Ruteng, Vox NTT- Ahli lingkungan, Aris Dwi Nugroho, menyatakan penentuan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) membutuhkan waktu yang lama.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman tim geologi selama ini, agenda Forum Group Discussion bersama stakeholder bisa digelar sebanyak lebih dari lima (5) kali sebelum menghasilkan sebuah keputusan untuk menetapkan KBAK.
“Apalagi ini bersentuhan dengan investor, sehingga membutuhkan waktu lama, karena menentukan batas mana sih yang perlu dilindungi dan tidak,” tegas Aris kepada wartawan di sela-sela kegiatan penelitian KBAK di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Selasa (06/10/2020).
Menurut Aris, kawasan karst itu ada empat level yakni level 1, 2, 3 dan 4.
Kawasan karst level satu (1), jelas Aris, adalah semua sebaran batu gamping yang teridentifikasi.
“Artinya apapun jenis batu gamping, itu kita masukkan ke level satu,” jelas dia.
Lebih lanjut Aris menjelaskan, untuk level dua, sebagaimana penelitian yang sedang dilakukan sekarang.
Baca Juga: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Saat ini, pihaknya menentukan delineasi terlebih dahulu. Di mana yang harus dilindungi. Di mana pula yang harus dibudidaya atau diusahakan. Misalnya, dipakai untuk pemukiman dan untuk ladang selama itu tidak mengganggu morfologi dan tidak mengganggu bentangan alamnya.
“Terhadap level dua, itu diusulkan oleh pemerintah daerah kabupaten atau provinsi tergantung kewenangannya. Kalau lintas kabupaten itu diusulkan oleh pihak provinsi, setelah itu masuk ke level empat,” papar Aris.
Ia menjelaskan, setelah melalui usulan tersebut, selanjutnya Menteri bisa menetapkan menjadi KBAK. Akan tetapi, dalam penetapan ini, harus diuji terlebih dahulu melalui Forum Group Discussion.
Sebelum ditetapkan, kata Aris, semua pihak harus satu persepsi atau satu pandangan terlebih dahulu.
Baca Juga: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
“Jadi sebelum ditetapkan harus satu kata dulu, jangan sampai nanti pas sudah kita tetapkan, nanti dibilang sama pemerintah daerah jangan luas-luas dong karena kami mau bangun hotel di sini, itu nanti ada kesepakatannya sendiri. Di situ nanti kita berunding lagi,” ujarnya.
Ia menambahkan, bentuk eksokarst dan endokarst tertentu mempunyai beberapa kriteria. Kriteria tersebut sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) Permen ESDM No.17/2012 tentang Penetapan KBAK.
Pertama, memiliki fungsi ilmiah sebagai obyek penelitian dan penyelidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, memiliki fungsi sebagai daerah imbuhan air tanah yang mampu menjadi media meresapkan air permukaan ke dalam tanah.
Ketiga, memiliki fungsi sebagai media penyimpan air tanah secara permanen dalam bentuk akuifer.
Keempat, memiliki mata air permanen.
Kelima, memiliki gua yang membentuk sungai atau jaringan sungai bawah tanah.
Ahli hidrogeologi, Dr. Taat Setiawan yang ikut dalam penelitian tersebut mengatakan, salah satu ciri KBAK adalah adanya Ponor atau Liang atau Lueng.
Ponor menurut dia, adalah bagian dari suatu sistem hidrologi karst sebagai tempat masuknya air permukaan ke dalam lapisan bebatuan atau ke bawah permukaan.
“Ponor itu ada yang sifatnya permanen, misalnya ada air sungai masuk tetapi ada yang tidak permanen. Nah, kalau untuk Ponor ini, alirannya tidak permanen. Jadi ada aliran permukaan menuju suatu titik, tempat meresapnya air hujan. Jadi Ponor ini, memasukkan air ketika ada hujan,” jelas Taat.
Alumnus Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menjelaskan, Ponor atau Liang itu pasti banyak ditemukan di KBAK. Ponor merupakan alur-alur permukaan menampung air hujan masuk ke dalam suatu Liang. Jadi, ada sistem pemasukan air yang bersifat poin pada suatu titik.
Doktor Taat menambahkan, mekanisme penelitian hingga penetapan kawasan karst bisa disampaikan kepada publik.
