Oleh: Paulus I Ketut Budi Suryawan
“ma, aku sudah bosan hidup. Aku sudah tiada gairah lagi dalam menjalaninya. Semua terasa suram dan tiada harapan, meski itu hanya secercah cahaya lilin.”
“ma, tolong jawab dan berilah aku solusi. Aku tidak tahu harus ke siapa lagi. Hanya engkau saja yang paling ku percaya selama hidup ku ini.”
“maa, kenpa aku harus mengalami penderitaan di dunia ini? Kenapa aku harus merasakan kesusahan? Kenapa hidup ini harus penuh rasa sakit dan luka? Bukankah engkau pernah bilang hidup ini adalah anugerah?”
“mungkin pinta mu saat itu….”
***
“adee, sudah pagi ayoo bangun..”
“ahh mama…iyaa maa..” kata ku menjawab perkataan mama
“ingat sebelum beranjak dari tempat tidur, ucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan sehari lagi untuk melakukan kebebasanmu di dunia”
“pasti ma, aku takkan melupakannya. Hehe”
Begitulah kegiatanku setiap pagi. Semenjak kepergian ayahku, mama selalu mengingatkanku bersyukur dan menyadari berkah setiap harinya. Apapun kodisinya, puji dan syukur wajib dihaturkan kepada Tuhan. Sekalipun kami terbangun di pagi hari di tempat pembuangan akhir atau di bawah kolong jembatan.
Mama menjadi superhero ku. Tak ada satu kata penolakan ataupun keraguan yang berani muncul dalam diriku terhadap mama. Aku selalu mematuhinya dan mendengarkan setiap permintaannya. Walau ada rasa penasaran yang menuntut untuk dipuaskan dalam diriku ini. Sebuah pertanyaan yang sedari dulu ingin ku sampaikan kepada mama. Namun tak pernah ku memiliki kuasa mengatakannya.
Sesungguhnya, aku adalah seorang anak dari keluarga yang terbelakang. Orang tua ku menamaiku Deo, namun aku biasa dipanggil Ade. Ayahku meninggal ketika aku masih SD. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Mamaku hanya berkata bahwa tabungan syukur ayah telah penuh. Setelah itu, aku hidup dengan mama ku saja. Kami tinggal di rumah yang beralaskan kardus dan beratap langit. Bila hujan datang, kolong jembatan pun jadi sahabat kami. Untuk makan kami mengandalkan dari belas kasih orang dan beberapa upah dari usaha mama membantu orang lain untuk angkat barang-barang ataupun pekerjaan lain yang tersedia. Aku selalu ingin membantu mama mencari uang, tetapi mama selalu mengatakan “biar mama saja, ya ade”. Tak ada kata yang berani keluar dari mulutku bila mama telah berpesan kepadaku.
***
Lambat laun, aku menyadari bahwa aku tak boleh diam saja. Sekalipun aku masih seumuran anak SD, aku mesti membantu mama mencari uang. Bagaimanapun pekerjaannya nanti, jika aku boleh dan bisa aku pasti akan melakukannya. Ditambah hanya akulah satu-satunya harapan yang tersisa dalam keluarga ku. Dan aku laki-laki.
Sedangkan mama, rambut putih di kepalanya telah banyak yang mulai berlomba menunjukan diri. Kulit mama pun sudah mulai lusuh. Wajah yang selalu menampilkan senyum manis perlahan banyak kerutan. Aku tahu mama tak lagi muda. Sehingga ingin sekali berkata, “ma, istirahatlah di kamar. Bila mama lapar, di dapur ada roti dan buah yang telah ku beli. Ade pergi kerja dulu ya”.
Namun kenyataannya, mama lah yang memberiku sebungkus nasi dan segelas air. Bahkan kadang ia rela tidak makan hanya agar aku bisa makan. Apapun yang bisa diperolehnya selalu diutamakan bagi diriku. Seakan tubuhnya tak lagi membutuhkan makanan dan merasa kenyang bila aku bisa makan.
Ini membuat hatiku semakin terenyak. Merasa kehadiranku menyusahkan mama. Dan aku merasa kehidupan ini hanya memberi penderitaan. Ingin sekali bertanya pada mama, mengapa hidup di dunia itu seperti neraka. Yang katanya disana tiada namanya bahagia dan sukacita. Hanya sengsara dan derita. Namun karena ku pikir belum waktunya, aku memilih mencari tambahan uang dengan bekerja saja. Dan menyimpan pertanyaan itu dalam hati.
