur NTT, Ben Mboi yang ditandatangani Sekda NTT, Daud, nomor Pem. 014.1/153/83 tanggal 7 Desember 1983, yang juga salinannya diterima VoxNtt.com menjanjikan tanah dengan sertifikat hak milik kepada masyarakat yang berada dalam lokasi proyek maupun di luar lokasi proyek, yang bersedia tinggal seumur hidup di sana, seluas 2,25 ha-3,25 ha.
“Poin b, itu jelas sebut tanah tersebut sebagian milik rakyat. Poin 2, tanah seluas 2.200 hektare. Lalu kemarin, tanggal 21 Agustus 2020, Dia menyerahkan tanah seluas 3.780 ha sebagai milik pribadinya. Oknum-oknum seperti ini, patut dituntut secara hukum karena pembohongan publik dan juga penggelapan tanah ulayat untukk kepentingan tertentu,” tegasnya.
Tercium Aroma Korupsi di Besipae
Menurut Usif Pina, ada indikasi korupsi yang tercium dalam sewa pakai tanah di Besipae tersebut. Pasalnya, dalam berita acara sewa pakai sebagaimana salinannya diterima VoxNtt.com, harga yang dibayarkan untuk sewa pakai saat itu ialah Rp 350/m2.
Baca: Besipae, Penjajahan di Tengah Kemeriahan HUT Kemerdekaan RI ke-75
“Nah kalau 2.200 ha dikalikan dengan Rp 350 sama dengan tujuh miliar tujuh ratus juta (Rp 7,7 miliar). Itu dulu, uang segitu ke mana?. Ini hal-hal yang perlu kejujuran pemerintah provinsi dalam masalah Besipae. Karena, ini tercium aroma korupsi pada waktu penyerahan tanah itu,” ujar Usif Pina ke VoxNtt.com belum lama ini.
Dia heran, mengapa informasi-informasi seperti ini, selama ini tidak dibuka ke Publik.
Padahal kata dia, publik wajib tahu informasi tersebut agar publik mendapatkan inofrmasi yang benar, bukan malah disesatkan dengan informasi-informasi yang sengaja dibuat oleh segelintir pihak tertentu.
“Kalau 2.200 hektare itu berarti 2.200.000 m2. Belum lagi kalau sesuai sertifikat berarti 3.780.000 m2 x 350 berarti, Rp 13 miliar lebih. Tahun 1983 itu uang yang sangat besar sekali. Bahkan, APBD TTS tahun 1983 belum sampai 400 juta,” tambahnya.
Itu semua kata dia, hanya untuk sewa pakai bukan untuk menjadi hak milik.
“Saya justru melihat bahwa ini indikasi korupsi dengan menggunakan peralihan hak pakai tanah untuk dapat uang. Sekarang, mau tanahnya lagi dengan alasan hak pakai itu hak selama-lamanya,” ujarnya.
Tempuh Jalur Hukum
Terkait semua hal itu, Usif Pina menegaskan, akan menempuh jalur hukum apabila Pemprov masih bersih keras, mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka. Pihaknya juga mengusut indikasi korupsi yang terjadi dalam sewa pakai tanah tersebut.
Mereka berharap, melalui upaya hukum tersebut dapat mengembalikan tanah tersebut ke masyarakat.
Baca: Besipae, Bena dan Aksi Buka Dada Itu
“Tentu kalau pemerintah masih berkeras untuk mengklaim tanah tersebut dengan mengabaikan masyarakat kecil, maka kami akan menempuh jalur hukum, untuk bisa tanah itu dikembalikan kepada masyarakat,” tegas Usif Pina.
Ia pun mengungkapkan kekecewaannya kepada Pemprov, yang menurut dia, lebih mengutamakan ternak dan tanaman daripada manusia.
“Kami keluarga Nope merasa miris karena Pemprov mengutamakan ternak dan tanaman yang akan ditanam dan bersikap tidak manusiawi terhadap manusia,” kesal Usif Pina.
Ia juga berharap agar pers, dalam konflik Besipae dapat secara cermat menelusuri sejarah dan konflik tanah Besipae agar melahirkan informasi-informasi yang kredibel dan obyektif.
DPRD Menangkap Semua Aspirasi
Wakil Ketua DPRD NTT, Ince Sayuna mengaku, saat ini DPRD sedang menangkan seluruh aspirasi, baik pro maupun kontra.
“Untuk sementara, kami hanya menangkap aspirasi. Kami akan kaji dua pendapat ini. Tugas kami adalah menjahit kembali dua kelompok ini menjadi satu,” ungkap Ince usai menerima para Meo dari Besipae, Jumat, 2 September 2020.
Ince juga mendorong agar pihak-pihak yang merasa mempunyai legitimasi dan hak atas tanah bersengketa itu untuk melakukan proses hukum.
“Kalau berkenan dengan status kepemilikan tanah, maka kami serahkan ke ranah hukum. Kami dorong proses hukum, sehingga diketahui siapa yang paling berhak,” ujarnya.
Baca: Klaim Kepemilikan Besipae dan Cacat Prosedural Pemprov NTT
Dia juga meminta kepada Pemprov menjelaskan ke DPRD NTT terkait pemanfaatan lahan Besipae dan dampaknya bagi daerah.
Menurut dia, hingga saat ini DPRD belum mendapatkan penjelasan dari Pemprov terkait pemanfaatan lahan yang ada di Besipae tersebut.
“Kami juga minta pemerintah menjelaskan ke kami. Mau di buat apa Besipae? Apa yang mau dikerjakan, dan apa dampak terhadap PAD. Ini belum dijelaskan ke kami,” tegasnya.
Untuk diketahui, sebelumnya, tanggal 24 Agustus, pihaknya menyurati Presiden RI, Joko Widodo agar mengambil alih penyelesaian konflik masyarakat Besipae dengan Pemprov NTT.
Penulis: Boni J