Ende, Vox NTT-Otoritas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa, Kabupaten Ende, NTT membeberkan temuan pembanding terkait laporan dugaan pencemaran lingkungan akibat pengelolaan limbah batu bara pada perusahan tersebut.
Pihak PLTU Ropa meluruskan informasi yang dilaporkan empat pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende. Sebelumnya keempat pegawai tersebut melaporkan adanya gejala gatal pada kulit mereka setelah menyelam di perairan dekat PLTU.
“Teman-teman PLTU Ropa juga pernah berenang, Manager PLN UPK Flores segera turun mencoba berenang di sekitar PLTU Ropa untuk memastikan kebenaran pemberitaan. Beliau berenang di kanal intake yang berhubungan langsung dengan PLTU Ropa, kemudian beliau berenang di bibir pantai tepat di belakang areal PLTU Ropa. Beliau tidak merasakan gatal-gatal sedikitpun,” kata Lidya Natalya Purba , Asisten Manager Komunikasi PLN UIW NTT kepada VoxNtt.com pada Selasa (22/09/2020) siang.
Lidya menyatakan, pihaknya telah memastikan efek air laut yang disebut akibat dari abu limbah batu bara. Bahkan ia mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan uji coba berenang di laut selama satu jam.
“Beliau (Lambok Siregar, Manager PLN UPK Flores) berendam di air laut itu sekitar 1 jam, setelahnya beliau tidak mandi untuk memastikan efek air laut dari PLTU Ropa. Hingga pagi hari dan seterusnya tidak merasakan gatal-gatal,” tutur Lidya melalui WhatsApp.
Selain itu, lanjut dia, Otoritas PLTU Ropa juga telah memastikan proses penangkapan ikan oleh para nelayan setempat yang disebut dipengaruhi oleh limbah abu batu bara.
Respon PLTU ini menanggapi keluhan Siti Rugeya, warga Desa Keliwumbu yang menyebutkan bahwa abu hitam yang berasal dari limbah batu bara PLTU Ropa yang hanya berjarak berkisar 50 meter itu mengendap di jala hingga mempengaruhi hasil tangkap.
“Menurut beliau (Siregar) ikan di sekitar PLTU Ropa sangat banyak dan memang adalah daerah tangkapan nelayan,” terang Lidya.
Selanjutnya, pihak PLTU Ropa juga memastikan keluhan masyarakat mengenai pengaruh abu limbah batu bara terhadap tanaman jambu mete.
Kata Lidya, pihaknya telah melakukan survei terhadap warga di Desa Keliwumbu dan Desa Ranukolo. Bahkan, Manager UPK Flores Lambok Siregar telah menemui Kepala Desa Keliwumbu berdiskusi. Hasilnya, diketahui tidak ada indikasi jambu mete gagal berbuah.
“Manager PLN UPK Flores melakukan audiensi dengan DLH Kabupaten Ende, diterima oleh Sekretaris DLH Ende Bapak Petrus Djata bersama jajaran dan wartawan media lokal. DLH Ende menjelaskan bahwa berdasarkan pemantauan dan catatan DLH Ende, PLTU Ropa sudah taat aturan,” jelas Lidya.
Diberitakan sebelumnya, Kadis DLH Kabupaten Ende, Abdul Haris Madjid mengakui dugaan pencemaran lingkungan oleh sistem pengelolaan limbah batu bara PLTU Ropa berawal dari laporan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan pada dinas setempat beberapa waktu lalu.
Disebutkan Abdul, ada empat pegawai kementerian mengalami rasa gatal pada kulit setelah menyelam di laut dekat kawasan perusahan tersebut.
“Mereka keluh ada rasa gatal di tangan setelah menyelam disana. Kami sedang identifikasi,”katanya pada Jumat (09/09/2020) lalu.
Keluhan dampak lingkungan akibat abu dari limbah batu bara juga diungkapkan Siti Rugeya, warga setempat saat ditemui wartawan dua pekan lalu.
Kata Siti, abu hitam hasil dari limbah batu bara melekat pada daun jambu mete hingga mempengaruhi proses pembuahan.
Selain itu, abu batu bara pun mempengaruhi aktivitas nelayan hingga hasil penangkapan ikan menjadi menurun. Itu akibat mengendapnya abu hitam pada jala penangkapan ikan setiap saat.
“Ya, debu terbang (fly ash) sampai pemukiman dan ke laut. Kami disuruh pakai masker. Suami saya mau melaut saja harus cuci jala dahulu, karna kalau lepas jalanya hitam semua, ikan tidak mungkin dapat,”kata Siti.
Penulis : Ian Bala
Editor: Irvan K