Oleh: Fransiskus Sabar
(Mahasiswa STFK Ledalero)
Bencana Covid-19 juga menjadi bencana kemanusiaan yang berhasil meneror kehidupan manusia dengan rasa takut dan cemas. Kehidupan manusia selalu dibayangi oleh ketidakpastian. Masa depan semakin suram dan sulit ditebak. Semua orang menjadi ragu, kaku dan terkubur dalam kekhawatiran berkepanjangan.
Pandemi Covid-19 memicu resesi perekonomian dunia dan nasional secara internal. Di Indonesia berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi enam bulan pertama 2020 yang terkontraksi 5,32 persen (year on year/yoi).
Inilah kontraksi ekonomi yang pertama semejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998. Yang lebih mengejutkan adalah pada Juli 2020, ternyata ekonomi Indonesia mengalamai deflasi sebesar 0,10 persen, sehingga angka inflasi dari Januari hingga Juli 2020 hanya 0,98 persen. (Kompas, 25/08/2020).
Resesi ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari pandemi ini telah menyebabkan timbulnya deflasi secara simultan di beberapa negara yang sedang mengalami kontraksi ekonomi. Singapura, Malaysia, dan Filipina adalah beberapa contoh negara tetangga yang telah mengalami deflasi beberapa bulan terakhir di saat ekonomi mereka mengalami resesi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akibat pandemi membuat peluang deflasi ke depan menjadi semakin sulit untuk diprediksi
Selain melumpuhkan roda perekonomi, pandemi covid-19 juga membidani sejumlah persoalan sosial politik yang berujung pada krisis demokrasi yang signifikan. Di tengah kehidupan yang serba online akibat corona, kejahatan berbasis digital semakin menjadi-jadi. Teror digital yang dilancarkan melalui peretasan akun pribadi, ancaman personal dari akun anomin serta eksploitasi data priribadi adalah bukti aktual krisis demokrasi di tengah pandemi. Belum lagi penetrasi destruktif sekelompok pemimpin populis yang menunggangi pandemi Covid-19 dengan isu berbasis sentimen sensitif demi kepentingan terselubung.
Krisis Demokrasi di Era Pandemi Covid-19
Dalam skala global, Freedom House, organisasi non-pemerintah di Amerika Serikat yang rutin memantau perkembangan kebebasan politik, menyimpulkan demokrasi di dunia berjalan mundur dalam 13 tahun terakhir. Jumlah negara yang masuk kategori tak bebas terus bertambah-dan sebaliknya kebebasan semakin berkurang.
Di Indonesia. Hasil Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan mayoritas responden menilai kualitas demokrasi di Indonesia menurun. Dari 38 elit di masyarakat yang mengikuti sekolah Demokrasi II LP3ES, sebanyak 44,7 persen menilai demokrasi sedang mengalami kesuraman.
“Bahkan ada 28,9 persen responden menilai Indonesia telah berada di era otoritarianisme,” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, mengatakan penurunan kualitas demokrasi terlihat dari serangan siber terhadap aktivis, akademikus, dan media massa yang kritis terhadap pemerintah (Tempo, 30/08/2020).
Data Krisis demokrasi Indonesia di tengah pandemi di atas membuktikan bahwa, iklim demokratis yang dipresentasikan melalui kebebasan berpendapat dan berekspresi dipersempit dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebebasan individu dicopot secara sewenang-wenang.
Fenomena teror dan peretasan telepon seluler, akun media sosial, serta akses layanan digital dari para aktivis, akademisi, media serta pejuang HAM, tampaknya menjadi modus baru pembungkaman atas corong demokrasi kita.
Suara-suara kritis disumbat, aspirasi emansipatif disensor, dan kritikan dibrendel habis-habisan. Alhasil, ruang demokrasi kita di tengah pandemi menjadi kusut, lesu dan berbau busuk.
