Kupang, VoxNtt.com
Pengamat Sosiol-Politik dari Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat menyoroti sentralisasi pengusungan calon dalam Pilkada di NTT tahun 2020.
Fenomena keputusan partai yang terpusat di Dewan Pimpinan Pusat (DPP), menurutnya merupakan bentuk dominasi pusat yang mempertontonkan wajah oligarki partai. Oligarki dalam konteks ini yakni kekuasaan politik yang diatur oleh sekelompok elit.
“Wajah oligarki partai tampak jelas. Sekarang, dominasi pusat masih sangat kuat. Sentralistik itu terlihat jelas. Karena itu, demokrasi memang masih jauh dari harapan dari praktik politik kita,” ungkapnya kepada Voxntt.com beberapa waktu lalu.
Akibat dari terpusatnya keputusan partai, salah satunya sinyalnya tampak dalam fenomena aksi undur diri pengurus partai di daerah. Banyak kader partai politik khususnya di NTT menyatakan pengunduran diri. Sebut saja Ketua PKPI Kabupaten Sumba Timur, Ketua Hanura Kabupaten Sumba Timur dan Ketua Hanura Kabupaten Belu. Tak hanya pucuk pimpinan, pengunduran diri juga disusul puluhan kader dari masing-masing partai.
Tak hanya di NTT, di berbagai tempat di Indonesia juga menyulut aksi yang sama. Di Medan misalnya, Akhyar Nasution yang sebelumnya kader PDIP pindah haluan ke Demokrat lantaran partai besutan Megawati itu mendukung Bobby Nasution, mantu presiden Jokowi.
Pengamat sosial politik asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Viky Jalong sebelumnya mengatakan, partai bukan lagi sebagai tempat untuk menemukan kesepahaman ideologi.
Selain itu, pendidikan politik semakin menjadi jauh dari tujuan utamanya. Alhasil, siapa yang terkuat akan muncul sebagai dominasi dalam partai politik.
“Kerja kandidasi itu meski disiapkan. Apalagi kerja agregasi kepentingan,” tegasnya.
Senada dengan Viky, Jehamat pun mengusulkan agar regulasi partai mesti diubah. Terutama berkaitan dengan penanaman ideologi. Menurutnya ideologi partai adalah fundasi dasar yang harus terinternalisasi dalam pikiran setiap kader partai.
Kedua, kader partai harus dipastikan bisa memahami dan sebisa mungkin memiliki bukti mendaratkan ideologi itu di level sosial.
Ketiga, memastikan calon yang diusung bukan karena efek dinastik tetapi kerena rekam kerja positifnya.
Keempat, pendidikan politik tidak hanya untuk gagah-gagahan. Setiap yang ingin bertarung harus telah minimal mengikuti pendidikan politik, ideologi, dan kader. (VoN).