“Aku bangun pukul enam pagi dan dua jam kemudian sudah menjadi robot yang kesurupan oleh rutinitas” (Robot, Ibe S. Palogai)
Nyala layar handphone dan laptop selalu menjadi matahari yang membuka mata. Waktu istirahat diringkas, tugas kuliah menumpuk, materi diberikan tanpa ada penjelasan berarti, paket internet kritis, jaringan seperti sahabat yang sedang menjauhkan dirinya, tuntutan kuliah membentang sebuah salib yang berat untuk dipikul. Mahasiswa stress, kesehatan terganggu oleh rutinitas yang menjenuhkan. Di sini menjadi benar makna penggalan puisi yang dikutip di atas, mahasiswa menjadi robot yang kesurupan rutinitas kuliah online.
Seperti yang dilansir dari media asumsico (11/10/2020), ada 3 masalah kesehatan jiwa terbesar yang terjadi selama pandemi Covid-19 versi Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia, yakni sebanyak 25,76% kesulitan berkonsentrasi saat belajar, 23,87% mengalami stress,dan 18,85% mengalami kecemasan. Hasil survei tersebut menunjukan adanya kesehatan mental atau psikologi sebagai suatu efek tersendiri bagi mahasiswa yang dirasakan saat pandemi Covid-19.
”Saya sudah sakit ulang-ulang karena kurang istirahat. Kadang stress karena tugas banyak, tidak ada toleransi dari dosen. Sudah begitu kita tidak bisa protes hanya bisa mengiyakan segala hal,” kata Dionisius Sene, mahasiswa Akuntansi Politeknik Negeri Kupang.
Aspek kesehatan acapkali tidak dihiraukan saat membahas kuliah online, padahal aspek kesehatan ini memberi dampak yang cukup signifikan dalam tahap pengembangan kognisi dan afeksi mahasiswa. Seorang mahasiswa di Sulawesi Selatan yang tewas setelah terjatuh dari menara masjid karena mencari sinyal internet (suara.com). kisah tersebut membuktikan, kuliah online tak hanya merampas kesehatan mahasiswa, ia bahkan merampas kehidupan seorang mahasiswa.
Bagi Putry Thomas, mahasiswa Teknik Pertambangan Undana, kuliah online tidak cocok untuk mahasiswa teknik. Apalagi mata kuliahnya lebih banyak harus turun ke lapangan. Jika disuruh memilih, kata Putry Thomas, lebih baik melakukan pertemuan tatap muka mengikuti protokol kesehatan ketimbang kuliah online dan tidak ada perubahan apa-apa.
Apa yang diungkapkan Putry Thomas cukup mewakili suara-suara mahasiswa teknik. Jurusan-jurusan yang selalu bertaut dengan lapangan seharusnya ditangani dengan cara yang berbeda. Hari-hari ini, pertemuan akan realita menjadi terhambat dan itu menjadi luka tersendiri bagi mahasiswa-mahasiswa jurusan Teknik.
Selain itu, keluhan yang muncul ialah menumpuknya pekerjaan rumah, dan berbagai kerumitan yang berpendar dari aktivitas kuliah online.
“Menurut saya kuliah online tidak efektif dan sangat melelahkan, karena tugas selalu ada setiap hari tanpa ada jedah, tapi mau bagaimana lagi, ke kampus takut corona,” ungkap Sari Desrin, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unwira, “yang saya mau,” jelas Sari, “corona hilang dan saya bisa kembali ke kampus seperti biasanya, saya rindu semua teman, dosen, dan suasana kampus”.
Kerinduan suasana kampus diidamkan hampir seantero mahasiswa di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kerinduan akan sentuhan (touching) dan perjumpaan-perjumpaan intim bersama teman-teman kuliah, dan banyak situasi yang tak mampu dihadirkan oleh kuliah online.
Kuliah online diberlakukan karena adanya Covid-19 yang mengharuskan masyarakat menjaga jarak, dan mengurangi aktivitas publik. Kuliah online, pada khususnya merupakan dampak Covid-19 terhadap bidang pendidikan Perguruan Tinggi.
Sistem tatap muka diganti dengan pertemuan virtual. Namun semua seperti sebuah rencana yang menjelma bencana. Kuliah online yang awalnya dikira jalan keluar mengatasi persoalan pendidikan saat pandemi Covid-19 justru melahirkan permasalahan baru.
Jika ada yang berpikir kuliah online adalah jalan keluar, maka tak salah jika ada yang berpikir kalau kuliah online merupakan jalan buntu. Sayangnya, kenyataan mengafirmasi pikiran paradoks tersebut. Aneka keluhan tumbuh dari kerumitan pelaksanaan kuliah online. Tidak adanya penanganan serius dari pemerintah memperburuk keadaan.
Sistem kuliah online membuat waktu berjalan begitu cepat, dan mahasiswa dituntut untuk bersegera. Memacu tempo kehidupan mengikuti pola kehidupan yang telah dikontrol oleh teknologi dan semua sistem kuliah online yang bernaung di dalamnya. Sampai titik ini, konsep Dromologi pemikir Prancis, Paul Virilio benar adanya. Kecepatan adalah paradigma yang menentukan segalanya.
Akhirnya, pendidikan yang semestinya memerdekakan hanya sebatas wacana. Pendidikan Indonesia, khususnya Kota Kupang Nusa Tenggara Timur saat ini dihadapkan pada realita “pendidikan yang memenjarakan”.
Kuliah online tidak bisa dihilangkan, tetapi hendaknya diperbaiki dengan berbagai kebijakan yang cukup mencairkan ketegangan yang sedang berlangsung. Jika tidak, kuliah online akan terus mengasingkan para mahasiswa, memblokir kebebasan mahasiswa dalam menggapai ilmu, dan pada saatnya para mahasiswa akan berteriak: ”Kuliah online memang lain”.
Penulis: Dunstan Obe