Cerpen: Marsel Natar
Sore-sore angin selatan..
Aku duduk di muka rumah..
Tiba-tiba suratlah datang…
Kakak membaca adik tertawa.
Angin menghembus teduh, lembut belaiannya laksana sutera dalam genggaman tangan. Dedaunan dan ranting-ranting menari bak sepasang penari Kizomba, meliuk seirama arah
alunan angin. Tatapan mataku kian hampa, pikiran pun kosong.
Sekonyong-konyong, lirik lagu Angin Selatan melintas di sudut-sudut ruang ingatan. Dahulu lagu ini sering di nyanyikan Kakek untuk kami yang adalah cucu-cucunya, menjelang tidur malam.
Masih kuat dalam ingatanku, bagaimana ke dua tangannya menepuk punggung atau dada kami dengan lembut. Dia yakin bahwa dengan melakukan hal itu, dengan segera kelopak mata kami akan mengatup dan nyenyak.
Lirik lagu tersebut kembali menyapa atau bangkit dari alam bawah sadarku lantaran sepucuk surat yang telah kuterima kemarin. Ya, sepucuk surat dari putri sulungku yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya pada sebuah perguruan tinggi swasta di pulau Dewata.
Laura, putri ke duaku membacakan surat itu di hadapan Bento dan aku. Aku mendengar dan menyimak baikbaik setiap kalimat yang keluar dari mulut Laura.
Sementara Rinto tertawa terkekeh-kekeh sembari memegang perutnya. Aku merasa tidak ada yang lucu dari apa yang di bacakan Laura berdasarkan apa yang tertulis dalam tubuh lembaran itu. Mengapa si bungsu bersikukuh dalam kekeh gelak tawanya tanpa sebab yang jelas?. Ah, anakku! Aku tersinggung mendengar riuh tawamu.
Isi surat yang di bacakan Laura jelas tanpa di tunggangi lelucon atau joke yang membuat sarafmu geli. Surat itu jelas-jelas berisikan permohonan dan harapan agar aku sesegera mungkin mengirimkan uang guna membeli kebutuhan pribadi dan kampusnya.
Dengan kening kerut aku berusaha memahaminya. Dia masih terlalu belia untuk memahami segala sesuatu. Di matanya barangkali segala sesuatu adalah gurauan yang mengusik sekaligus membuatnya tertawa sesukanya.
Bento, Bento! Kau ini terkadang membuatku menghela dada sekaligus membuatku berpikir dua kali pada setiap langkah lakumu yang lugu itu.
Rembulan telah berlayar di timur. Burung-burung malam mengepakkan sayap-sayap mereka di bawah hangat cahaya bulan purnama. Sementara gerombolan awan menggunduk seperti
sekelompok orang yang sedang melakukan rapat.
Dari teras rumah, aku sungguh terjaga sembari mengamati cakrawala yang mulai menyibak kemisteriannya. Dari ruangan belakang tempat Laura dan Bento belajar, aku mendengar suara gelak tawa yang tidak seperti biasanya.
Mengapa mereka tidak menghargai waktu belajar seperti malam-malam kemarin?. Aku lalu perlahan bangun dan melangkahkan kaki secara diam-diam menuju ruangan itu.
Mereka tidak mengetahui keberadaanku, sehingga gelak tawa pun semakin menjadi-jadi. “Kak, tadi sore aku menertawakan bapak lantaran mendengarkan isi surat yang kakak bacakan bahwasanya di sana ada kata “sesegera mungkin” mengirimkan uang untuk kakak di Bali, bapak lagi tidak ada uang itu. Hahahaaaha……” Cerita Bento kepada Laura.
“Bento, kamu tahu dari mana bahwa bapak tidak mempunyai uang?.”Gali Laura. “Aku mengetahui itu karena kemarin aku ada minta belikan sesuatu kepada bapak, tetapi bapak mengatakan bahwa dia tidak mempunyai uang.” Jelas Bento.
“Ah, kau ini ada-ada saja. Bapak tahu bagaimana sebuah persoalan di atasi. Lantaran itu engkau tertawa? Pokonya kakak tidak mau tahu, seusai santap malam nanti Bento harus menyampaikan permintaan maaf kepada bapak.” Tegas Laura.
