Oleh: Leo de Jesus Leto
Warga Belu, tinggal di Chile
Tahun ini masyarakat Indonesia kembali memasuki “tahun politik lokal” Pilkada (pemilihan kepala daerah). Pemerintah Pusat, DPR dan KPU bersiteguh agar Pilkada serentak 2020 tetap dilakukan, sekalipun situasi bangsa sedang sakit akibat serangan mematikan Covid-19.
Pilkada tahun ini akan diselenggarakan di 270 daerah, termasuk di Kabupaten Belu, pada 9 Desember 2020 mendatang. Berbicara tentang pesta demokrasi (Pilkada) berarti berbicara mengenai partisipasi rakyat dalam proses politik.
Hal ini, sebenarnya ingin mempertegas kembali hakekat manusia sebagai makhluk politik, yang mana pada rezim otoritarianisme partisipasi tersebut tidak diberi ruang secara penuh.
Filsuf Aristoteles dalam buku politiknya menjelaskan secara terperinci mengenai hakekat manusia sebagai makhluk politik tersebut. Menurutnya, secara alamiah manusia hidup di dalam polis (kota/negara). Tesis ini lahir dari konsep dasarnya tentang manusia yang secara natural membentuk keluarga. Dari keluarga, kemudian berkembang menjadi desa.
Karena itu, baginya, manusia adalah zoon politikon atau yang popular dipahami sebagai hewan/binatang politik (political animal). Secara etimologis, ada beberapa kata yang berkaitan erat dengan polis, yaitu polités artinya seorang warga negara atau anggota polis, politeia artinya konstitusi polis, politeuma artinya badan warga negara, politiké artinya seni atau ilmu yang berkaitan dengan urusan-urusan polis, politikos artinya negarawan atau orang yang melaksanakan urusan-urusan polis.
Jadi, polis adalah bukan hanya kumpulan manusia semata, melainkan perpaduan antara seluruh elemen yang berkaitan dengan polis (Politik Aristoteles, 2017).
Predikat manusia sebagai political animal bisa dilihat dalam sistem demokrasi, yang mana memberi ruang seluas-luasnya kepada para polités untuk berpartisipasi secara aktif dan bebas dalam proses politik. Tujuannya ialah untuk memilih para calon politikos yang menurut perspektif mereka, mampu secara intelektual, secara moral baik, secara spiritual “suci” dan secara finansial mapan.
Dalam konteks demokrasi, partisipasi rakyat dalam politik berarti rakyat ingin memandatkan kuasanya kepada para politikos dengan harapan (ideal) bahwa mereka bisa mengurus negara dengan baik, yakni mensejahterakan kehidupan rakyat, meneggakkan keadilan, menciptakan polis yang damai dan membasmi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Namun, dalam kenyataannya apa yang diharapkan tersebut belum tentu terwujud. Faktanya praktik ketidakadilan dan KKN terus berjalan dari rezim yang satu ke rezim yang lain.
Salah satu hal yang membedakan sistem demokrasi dari sistem politik lainnya ialah keragaman dalam soal pilihan politik. Bahkan, antara suami, istri dan anak-anak dalam satu keluarga pun bisa saja berbeda dalam hal pilihan politik.
Perbedaan semacam ini adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Tak ada paksa-memaksa soal pilihan politik. Demokrasi merangkul, menghargai dan memberi peluang yang sama kepada seluruh warga negara yang berbeda untuk ikut serta dalam proses politik. Begitulah indahnya hidup dalam alam demokrasi.
Dalam nuansa hidup berdemokrasi, kritik adalah salah satu unsur terpenting yang harus dilestarikan. Kehidupan demokrasi suatu negara hanya akan sehat, manakala rakyatnya tidak pasif untuk terus memberikan nutrisi kritik kepada penguasa. Apa itu kritik? Menurut definisi etimologis Wikipedia Indonesia, kritik berasal dari kata Yunani, yaitu clitikos yang artinya yang membedakan.
Clitikos merupakan turunan dari kata krités yang artinya orang yang memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi, atau pengamatan. Merujuk pada definisi etimologis tersebut, penulis merumuskan arti kritik sebagai pengamatan dan interpretasi yang didasarkan pada analisis dan pertimbangan nilai terhadap sesuatu (bisa penguasa/figur publik dan lembaga-lembaga lainnya) sebagai kontrol yang bersifat rasional-solutif.
Demokrasi tanpa kritik bagaikan tubuh tanpa roh. Dalam demokrasi rakyat adalah tuan dan pemimpin adalah pelayannya. Jika sang pelayan yang telah diberi kuasa oleh tuannya, menyimpang dari hukum dan mengingkari konsensus politiknya dengan tuannya, maka rakyat yang adalah tuan pemberi kuasa, memiliki kewajiban moral untuk mengkritik sang pelayan.
Sang pelayan tidak perlu merasa alergi terhadap kritik, jika ia melenceng dari hukum dan berbalik dari nazarnya dengan para tuannya. Sang pelayan (penguasa) yang anti kritik bisa menciptakan prahara destruktif di tengah masyarakat. Jadi, demokrasi yang sehat membutuhkan nutrisi kritik agar penguasa tidak gampang terinfeksi virus otoritarianisme.
Seperti yang dikatakan tadi bahwa dalam konteks demokrasi (Pilpres dan Pilkada), saling kritik antara warga negara yang berbeda dalam pilihan politik adalah hal biasa. Yang menjadi tidak lumrah ketika krtitik itu tidak diimbangi dengan argumen yang rasional-etis.
Hal itu terlihat jelas dalam media sosial (medsos) menjelang Pilkada 2020. Banyak oknum menggunakan akun palsu dalam medsos untuk memuntahkan kritik mereka yang dibalut apik dengan bumbu-bumbu sentimen (umpatan, kebencian, fitnah, hujatan, hoaks) yang sulit dikontrol.
Dalam kasus Pilkada Kabupaten Nias Selatan, Abdul Haris Lase, seorang pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyampaikan hasil pemantauan timnya bahwa ada puluhan akun palsu yang tiap harinya meng-update status di Facebook (FB) untuk menghujat dan memprovokasi masyarakat dengan informasi yang tidak bertanggungjawab (hariansib.com, 1/9/2020).
Hal yang sama terjadi dalam konteks Pilkada Belu 2020 (mungkin juga terjadi di daerah lain di NTT) banyak akun palsu bertengger “liar” di medsos seperti dalam group-group FB Kotak Suara dan Bebas Bicara (Bdk. POS-KUPANG.com, 30/9/2020).
Di sana “perang” sengit antara mereka yang berbeda dalam pilihan politik, tampak garang di layar kaca media sosial. Para pendukung fanatik masing-masing paket saling cekcok dan gilas.
Oknum-oknum “yang tidak suka tenar” dengan topeng kepalsuannya kerap melancarkan kritik yang kental beraroma sentimen, lalu menerobos masuk ke dalam ruang terlarang yang sangat sensitif, yakni, privasi orang lain, Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Kemungkinan negatif dari kritik yang lahir dari sentimen yang “kronis” semacam itu bisa menciptakan kegerahan dalam busana politik dan kaos di tengah masyarakat. Akibatnya, antara sesama warga negara saling bermusuhan karena berbeda pilihan politik. Dalam sejarah demokrasi Indonesia, kegerahan politik itu pernah terjadi dalam perhelatan Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.
Kemungkinan lain yang bisa saja terjadi ialah timbul patologi sosial, yakni kondisi keterpecahan dan “permusuhan abadi” di antara masyarakat itu sendiri. Kondisi semacam itu, bisa membuat publik memandang politik sebagai sesuatu yang najis dan jahat.
Padahal, esensi politik menurut Plato dan Aristoteles merupakan suatu usaha untuk menggapai masyarakat politcs yang baik (Miriam Budiardjo, 2008). Sebenarnya, politik secara in se adalah baik. Panggung politik itu menjadi najis dan jahat ketika para politikos dan polités membiarkan iblis keserakahan, egoisme, kebencian, hujatan, hoaks, dan fitnah masuk ke dalam ruang politik.
Media sosial merupakan ruang publik. Di dalamnya orang tidak hanya menulis status dan memajang foto atau gambar yang bernilai estetis namun, hal-hal politis pun dibicarakan di dalamnya. Menurut Jurgen Habermas ruang publik adalah syarat terpenting di dalam demokrasi. Ia adalah tempat di mana warga negara bisa mengungkapkan sikap, argumen dan opini-opini politiknya.
Di sana manusia-manusia privat terlibat dalam proses perdebatan yang rasional kritis dan kemudian melahirkan sebuah universalitas yang menjadi landasan pemikiran dan opini mayoritas demi kepentingan publik (Bdk. Habermas, 2010). Jadi, perbincangan-perbincangan politik seperti yang dipertontonkan dalam group-group FB seperti tersebut sebelumnya, sebenarnya sedang terjadi di dalam ruang publik seperti yang dimaksudkan oleh Habermas.
Namun demikian, salah satu ciri khas yang hilang dari perbincangan politik di ruang publik dalam group-group FB tersebut ialah rasionalitas-etis. Hal itu bisa diamati secara jelas di mana, banyak orang menggunakan identitas palsu, lalu membangun diskusi-diskusi yang isinya mengandung sentimen, hujatan, hoaks, fitnah dan hujatan.
Ruang publik sebenarnya mensyaratkan rasionalitas-etis, bukan sentimen, hoaks, hujatan, fitnah, provokasi dan teror verbal. Argumentasi dan komunikasi yang dibangun dalam ruang publik media sosial, mestinya didasarkan pada argumen rasional-kritis dan etis demi kebaikan seluruh rakyat Belu, bukan kepentingan penguasa dan konco-konconya serta pemilik modal.
Melihat maraknya akun palsu di medsos menjelang Pilkada Belu 2020, Kasat Reskrim Polres Belu, Wira Satria Yudha, S.I.K menghimbau kepada masyarakat Belu terutama para pengguna medsos, agar bijak menggunakan medsos dalam momen Pilkada (POS-KUPANG.com, 30/9/2020).
Kiranya, para pendukung paket Sahabat-Sehati, terutama para pengguna medsos, bisa mengindahkan seruan moral dari pihak kepolsian. Dan bisa memanfaatkan ruang publik medsos dengan kesadaran rasional-etis sebagai locus untuk menawarkan gagasan-gagasan politik yang bersifat edukatif dan solutif, melalui visi dan misi setiap paket demi menarik keluar rakyat Kabupaten Belu dari stigma daerah tertinggal: kemiskinan, ketidakadilan, keterbelakngan dalam dunia pendidikan, kesehatan, infrastruktur publik dan membasmi praktik KKN.
Dengan demikian, pemahaman publik tentang politik dan demokrasi semakin dicerahkan. Dan, pada saatnya nanti, rakyat bisa tiba pada kesimpulan yang rasional dan bebas untuk menjatuhkan pilihan kepada calon pemimpin yang menurut pertimbangan mereka layak untuk memimpin Rai Belu dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Berpolitiklah yang rasional dan etis sesuai dengan nilai-nilai kesantunan budaya Belu dan saling menghargai pilihan politik sesama warga negara lainnya yang tidak searah dengan pilihan kita.
Hindarilah kecenderungan membangun tembok “politik permusuhan” di antara anak-anak Belu hanya lantaran berbeda pilihan politik. Permusuhan politik antarelit dalam dunia politik sifatnya temporal semata. Ketika kepentingan kaum elit menyatu di atas meja perundingan, mereka akan saling berpelukan, lalu terbang tinggi menuju istana untuk berpesta pora menikmati anggur terbaik dan kue kekuasaan.