Mekanismenya, kata dia, penelitian dilakukan oleh tim peneliti geologi lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenomena bentangan alam karst.
Itu seperti perbukitan alam karst, kerucut karst, gua, sungai bawah tanah, stalagtit, dan stalagmit sebagai suatu sistem endokarst.
Setelah tim geologi lingkungan secara visual mengidentifikasi bentangan alam karst, selanjutnya tim hidrogeologi lebih teliti lagi melakukan penelitian terhadap mata air.
Doktor Taat mengungkapkan, selaku ahli hidrogeologi, ia meneliti secara detail dengan menghitung debit untuk keperluan neraca air, kemudian analisis hidrokimia, dan isotop untuk mengetahui air itu bersumber dari mana. Apakah bersifat lokal atau dari jauh, tim hidrogeologi mengidentifikasi dan akan memastikan sistem air itu bersumber dari mana.
“Nah, setelah saya mengidentifikasi bahwa sistem air berasal dari sini, selanjutnya dibuktikan dengan ahli geofisika,” kata dia menerangkan.
Magister Teknik Air Tanah ITB itu menambahkan, selanjutnya nanti ahli geofisika akan melakukan pembuktian dengan menggunakan alat geofisika.
Pembuktian itu dilakukan untuk mengetahui lapisan pembawa air di sekitar mata air pada kedalaman berapa.
Hasil penelitian ahli geofisika bersifat interpretatif dengan menggunakan alat, apabila dibandingkan dengan ilmu kedokteran sama dengan USG.
“Kemudian dibuktikan dengan pengeboran. Dibor secara lansung pada daerah tertentu dan yang penting. Dibor di daerah yang diduga ada apifernya atau lapisan air, apakah ada airnya atau tidak,” pungkas dia.
Usai pemboran dilakukan, tim badan geologi yang terdiri dari ahli lingkungan, ahli hidrogeologi, ahli geofisika dan ahli pemboran akan menentukan daerah mana yang harus dilindungi agar tidak boleh diganggu. Bahkan kata dia, akan dilarang untuk aktivitas pertambangan jenis apapun.
“Dari beberapa ahli, kami menentukan bahwa daerah mana yang memang perlu perlindungan. Apakah semuanya atau tidak. Tentunya nanti akan dibahas di level pimpinan,” terang Doktor Taat.
Ia mengaku, pihaknya hanya meneliti kawasan karst yang sifatnya data ilmiah. Pihaknya juga akan melakukan publikasi atau sosialisasi baik terhadap pemerintah daerah, pihak perusahaan tambang semen maupun terhadap masyarakat secara umum.
Sebagai informasi, tim peneliti badan geologi Kementerian ESDM kembali melakukan penelitian KBAK di Kampung Lengko Lolok, Luwuk, dan Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Penelitian tahap kedua ini dilaksanakan selama seminggu dimulai pada Senin 5 Oktober 2020 dengan melibatkan ahli hidrogeologi, Dr. Taat Setiawan, S.T.,M.T.
Berdasarkan pantauan wartawan, tim badan geologi melakukan penelitian di sejumlah lokasi seperti, Mata Air Mentau, Mata Air Persawahan Luwuk, Mata Air Ulung Luwuk dan Mata Air Pinggir Pantai Kampung Serise, Desa Satar Punda.
Usai meneliti sejumlah mata air, tim badan geologi kemudian bergeser ke Kampung Lengko Lolok untuk meneliti keberadaan endokarst dan eksokarst.
Pada kesempatan itu, tim geologi ini menemukan Ponor di Bea Mberong, Kampung Lengko Lolok.
Lokasi Bea Mberong merupakan tempat keberadaan Ponor atau Liang.
Lokasi ini termasuk dalam kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 599 ha milik PT Istindo Mitra Manggarai untuk aktivitas penambangan batu gamping.
Dalam rencana, batu gamping tersebut nantinya sebagai material pabrik semen PT Singa Merah NTT di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda.
Sebas Jasan, warga Lengko Lolok mengaku jika musim hujan seperti pada bulan Januari dan Februari, air menggenang di hamparan Lingko Bea Mberong.
Menurut dia, air memang masih tertimbun jika memasuki Ponor karena lubang-lubangnya masih tertutup tanah. Meski begitu, jika sehari saja hujan berhenti, maka tidak lama air meresap ke dalam Ponor.
Penulis: Ardy Abba