Labuan Bajo, Vox NTT- Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manggarai Barat dan Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai, menggelar simulasi (uji coba) pendaratan helikopter di kampung adat Wae Rebo, Selasa pagi (22/09/2020).
Simulasi pendaratan helikopter di kampung adat Wae Rebo dilaksanakan dalam rangka meninjau kelayakan landasan helikopter (Helipad) sebagai jalur evakuasi udara.
Hal ini untuk memperkuat kesiapan mitigasi dan tanggap darurat bencana (emergency response) kampung adat Wae Rebo yang sejak 6 September 2020 lalu dibuka kembali oleh Gubernur NTT, Viktor Laiskodat Bungtilu untuk menerima kunjungan wisatawan.
Rombongan terdiri dari Direktur Utama BOPLBF Shana Fatina, Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Manggarai Barat Dominikus Hawan, Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Kabupaten Manggarai Angkat Anglus, beserta 2 pilot dan staf.
Direktur Utama BOPLBF Shana Fatina dalam kesempatan tersebut menegaskan, peninjauan dilakukan sebagai bentuk dukungan dan jaminan pemerintah pusat dan daerah kepada masyarakat kampung adat Wae Rebo yang saat ini sudah mulai menerima kunjungan wisatawan.
“Sejak awal aktivasi kembali wisata kampung Wae Rebo, desain jalur evakuasi memang menjadi salah satu target pemerintah, mengingat jaminan keamanan, keselamatan masyarakat dan wisatawan Wae Rebo menjadi prioritas terutama di masa pandemi seperti saat ini,” tegas Shana.
Lebih lanjut Shana menjelaskan, berbagai upaya untuk mendukung dan menjamin keselamatan masyarakat di destinasi wisata yang sudah mulai beraktivitas kembali seperti kampung Wae Rebo dilaksanakan dengan memperkuat edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya protokol kebersihan, kesehatan, keamanan, dan ramah lingkungan (Cleanliness, Health, Safety, Environment/CHSE) secara disiplin, selain menyiapkan jalur evakuasi kampung adat Wae Rebo.
“Kami ingin masyarakat Wae Rebo merasa aman, merasa yakin, dan percaya, bahwa mereka tetap dapat beraktivitas kembali dengan aman, asal senantiasa disiplin pada protokol kesehatan. Di sisi lain, kami perkuat mereka dengan desain jalur evakuasi ini, sehingga dalam keadaan darurat masyarakat Wae Rebo tidak mengalami kesulitan mengakses fasilitas kesehatan ataupun untuk mengangkut keperluan logistik yang diperlukan,” jelas Shana.
Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Manggarai Barat Dominikus Hawan mengungkapkan, tujuan pendaratan helikopter di kampung adat Wae Rebo merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam rangka upaya mitigasi bencana dan tanggap darurat bencana (emergency response) di destinasi wisata, baik bencana alam maupun non alam.
“Kondisi keberadaan (existing) dari Wae Rebo yang berada di ketinggian, diapit oleh pegunungan dan akses masuknya yang tidak dapat ditempuh menggunakan transportasi darat, membuat Wae Rebo cukup memiliki potensi kebencanaan. Untuk itulah pemerintah hadir menyediakan helikopter sebagai solusi melalui akses udara jika terjadi kejadian darurat bencana,” ujar Dominikus.
Dominikus juga menekankan pariwisata yang berkelanjutan tidak terlepas dari kesiapsiagaan berbagai elemen. Sinergi berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan. Seperti landasan helikopter yang digunakan untuk keperluan pendaratan pagi ini disiapkan warga kampung Wae Rebo sendiri secara gotong royong sebagai bentuk dukungan warga terhadap upaya mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah.
Posisi landasan helikopter (helipad) yang jauh dari keberadaan rumah adat (Mbaru Niang) dan pemukiman masyarakat juga diperhitungkan dengan seksama guna memastikan bahwa lokasi pendaratan helikopter relatif aman dari pemukiman warga.
“Masalah kebencanaan ini kan tidak memandang batas administratif. Cara pandangnya harus secara holistik dan menyeluruh, dan menggunakan pola pikir krisis. Ini yang kemudian menjadi fokus kami, bersama BOPLBF, dan Dispar Kabupaten Manggarai secara bersama-sama melakukan simulasi pendaratan dan evakuasi ini,” Dominikus menegaskan.
Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Kabupaten Manggarai, Angkat Anglus, tampak antusias. Anglus mengapresiasi dukungan berbagai pihak dalam upaya pemulihan kembali aktivitas pariwisata khususnya pariwisata kampung Wae Rebo.
Upaya menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat Wae Rebo dan para wisatawan dengan penguatan protokol kesehatan melalui edukasi dan penyiapan jalur evakuasi destinasi wisata kampung adat Wae Rebo. Itu seperti yang dilakukan saat ini diharapkan memberikan optimisme kepada masyarakat Wae Rebo dalam menjalankan pariwisata.
“Terima kasih kepada BOPLBF dan BPBD yang telah bersinergi bersama kami mempersiapkan berbagai upaya pemulihan pariwisata Wae Rebo. Semoga dengan segala bentuk dukungan ini masyarakat makin percaya diri menerima kunjungan wisatawan dengan selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan,” ungkap Anglus.
Aktivitas pariwisata di kampung adat Wae Rebo sendiri sejak dibuka oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat pada 6 September 2020 lalu, masih membatasi kunjungan wisatawan.
Pembatasan dilakukan dengan hanya menerima kunjungan harian. Hingga saat ini kunjungan wisatawan dalam rangka menginap belum diizinkan.
Landasan helikopter (Helipad) yang digunakan untuk keperluan pendaratan di kampung adat Wae Rebo sendiri pagi ini merupakan hasil gotong royong dari warga setempat dengan melakukan pembersihan lahan, penimbunan tanah, dan penyusunan papan.
Setelah berhasil mendarat, oleh warga setempat rombongan disambut dengan ritual adat ‘tudak’ yakni ritual penyambutan tamu dan ritual permohonan restu, serta pemberitahuan kepada leluhur bahwa pendaratan helikopter dan rombongan tidak bermaksud untuk merusak alam, juga kepada Tuhan agar helikopter dan rombongan diberi perlindungan selama penerbangan.
Kampung Adat Wae Rebo sendiri merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Kabupaten Manggarai. Terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Wae Rebo merupakan salah satu desa tertinggi yang ada di Indonesia dengan pemandangan yang sangat indah dengan dikelilingi pegunungan yang ada.
Karena lokasinya yang cukup tinggi, untuk mencapai desa ini, para wisatawan harus melakukan trekking selama dua jam untuk mencapai desa dengan melewati 3 pos pendakian, namun perjalanan itu akan terbayar dengan ramahnya penduduk, pemandangan yang indah, dan juga kopi panas asli yang merupakan salah satu produk perkebunan masyarakat Desa Wae Rebo.* (VoN)