Pertama kali mencari kerja, ku rasa sangatlah susah. Pandangan negatif orang-orang terhadap diriku yang masih usia anak SD ini menjadi hambatan yang terbesar. Mereka meragukan dan mencibirku.
“apa? kamu mau kerja disini? Bisa apa emangnya kamu?” begitu perkataan salah seorang pemilik toko beras yang meragukan diriku.
Walau begitu, aku tak menyerah. Aku terus mencari dan mencoba hingga aku mendapat pekerjaan di sebuah toko buah yang cukup besar. Aku bekerja sebagai angkat-angkat buah. Ditempat kerja ini, aku senang sekali. Sebab pemilik toko memahami keadaanku dan sering membekali ku beberapa buah sehabis kerja. Aku pun dibuatnya berpikir, “mungkin aku salah dalam mengatakan bahwa hidup ini hanya berisi penderitaan”.
***
Suatu hari, dalam perjalanan ke tempat kerja, aku tak sengaja melihat mama dimarahi oleh seorang bapak. Aku tak tahu apa kelasahan mama. Yang jelas hatiku teramat sakit. Perih meilhat momen menyakitkan ini. Ia dihakimi tak karuan seolah ia adalah seoran penjahat kelas berat.
“ohh kamu ini ibunya. Pantas saja seorang anak SD harus bekerja, bukan duduk di kelas untuk belajar. Kamu kerja saja tidak benar. Tahunya hanya memohon belas kasih dan meminta maaf. Jadi orang tua itu harus…”
Aku tak sanggup mendengarnya lebih lama lagi. Hatiku perih dengan luka yang tak berdarah. Pikiranku sesak dengan kata-kata yang menyayat halus. Dan sekali lagi keraguanku mencuat,
“benarkah hidup ini hanya tentang penderitaan?”
Setelah itu, aku menangis dan berlari ke gubuk reyot kami. Gubuk tempat aku melepas lelah. Seakan alam mengerti keadaanku. Burung-burung turut menyembunyikan kicauannya. Angkin tak lagi berhembus. Semuanya menjadi sepi dan sunyi. Aku bingung dengan dunia ini. Aku pun terus menyalahkan diriku yang tak mendengar perkataan ibuku. Perasaan benci terhadap dunia mulai bernegosiasi. Pikaran yang selama ini ku jaga agar selalu bersih dan murni, kini mulai pudar. Diriku tak lagi bisa ku kendalikan. Aku sungguh marah dan emosi. Namun, tak ada hal yang bisa ku lakukan.
Tiba-tiba saja mama datang. Aku terdiam. Takut. Cemas. Sembari khawatir keadaan mama. Sebab aku sadar, semua yang dialaminya itu oleh dan karena diriku. Aku hanya bisa menundukan kepala. Memilih diam seribu bahasa.
“selamat siang Ade” sapa mama,
“….” aku masih memilih diam,
“Ade udah makan? Ini mama ada bawa nasi ikan kesukaan ade” mama menawariku,
Namun tetap saja aku memilih berdiam diri. Melihat aku begitu, tidak lama kemudian mama memelukku hangat. Kasih dan kedamaian menerobos kekalutan dalam hati dan pikiranku. Aku merasakan kenyamanan dan ketenangan yang pasti akan selalu kurindukan.
Lalu ibu berbisik kepadaku, “ade tenanglah, mama tidak kenapa-kenapa”
Aku mengangkat kepala dan melihat wajah mama yang begitu memancarkan keteduhan. Kerutan usia sama sekali tak mampu menutupinya. Mama seperti tidak memiliki luka dalam hidupnya. Padahal tadi aku menyaksikan sendiri mama dimarah-marah dan dihakimi. Aku yang hanya melihatnya saja begitu merasa tersakiti apalagi mama yang mengalaminya. Sekali lagi ku lihat wajahnya, memastikan bahwa mama menutupi semuanya namun tak juga ku temukan rasa benci dan amarah. Seakan mama memiliki hati seluas semudera yang tak akan terpengaruh dengan secangkir kopi hitam pahit.