Aku melihat Bento bungkam dari gelak tawanya, kepalanya pun setengah merunduk. Aku tetap memilih diam tanpa menunjukkan mukaku kepada mereka.
Sesaat kemudian aku pun berpaling menuju beranda depan. Walau malam belum terlalu larut, akan tetapi rasa-rasanya aku tengah duduk di kejauhan malam.
Jangkrik-jangkrik pun mulai bernyanyi dengan lirik yang tak dapat kupaham. Tiada satu pun kendaraan yang melintasi jalan raya.
Dari ruang tengah terdengar suara yang menyebut namaku. Ya, suara istriku tercinta agar segera menuju ruangan untuk santap malam.
Seusai acara santap malam bersama, tiba-tiba Bento memukul piringnya dengan senduk makan. “Bapa, Mama dan kakak Laura, saya mau omong sesuatu.
Saya mau minta maaf kepada bapak karena tadi sore saya menertawakan sesuatu yang mungkin membuat bapak sakit hati dan tersinggung. Saya dengar kakak Mellita ada minta uang ke bapak sementara sepengetahuan saya bapak sedang tidak punya uang.
Jadi, saya hanya merasa lucu saja. Maafkan Bento ya Pak.” Ujarnya sendu. “Baiklah, bapak memaafkanmu nak. Satu hal yang membuat bapak bangga adalah engkau mempunyai keberanian untuk mengakui kesalahanmu. Itu nilai yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini. Sekali lagi, bapak memaafkanmu.” Ucapku sembari memberinya motivasi.
Hari ini ada sebuah perbedaan apa bila dibandingkan dengan hari kemarin. Perbedaan itu mengarah kepada sebuah keanehan yang menggiurkan. Ada sekelompok orang memasuki rumah-rumah warga sembari membagikan kartu yang ukurannya sama persis KTP.
Beberapa orang dari mereka pun memasuki rumah. Aku menerima mereka dengan ramah seperti halnya menerima tamu.
Dari antara mereka tak seorang pun yang aku kenal. Mereka menunjukkan kartu-kartu itu sembari memberikan penjelasan berupa ajakan untuk mencoblos orang yang ada dalam kartu tersebut.
Orang tersebut adalah salah satu calon legislatif pada Pemilu mendatang. Satu, dua, .. dan belasan kartu mereka kelar di atas meja. “Bapak bantu kami dengan suara sekian dan ini amplop buat jasa baik bapak. Uangnya tidak banyak pak, cuman 10 juta rupiah.” Ujar seseorang dari mereka.
Aku hanya diam, bingung dan tidak sanggup mengungkapkan apaapa. Setelah itu mereka berjabat tangan denganku, lalu pergi. Aku serba di lema.
Melihat kondisiku saat ini, di mana sangat membutuhkan uang. Ketika aku sedang termenung, tiba-tiba istriku datang dan menyuruhku untuk mengembalikan uang haram tersebut. “Di rumah sebelah, orang-orang tersebut membagi-bagikan kartu dan sejumlah uang. Sekarang juga, kejar mereka dan kembalikan kartu-kartu serta sejumlah uang yang bapak terima itu. Aku sanggup mengemis dari rumah ke rumah untuk membiayai pendidikan anak kita. Bapak berangkat sekarang juga untuk mengembalikan kartu serta uang tersebut.” Tegasnya mendesak.
Aku lalu berdiri seusai mengemas semua kartu-kartu itu dan mengejar mereka. Aku menyatakan ketidaksanggupan dalam hal bertanggungjawab atas kartu-kartu dan uang tersebut. Mereka pun menerima itu dan terus melanjutkan misi kotor mereka tersebut.
Cerpeis adalah seorang Rohaniwan Katolik pada Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Sekarang menetap di Komunitas St. Aloysius Ndao-Ende, Flores. Beberapa cerpennya pernah dipublikasikan di Media Flores Pos, Pos Kupang, Warta Flobamora dan Majalah OIKOS.