Pada level global, krisis demokrasi di tengah pandemi ditadai oleh munculnya para pemimpin populis yang berusaha untuk memajukan agenda nasionalis, proteksionis, dan agenda lainnya yang berbasis kebencian untuk memanipulasi publik, sembari menyangkal kondisi darurat yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.
Para pemimpin populis ini muncul ibarat monster yang berhati dengki. Kolaborasi, tanggung jawab, dan solidaritas global bukan pilihan, sebaliknya para monster ini justru gencar menggandakan retorika sentimen yang berbasis SARA dan berusaha melemahkan garis otoritas dan legitimasi tradisional yang diperlukan untuk memahami fakta-fakta yang ada.
Lebih parah lagi, pada saat yang bersamaan, para pemimpin populis melakukan upaya yang sangat menyedihkan yakni berusaha memanfaatkan pandemi untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan/atau memastikan mereka terpilih kembali.
Solidaritas Tanpa Batas
Menghadapi dua persoalan krusial di atas yakni Pandemi Covid-19 dan Krisis pada tubuh demokrasi, dibutuhkan suatu tekad dan komitmen bersama yang kuat. Solidaritas tanpa batas adalah kunci untuk keluar dari pandemi dan krisis demokrasi ini. Pada level nasional, kerja sama antar institusi, lembaga, warganegara dan elemen negara lainnya menjadi solusi utama untuk mengatasi dua persoalan krusial ini.
Dengan sikap solidaritas yang solid, kita bisa bertahan dalam gempuran bom atom pandemi yang bertubi-tubi serta bersatu melawan pembungkaman, teror digital serta fenomena krisis demokrasi lainnya. Tidak ada waktu untuk saling menyalahkan dan menjatuhkan satu sama lain. Saatnya untuk bersatu dan menggalang solidaritas.
Pada tataran global, manifestasi sikap solidaritas harus bisa menembus tembok isolasi nasionalis yang kolot dan egosentris. Sebab sikap eksklusivisme dan proteksi nasionalis yang buta akan berujung pada kebuntuan. Persis, apa yang dikatakan Will Hutton benar adanya bahwa hal yang kini masih mendominasi adalah sikap “setiap negara untuk dirinya sendiri”: “Ada larangan nasional untuk ekspor produk-produk utama seperti pasokan media, dibarengi dengan negara-negara mundur pada analisis mereka sendiri tentang krisis di tengah kekurangan lokal dan kondisi tak menentu, pendekatan prmitif untuk pencegahan” .
Will Hutton melihat bahwa tendensi isolasi nasionalis di tengah pandemi ini semakin menguat dan menjadi-jadi. Setiap negara berusaha untuk memberikan perlindungan terbaik terhadap negaranya masing-masing namun lupa untuk saling berbagi dan mempercayai informasi dari negara lain. Padahal sikap yang mesti diwujudkan menurut Yuval Noah Harari di tengah era pandemi ini ialah solidaritas global yang terkoordinasi dengan baik.
Paus Fransiskus dalam eksiklik barunya “All Brothers” (Fratelli tutti) yang dirilis dan ditandatangi di Asisi, Italia pada tanggal 3 Oktober 2020 mendatang, menekankan nilai persaudaraan dan persahabatan sosial. Ensiklik ini secara garis besar mengacu pada tulisan Santo Fransiskus Asisi: “Marilah saudara sekalian, kita memandang Gembala yang Baik yang telah menanggung sengsara salib untuk menanggung dosa domba-domba-Nya.” (Petuah 6,1) (https://katoliknews.com/2020/09/06).
Di tengah pandemi yang semakin ganas dan menyebar secara terglobalisasi ini, paus Fransiskus melalui ensiklik All Brothers mengajak kita untuk turut serta dalam merasakan penderitaan sesama yang secara langsung terkena dampak virus corona serta bersatu dan bergandengan-tangan dalam menghadapi pandemi. Sebab, mengutip Yuval Noah Harari yang dengan optimis mengatakan bahwa “sejarah (epidemi) menunjukkan perlindungan yang sesungguhnya datang dari saling berbagi informasi dan solidaritas global”.