Karena kupikir ini saat yang tepat untuk menanyakan semuanya kepada mama, aku menyampaikan segala isi hatiku selama ini.
“ma, aku ingin bertanya. Mengapa kita hidup miskin dan susah? Tidak bisakah kita hidup enak-enak dan segala sesuatunya terjamin? Atau mungkin hidup ini hanya berisi penderitaan?” tanya ku tidak terima akan kehidupan ini.
Kemudian mama menjawab dengan nada lembut dan penuh keyakinan, “dengarkan baik-baik ya Ade. Kita memang hidup miskin dan susah. Namun sekalipun miskin dan susah tetaplah bersyukur, karena mungkin dengan mengalami kehidupan yang demikian engkau bisa menjadi lebih dekat dan berpasrah dengan Tuhan”
“apakah itu artinya kita harus hidup miskin terus ma?” sela ku
“tidak juga. Engkau boleh berjuang dan bekerja keras mencapai cita-citamu. Namun bila engkau telah menjadi kaya dan sukses ku mohon tetaplah ingat untuk bersyukur. Karena mungkin dengan kekayaan dan kesuksesanmu itu engkau bisa membantu sesamamu.”
“ohh iyaa, benar ma. Sebagaimana aku mendapat bantuan dari si pemilik toko buah. Ia begitu sukses dan ia mau menolongku. Itu memberi kebahagiaan tersendiri bagi diriku.” Imbuhku kepada mama
“ternyata kamu sudah mulai mengalaminya ya. Syukurlah” kata mama
“iya ma, maaf aku diam-diam mencari kerja tanpa sepengetahuan mama” permohonan maafku karena telah menipu mama
“iyaa gapapa ade. Yang penting kamu selalu ingat bersyukur atas hidupmu ini. Baik itu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Percayalah bahwa itu semua rahmat dari Tuhan. Tak perlu marah dan berkata-kata kasar. Itu tak akan mengubah perasaanmu menjadi damai. Tetapi belajar menerima. Kendati engkau belum mengerti dan memahaminya secara utuh. Menerima itu bukan berarti kau tak berdaya, melainkan kau percaya bahwa hidupmu ini adalah anugerah dan rencana dari Dia Sang Pencipta”
“tapi mengenai penderitaan di dunia ini ma?” aku bertanya sekali lagi
Mama tersenyum dan menjawab, “mengenai penderitaan, mama hanya bisa berkata bahwa menolak, menyangkal, dan mengeluh terhadap penderitaan itu hanya bagi mereka yang tak memiliki iman kepada Tuhan yang telah mendahului dan menanggung semuanya untuk manusia. Bukankah kita ini hidup untuk Mengikuti-Nya? Bukan mendahului-Nya kan?”
***
“ma, aku sudah bosan hidup. Aku sudah tiada gairah lagi dalam menjalaninya. Semua terasa suram dan tiada harapan, meski hanya secercah cahaya lilin pun tak ada.”
“ma, tolong jawab dan berilah aku solusi. Aku tidak tahu harus ke siapa lagi. Hanya engkau saja yang palingku percaya di hidup ini.”
“maa, kenapa aku harus mengalami penderitaan di dunia ini? Kenpa aku harus merasakan kesusahan? Kenapa hidup ini harus penuh rasa sakit dan luka? Bukankah engkau pernah bialng hidup ini adalah anugerah?”
“mungkin pinta mu saat itu….”
“adee, sudah pagi ayoo bangun..”
“ahh mama? benarkah ini mama? iyaa maa. Aku bangun” kata ku menjawab perkataan mama dan berusaha langsung memeluknya erat. Namun belum sempat ku memeluknya, mama sudah pergi dan menutup pintu. Aku berusaha mengejarnya dan …
‘bruakk…!!!!!’ aku terbangun dan tersadar. “apakah tadi aku bermimpi?” tanyaku pada diriku sendiri. “Atau mungkinkah ini jawaban atas pertanyaanku selama ini?” Lalu tanpa berpikir panjang aku segera bangun dan mengucap syukur kepada Tuhan atas jawaban yang tak pernah ku duga dengan cara seperti itu.
Kemudian aku segera mencari ibuku dan memeluknya erat. Dan berjanji bahwa aku tak akan lagi mengeluh dalam hidup dan selalu melihat segala sesuatunya dengan kaca mata iman.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH