Kupang, VoxNtt.com
Masih terlalu pagi, kala Ibu membangunkan kami. Tak biasanya kami dibangunkan sepagi itu. Dinginnya bikin menggigil, apalagi menyuruh mandi di kali, persis di belakang rumah kami. Suhu udara di kampung Coal, Manggarai Barat pagi itu rata-rata sepuluh sampai dua belas derajat celcius.
Hari itu memang beda. Ibu mewajibkan kami bangun dan segera mandi, lalu sarapan. Setelahnya, Ibu memilih pakaian terbaik untuk kami pakai. Kata Ibu, kami harus tampil rapi karena akan pergi ke Ibu Kota Kecamatan Kuwus, di Golo Welu. Sementara Ayah yang kala itu menjabat Sekretaris Desa terlihat sibuk, jalan pontang panting ke sana ke mari. Ia sedang memastikan orang-orang di kampung dalam keadaan siap.
Setelah dipastikan beres, beberapa bus kayu yang sudah dikoordinasikan sebelumnya, berbondong mengangkut massa dari desa kami dan sekitarnya. Kami dan semua orang desa dinaikkan ke atas bus-bus itu menuju Golo Welu.
Sebagai anak SD kelas satu, tak ada pikiran apa-apa di kepala saya selain senang karena bisa naik oto, pakai pakaian terbaik dan masuk ke Kota Kecamatan. Jarak antara kampung kami dan Kota Kecamatan memang tak jauh, tetapi karena tak ada kendaraan yang lewat ditambah jalan rusak serta tekstur yang tak berarturan, orang-orang kampung biasanya berjalan kaki.
Kala itu, bisa naik oto merupakan suatu kebanggan bagi anak seusia saya, meski harus menahan sakitnya pantat karena terbentur pada kursi kayu di atas bus sepanjang perjalanan. Perjalanan yang melelahkan akhirnya mengantar kami ke Golo Welu.
Di sana ada lautan manusia yang sudah dari pagi berkumpul dengan semarak warna tunggal, kuning. Sangat ramai. Dentuman musik dari soundsystem terbaik, membuat hati kami sebagai orang desa kian hanyut dalam semaraknya situasi.
Entah siapa yang teriak dari atas panggung, Golkar! Lalu disambut pekikan “Maju, Menang, Jaya” dari lautan massa. Itu adalah peristiwa kampanye Pilpres 1997. Peristiwa itu juga menjadi awal saya mengenal Golkar. Setelah itu, suasana sama tak lagi saya temukan pasca 1998, masa di mana Soeharto lengser.
Simbol Bhineka Tunggal Ika
Dominasi Golkar sepanjang masa ode baru, selanjutnya saya ikuti setelah berstatus mahasiswa melalui teks-teks buku, surat kabar, serta ruang-ruang diskursus politik. Golkar di era orde baru memang sekokoh beringin yang tak kenal musim gugur.
Hal itu kemudian diakui, salah satu sepuh Golkar NTT, Achry Deo Datus dalam sesi diskusi dengan VoxNtt.com melalui sambungan seluler. Suturut pengalamannya bergolkar di NTT, ia mengisahkan Golkar memang tetap berdiri kokoh sejak awal berdirinya, walau kerap diterpa gelombang masalah internal maupun eksternal.
Runtuhnya Soeharto dan munculnya banyak partai, juga tak membuat Golkar kemudian punah. “Beringin” tetap berdiri kokoh, kuning pun tetap menyala ke seantero negeri. Ia tetap menjadi partai berpengaruh dalam menentukan dinamika perpolitikan Indonesia.
Hal itu karena Golkar selalu fleksibel dalam memainkan dinamika. Ia tak sekaku pohon beringin dalam berpolitik. Demikian inti pandangan salah satu sepuh Golkar NTT, Achry Deo Datus saat dihubungi, Sabtu 17 Oktober 2020.
Menurutnya, sejak berdiri pada tahun 1964 hingga saat ini, Partai Golkar selalu fleksibel. “Sudah sejauh ini, perjalanannya selalu fleksibel, selalu menyesuaikan dengan keadaan ya, untuk kepentingan masyarakat,” ujar tokoh Sikka yang menetap di Kupang ini.
Semua partai kata dia, tentu berjuang untuk kepentingan masyarakat, namun Golkar mempunyai ciri khasnya sendiri yang tak mungkin dapat ditiru partai lain.
“Semua partai pasti berjuang untuk itu, tetapi ciri khas dari Golkar itu, dia tetap konsekuen dengan pendiriannya sejak semula, tahun 64 sampai dengan saat ini,” tegasnya.
Ciri lain dari partai beringin itu kata dia, selalu merangkul semua kekuatan masyarakat. Yang dimaksudkan Achry adalah, kekuatan budaya, agama maupun golongan. Ia bahkan menyebut, Golkar adalah partai “Bhineka Tunggal Ika”.
“Dia selalu merangkul semua kekuatan masyarakat, mau dari segi budaya, agama, semua dia ambil. Bhineka Tunggal Ika itu ada di Golkar. Golkar itu, Binekha Tunggal Ika. Kalau dalam arti mini itu, ada di dia. Karena dia merangkul semua kekuatan itu tanpa pemikiran fanatik tertentu,” ujarnya.
Golkar hanya fanatik pada Keindonesiaan dan Pancasila.
“Dia fanatik hanya pada rasa keindonesiaan, persatuan, kesatuan, kebangsaan. Ya, pancasila itu dia pegang teguh. Golkar ya, itu,” tegasnya lagi.
Kalau ada orang yang ingin menjadikan negara ini dalam dasar yang lain-lain, dia sangat yakin Golkar adalah yang pertama yang akan bangkit untuk melawan.
“Pasti itu. Karena dari sana, dari pendiriannya itu, begitu. Jadi, asas dan cirinya begitu,” katanya dengan lantang.
Sampai saat ini, Golkar menurut dia selalu mampu menyesuaikan dengan dinamika sosial politik di negeri ini.
“Mengapa dia harus sesuaikan, supaya dia bisa berbuat banyak untuk masyarakat. Kalau dia tidak bisa menyesuaikan, pasti dia mati. Dan dia bisa menyesuaikan dengan semua keadaan itu demi kepentingan masyarakat, ya demi rakyat. Semua partai ya pasti berjuangnya begitu. Tapi Golkar itu adalah partai lama, partai besar. Dia teruji dan sudah terbukti,” tandas mantan Akademisi Undana ini.
Salah satu kekuatan Golkar adalah menjadikan kemanusian sebagai tujuan utama partai. Kemanusiaan lanjut dia, menjadi tujuan utama perjuangan politiknya.
“Jadi, tujuan dari Golkar itu adalah untuk kepentingan kemanusiaan. Tujuan utamanya ya menegakkan kemanusiaan. Semua partai sama tetapi kekaryaan itu ya, dia sangat menghargai prestasi, menghargai kerja orang,” katanya.
Tak hanya itu, Gokar adalah tipikal partai yang menghargai prestasi dan hasil kerja kadernya. Hal itu juga yang membuat wakil ketua dewan pertimbangan Golkar NTT ini tetap kuning sejak bergabung pada tahun 1969, hingga usianya berkepala tujuh (77 tahun).
Ia berharap, memasuki usia yang ke-56 pada 20 Oktober mendatang, Golkar harus semakin matang dan kokoh dengan pendiriannya. Konsistensi perjuangannya, kata Achry akan membuat Golkar kokoh sebagaimana beringin. Walau diterpa badai dia tetap kokoh dan mengakar hingga menjalar ke mana-mana.
Perinsip itu, tandas dia berlaku umum untuk Golkar dari Pusat hingga ke daerah, termasuk NTT.
Terkait sepak terjang beringin di NTT, mantan anggota DPRD NTT periode 1982-1997, menilai Golkar NTT di bawah kepemimpinan Ketua DPD, Melkiades Laka Lena, terus memberikan warna tersendiri dengan tetap mengacu pada prinsip partai yang fleksibel.
Sekretaris Golkar NTT selama 15 tahun sejak tahun 1980 ini pun mengapresiasi kepemimpinan Melki Laka Lena karena telah mendekatkan Golkar pada orang muda.
Tanpa Matahari Tunggal
Partai yang sehat adalah partai yang bebas dari pengkultusan terhadap individu tertentu atau dalam bahasa pengamat politik Undana, Lasarus Jehamat, tanpa matahari tunggal.
Menurut Lasa, demikian ia disapa, partai yang tanpa matahari tunggal, mampu menghidupkan nilai demokrasi di dalamnya. Golkar menurut dia ada pada level itu.
“Nilai demokrasi tumbuh dalam ruang seperti itu,” katanya saat dihubungi via telepon, Jumat 16 Oktober.
Pernyataan Lasa ini sedang menggambarkan sistem politik dalam tubuh partai-partai saat ini yang kerap menjadikan individu tertentu sebagai penguasa tunggal dalam menentukan arah perjuangan dan juga pengambilan keputusan partai.
Pandangan Orang Muda
Sebagai partai yang fleksibel, Golkar NTT juga berusaha mengubah wajah partai yang yang dalam pandangan kebanyakan orang hanya berisi diskusi politik, menjadi lebih dekat dengan kaum milenial.
Salah satu kegiatan yang masih membekas ialah lomba game PUBG pada 13-17 Agustus 2019 di gedung DPD I Golkar NTT.
“Saya kira baru Golkar mengadakan kegiatan seperti ini di NTT. Sebagai seorang gamer, saya melihat Golkar berhasil mengubah wajah partai yang kaku menjadi lebih familiar dengan kaum milenial,” ungkap Asis Sanda, salah satu penggiat game online di Kota Kupang.
Mahasiswa jurusan Agroteknologi Undana yang juga bergelut dalam dunia design grafis ini, melihat tampilan milenial ala Golkar sebagai strategi merebut hati kaum muda.
“Pada titik ini saya salut dengan Golkar. Bukan tidak mungkin jika hal ini terus dilakukan, maka partai Golkar dapat menjadi magnet yang dapat menarik kaum muda,” ungkapnya.
Tak hanya Asis, kesan yang sama juga diungkapkan Emanuel Nok, mahasiswa semester akhir Sosiologi Undana Kupang. Eman, demikian disapa, melihat Golkar sebagai partai yang bisa beradaptasi dengan perubahan zaman.
“Saya hanya memberi satu catatan kepada Golkar NTT yakni jangan lupa menyelipkan pendidikan politik bagi kaum milenial di sela-sela kegiatan yang sifatnya merangkul kaum muda,” ungkapnya.
Penulis: Boni Jehadin