Editorial, Vox NTT-Sengketa lahan Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan Pemprov NTT secara hukum sudah berakhir dengan pertemuan bersama Pemprov NTT dengan Usif (Raja) Besi dan Usif Pa’e pada Jumat (21/08/2020) di kantor Camat Amanuban Selatan.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa area seluas 3.780 hektar di Besipae tetap menjadi milik Pemprov NTT.
Namun, secara substansial sebenarnya persoalan Besipae belum berakhir. Selain tetap menimbulkan polemik baru dalam internal masyarakat, kekerasan yang pernah dilakukan oleh pemerintah Provinsi NTT terhadap masyarakat Besipae masih meninggalkan luka yang mendalam.
Untuk itu, yang dipikirkan oleh Pemprov NTT sebenarnya bukan hanya penyelesaian perkara lahan secara legal prosedural, melainkan juga rehabilitasi psikologi masyarakat Besipae yang pernah mendapatkan perlakuan “keji” dari Pemprov NTT.
Rehabilitasi psikologi ini penting karena persoalan mendasar di Besipae sebenarnya bukan hanya soal klaim kepemilikan lahan, melainkan juga soal “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang dilakukan oleh negara.
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara sebenarnya bukan narasi baru dalam sejarah peradaban manusia. Secara historis, negara sering tampil sebagai pelaku teror paling brutal. Terorisme yang dilakukan oleh negara itu sering kali tidak terlalu kentara karena negara sering bersembunyi di balik “ideologi kesejahteraan”.
Demi kesejahteraan terbesar dari sejumlah orang terbanyak (the greatest welfare of the greatest number) sering kali sekelompok masyarakat dikorbankan. Pembangunan dengan logika utilitarian ini memang selalu menyisahkan luka. Hak asasi dan martabat sekelompok masyarakat tak jarang menjadi harga yang harus dibayar demi mencapai pembangunan yang katanya menguntungkan banyak orang.
Namun sayangnya, dalam banyak kasus yang diuntung dari pembangunan semacam itu justru korporasi-korporasi baik nasional maupun transnasional yang sudah terlebih dahulu berselingkuh dengan penguasa.
Pelajaran Berharga dari Besipae
Konflik Besipae memaksa kita untuk mempertanyakan kembali legitimasi kekuasaan negara. Berhadapan dengan berbagai macam kekerasan yang dilakukan oleh negara, mau tidak mau kita harus menggugat dan mempertanyakan kembali legitimasi kekuasaan negara.
Secara amat sederhana, negara dipahami sebagai sebuah organisasi kekuasaan yang legitim. Sedangkan kumpulan para preman yang kalaupun memiliki kuasa dan mendiami suatu wilayah tertentu tetap dianggap tidak memiliki kekuasaan yang legitim (Otto Gusti Madung, 2013:7). Dasarnya sederhana. Legitimasi negara terletak pada pengakuan para warganya. Pengakuan yang sah tidak pernah mengandung unsur pemaksaan. Pengakuan itulah yang membedakan kekuasaan negara dengan kekuasaan para preman.
Di Besipae, legitimasi kekuasaan negara itu memang pantas dipertanyakan. Berbagai macam modus kekerasan yang pernah dilakukan oleh aparat keamanan atas perintah Pemprov NTT terhadap masyarakat Pubabu-Besipae memberi sinyal bahwa legitimasi kekuasaan negara, dalam hal ini Pemprov NTT, di Besipae telah mati.
Matinya legitimasi negara di Besipae itu tentu menjadi ancaman serius bagi negara sendiri. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi keutuhan sebuah negara selain negara yang kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya sendiri.
Kepercayaan masyarakat terhadap negara diuji justru pada saat-saat genting dan dalam situasi-situasi krisis. Pada saat-saat seperti itu, masyarakat mengharapkan negara hadir melaksanakan kewajibannya untuk melindungi (obligation to protect) hak-hak warganya.
Dalam situasi krisis dan genting, masyarakat tidak pernah mendambakan kehadiran negara sebagai segerombolan preman yang datang mencaplok hak-hak hidup masyarakat. Negara yang hadir sebagai segerombolan preman yang datang mencaplok hak hidup masyarakat tidak layak disebut negara. Negara semacam itu justru mengebiri legitimasinya sendiri.
Pada titik ini, narasi Gubernur NTT dalam beberapa kesempatan bahwa dirinya bukan hanya gubernur, melainkan juga profesor preman harus dihentikan. Narasi arkais semacam itu tidak layak diucapkan oleh seorang pejabat publik di ruang publik. Jika tetap diucapkan, itu dipandang sebagai sebuah kemunduran besar yang yang dilakukan oleh pejabat publik.
Kasus Besipae mengajarkan kita bahwa negara memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) hak-hak warga dan bukan malah sebaliknya sebagai penindas dan pencaplok hak-hak warga. Melalui instrumen hukumnya, negara harus menjamin agar kewajibannya itu tidak diabaikan dan disalahgunakan. Hukum harus memastikan itu, sehingga penguasa tidak bertindak sewenang-wenang menindas hak-hak dan martabat warganya. Sebab tujuan hukum ialah memanusiakan penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, patokan utama keberadaban hukum ialah sejauh mana hak-hak asasi dan martabat manusia tetap terjamin.
Selain itu, konflik Besipae juga mengajarkan kita bahwa model pemerintahan yang beradab tidak diikur dari sejauh mana pemerintah memaksakan kehendaknya kepada warga, tetapi diukur dari sejauh mana pemerintah menjalankan kekuasaannya sesuai kehendak rakyat.
Dengan demikian, dalam setiap kebijakannya, pemerintah mesti mengedepankan cara-cara dialogis. Dalam dialog pun pemerintah tidak boleh menggunakan pendekatan top down. Penggunaan pendekatan top down dalam dialog sudah pasti menghilangkan esensi dialog. Penggunaan pendekatan top down justru mengubah dialog menjadi monolog. Dalam sejarah negara-negara, monolog hanya dilakukan oleh pemerintahan otoriter.
Pelajaran terakhir dari konflik Besipae ialah wibawa dan otoritas pejabat publik tidak diukur dari sejauh mana pemerintah efektif menggunakan pendekatan militeristik dalam mengatasi persoalan-persoalan publik, tetapi diukur dari sejauh mana pemerintah bertindak beradab dan berprikemanusiaan terhadap masyarakat dalam menangani persoalan-persoalan publik.
Penulis: Ferdi Jehalut