Oleh: Frans Braman
Inovator Teknologi Ramah Lingkungan, Tinggal di Kefamenanu
Pasti semua sepakat, kekeringan dan krisis air merupakan isu paling strategis di NTT. Mengapa? Karena isu ini sangat berpengaruh terhadap ancaman bencana lingkungan: kebakaran, lahan kritis, konflik sosial, gangguan kesehatan, krisis pangan, kemiskinan, dan lain lain .
Selain itu, isu ini juga terjadi berulang-ulang, dari generasi ke generasi. Antara bulan Agustus-November, di seluruh pelosok daerah ini, keluh kesah soal air selalu mewarnai kehidupan warga. Seorang warga di Sainoni, perbatasan RI-TL, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) beberapa waktu lalu pernah mengisahkan bagaimana sulitnya mereka mendapatkan air untuk kebutuhan dasar pada puncak musim kemarau. Warga setempat harus mengantre 1 x 24 jam untuk mendapatkan setetes air dari sumber air yang ada.
Pertanyaan mendasar bagi siapapun yang berkehendak baik untuk NTT hebat-Indonesi bangga, benarkah terjadi krisis air di daerah ini setiap tahun?
Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa sobat melakukan kajian kecil dengan lokus Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) prihal krisis air itu. Hasil kajian itu demikian. Selama periode 2008-2015 curah hujan (ch) di TTU rerata 1.114,85 mm/tahun. Jumlah hari hujan (hh) rerata 77,58 hari. Luas wialayah (lw) TTU 266.970 ha.
Secara matematis, formula untuk mengetahui berapakah produksi air hujan yang turun ke bumi TTU selama setahun adalah: pah = ch x hh x lw. Setelah dikonversikan ke formula ini, diperoleh angka produksi air hujan yang turun ke bumi TTU setiap tahun setara dengan 6 triliun (T) liter lebih.
Untuk kebutuhan dasar, setiap warga membutuhkan air 150 l/hr. Sedangkan untuk untuk berbagai aktivitas, kebutuhan air sebagai berikut: pertanian lahan basah 1/lt/dt/hari, lahan kering 0.25 lt/dt/hari, ternak besar 25 lt/hari/ekor dan unggas 2.5 lt/hari/ekor, fasilitas pendidikan 400 liter/hari, kesehatan 250 liter/hari, peribadatan 200 liter/hari, perkantoran 2.000 liter/hari, perdagangan 3.000 liter/hari, pariwisata 150 liter/hari, dan transportasi 2.000 liter/hari.
Untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, ternyata selama setahun, TTU hanya memerlukan air 2 T lebih liter. Dengan demikian, dalam setahun masih terdapat surplus air sebesar 4 T liter lebih.
Setidaknya, data dan fakta di atas menggambarkan potensi air hujan yang turun ke permukaan bumi NTT setiap tahun. Suplay air hujan begitu besar sementara dibutuhkan tidak sampai separuhnya. Inilah yang dimaksudkan NTT kelimpahan air itu.
Lantas mengapa krisis air selalu terjadi? Salah siapa? Padahal air adalah kebutuhan mendasar, soal mati dan hidupnya makhluk hidup. Air adalah awal mula kehidupan. Tanpa air, sebaik apa pun program pembangunan terutama pembangunan pertanian, pasti menuai kegagalan.
Sebenarnya, tidak sulit sulit amat memanen air hujan. Berbagai tekhnologi ramah lingkungan sudah ada. Sebagian negara di dunia ini telah menerapkannya. Katakanlah Israel dan Australia yang terkenal dengan kegersangan dan gurunnya. Di sana justru air selalu tersedia dan bahkan digratiskan. Tanaman pertaniannya begitu berkembang pesat hingga mampu mensuplay kebutuhan pangan dunia, termasuk kita di NTT yang selalu menikmati buah-buahan dari Australia.
Teknologi panen air hujan yang paling konvensional ialah menanam pepohonan. Panen air hujan dengan cara ini lebih banyak menuai kegagalan. Cobalah dihitung. Sejak Republik ini merdeka, berapa banyak pohon yang sudah ditanam oleh berbagai lembaga. Hasilnya? Yach.., tetap seperti itu. NTT tandus, kering kerontang.
Penyakit tujuh turunan krisis air sulit sembuh. Seandainya sebagian besar pohon yang ditanam itu hidup, seharusnya pada saat ini, jika terdapat program penanaman pohon, pohon-pohon tersebut ditanam di atas permukaan laut atau di udara saja karena tidak ada sejengkal tanah lagi yang tersisa.
Teknologi panen air berikutnya ialah terasering. Tetapi sebagian besar petani di NTT belum begitu familiar dengan pertanian terasering. Tebas bakar masih mendominasi aktivitas pertanian di daerah ini. Infiltrasi air hujan secara maksimal ke dalam tanah, jelas tidak mungkin.
Bahkan justru terjadi sebaliknya, walau curah hujan hanya dalam tempo yang singkat, air hujan itu langsung hilang lenyap bersamaan dengan banjir bandang menuju laut.
Revolusi Panen Air
Sudah saatnya NTT melakukan revolusi panen air dengan cara yang paling radikal. Embung atau waduk sudah seharusnya menjadi teknologi paling radikal yang patut dilaksanakan dalam tempo 5 sampai dengan 10 tahun ke depan.
Embung/waduk dibangun mulai dari yang mini hingga ukuran raksasa. Potensi membangun embung-waduk sangat menjanjikan. Di semua alur air (lolok) dibangun embung mini minimal 1 unit. Di semua sungai yang berukuran kecil dan sedang dibangun embung-waduk berukuran sedang. Dan semua sungai besar dibangun embung-waduk raksasa.
Selain embung-waduk, cara paling sederhana memanen air hujan dan langsung digunakan untuk kebutuhan mendasar warga ialah dengan membuat bak penampung air hujan (pah) berbahan beton di bawah tanah di setiap bangunan. Siapa pun yang akan atau sudah memiliki bangunan, diwajibkan membuat bak pah. Bila warga kesulitan biaya, intervensi pemerintah menyediakan dana tentu penting. Ukuranya minimal sesuai dengan formula di atas yakni luas atap rumah x curah hujan x jumlah hari hujan per tahun.
Untuk menjamin keberlangsungan deposit air tanah dalam jangka panjang, bio pori dan sumur resapan sudah seharusnya menjadi sarana wajib untuk semua bangunan. Siapa pun yang membangun baik bangunan pribadi maupun bangun publik, wajib dilengkapi bio pori dan sumur resapan.
NTT Ekspor Pangan, Mungkinkah?
Tidak rumit menjawab pertanyaan ini. Diasumkan air sudah tersedia. Berkelimpahan sepanjang tahun. Warga pun bekerja bukan bergantung pada musim hujan lagi. Tetapi bekerja sepanjang tahun terutama selama 8 bulan sepanjang musim kemarau.
Selama ini, tatkala musim hujan mulai tiba, warga ramai-ramai turun ke kebun-sawah-ladang untuk bekerja. Maka dikenal istilah musim tanam dan musim hujan yakni warga akan menanam ketika musim hujan tiba dan berhenti menanam ketika musim kemarau. Karena musim hujan begitu pendek, prkatis warga hanya bekerja dalam tempo 3 bulan saja. Selebihnya warga istirahat dan lahan pun tidur pulas.
Ketika air berkelimpahan, menanam pada musim hujan tidak diperlukan lagi. Dengan kata lain, berhentilah menanam ketika musim hujan tiba dan mulailah menanam ketika memasuki musim kemarau. Atau tidur pulaslah selama musim hujan dan bekerjalah tanpa henti selama musim kemarau.
Bukankah menanam pada musim hujan lebih banyak gagalnya karena petani akan berhadapan dengan curah hujan yang tidak menentu, sulit mengatur air hujan bila hujan berlebihan, terjadinya ancaman angin puting beliung dan hadirnya berbagai hama penyakit?
Menanam pada musim hujan, air tidak dapat dikendalikan bila terjadi hujan lebat berhari hari. Sebaliknya pada musim kemarau, air bisa diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman, misalnya dengan menggunakan irigasi tetes.
Air berkelimpahan pada musim hujan, mendorong warga untuk menanam berbagai jenis tanaman pangan atau tanaman perdagangan. Bila selama 8 bulan warga terus menerus menanam dan memanen, niscaya stok pangan selama setahun selalu tersedia bahkan bisa berlebihan.
Stok pangan pun akan kian berkelimpahan bila area sawah ditanami 2 sampai dengan 3 kali setahun. Kelebihan stok pangan sudah pasti akan diekspor, minimal ke daerah tetangga dan negara terdekat TL. Penyediaan stok pangan berlebihan pada gilirannya berdampak luas pada sektor sektor lainnya.
Usaha ternak akan maju pesat karena sumber pakan berkelimpahan dengan harga murah meriah. Usaha pengolahan hasil pertanian dan hasil ternak juga demikian, pasti maju, maju sekali. Pada titik inilah petani dan segenap warga NTT akan merasakan dan menikmati hidup adil-makmur-sejahtera. NTT hebat, Indonesia pun bangga.