*Oleh: Ila Karmila
Indonesia merupakan Negara yang saat ini dibanjiri hoaks. Hal ini beralasan, masyarakat kita suka menciptakan hoaks di berbagai bidang sehingga memicu terjadinya berbagai masalah. Masyarakat kita tidak menyaring berita-berita yang diterima dan diketahui kebenarannya, tetapi pada saat bersamaan berita tersebut disebarkan begitu saja kepada orang lain.
Perlu kita ketahui, hoaks yang adalah kabar bohong ini, menurut Lynda Walsh dalam bukunya Sins Against Science adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri (diperkirakan pertama kali muncul pada tahun 1808).
Namun, jauh sebelum itu hoaks sudah dikenal luas oleh masyarakat. Hoaks berasal dari kata “ Houns” yang diambil dari mantra “Houl pocus”, sebuah frasa yang kerap disebut oleh pesulap sebagai “sim salabim” (AntaraNews.Com).
Penyebaran hoaks ini tidak terlepas dari pengguna media sosial itu sendiri. Tercatat kurang lebih 175,4 juta orang di Indonesia yang aktif di berbagai media sosial, yakni Instagram, Twitter dan lainnya. Sementara total jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 272,1 juta orang di mana riset menunjukkan sudah 60% penduduk Indonesia menggunakan internet (Kumparan.com, 21 Februari 2020).
Hemat saya, pengguna media sosial juga adalah penyebar hoaks, di mana penggunanya sering menyebarkan berita-berita yang belum dipastikan kebenarannya. Saat ini kita berada dalam arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Sayangnya, pada saat yang sama, pengetahuan masyarakat akan media sosial masih sangat minim. Hal ini tentu berakibat pada penyalahgunaan media sosial itu sendiri.
Bahkan, orang-orang yang berpendidikan tinggipun bisa “teledor” dalam menggunakan media sosial sehingga turut ikut terbawa arus penyebaran hoaks.
Di sini diperlukan sosialisasi dan cara-cara yang efektif untuk mengatasi penyalahgunaan media sosial sebagai media penyebaran hoaks. Didukung oleh kedudukan kalangan kaum muda saat ini, yang adalah agent of change, menjadi kalangan yang rentan terhadap kasus penyebaran berita bohong ini.
Remaja sebagai Pemilih Pemula
Hemat saya, remaja sebagai pemiih pemula merupakan orang-orang muda yang berusia 17 tahun. Mereka adalah kaum yang pertama kali menyalurkan hak pilihnya dalam kontestasi politik 5 tahunan, entah pemilu atau pilkada. Hal ini merupakan sebuah bentuk betuk partisipasi politik yang dibuat oleh kaum remaja.
Seperti yang kita ketahui, sebagai pemilih pemula remaja mesti dibekali dengan pendidikan politik. Mesti ada sosialisasi politik yang sasarannya ditujukan untuk pemilih pemula. Hal ini bisa meliputi makna dan konsep politik, strategi politik, dan masih banyak lagi. Ini penting untuk mencegah timbulnya kesalahpahaman dari remaja terhadap politik dan elit politik, juga strategi politik itu sendiri.
Tercatat, ada 456. 256 pemilih pemula di tahun 2020 (detikNews, 6/10/2020). Jumlah pemilih pemula yang cukup banyak ini diharapkan dapat membawa perubahan. Secara konkret, mereka dapat memilih sesuai dengan tuntutan hati nurani dengan berasaskan “Luberjurdil”: Langsung, Umun, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Sistem inilah yang akan mengarahkan kita kepada hakikat demokrasi yang sesungguhnya. Bahwasanya pesta demokrasi harus dilakukan secara umum dan bebas namun bersifat rahasia. Rahasia artinya setiap individu memilih siapa yang dipercayakan menurut kehendak hati nuraninya sendiri tanpa perlu diketahui dan dipaksa oleh orang lain dalam bentuk apapun dan juga tanpa harus memaksa orang lain untuk mengikuti siapa yang dia inginkan.
Pemuda: Pengontrol Enggan Berselingkuh
Berbicara tentang hoaks tentunya bukan hal asing lagi bagi masyarakat pengguna media. Bahkan setiap waktu kita dapat menemukan hoaks. Untuk mencegah hal ini, masyarakat mesti diberi pemahaman tentang pentingnya memfiltrasi setiap berita yang disodorkan media. Sebab, patut disadari keterbatasan masyarakat dalam hal memahami media memang satu hal yang cukup sulit untuk kita atasi.
Di sinilah peran pemuda. Selain sebagai agent of change, mereka adalah agent of control. Artinya, pemuda menjalankan tugas sebagai pengontrol setiap tindakan masyarakat, khususnya tindak-tanduk masyarakat dalam menggunakan media. Peran pemuda mesti ditingkatkan guna mengingatkan masyarakat ketika terjadi “keteledoran” dalam menggunakan media sosial.
Hemat saya, hal yang paling penting ialah pemuda sendiri harus mengikat diri agar tidak “berselingkuh” dengan haoks, sehingga dalam menjalankan perannya sebagai agent of change dan agent of control, pemuda sudah dapat menjadikan diri sendiri sebagai contoh, serentak mensosialisasikan kepada masyarakat hal-hal yang perlu diwaspadai dalam menggunakan media sosial. Enggan “berselingkuh” dengan hoaks artinya bahwa pemilih pemula atau pemuda sebagai agen perubahan tidak bersedia bersetubuh atau terlibat dengan berita- berita hoaks atau berita yang banyak mengandung kebohongan kemudian dapat merusak proses demokrasi di dalam sebuah Negara, juga berpotensi terhadap pencitraan nama baik pemuda yang kerap pemuda dijuluki sebagai kaum penerus. Artinya kaum generasi penerus bangsa yang dapat menjadi garda terdepan dalam membangun sebuah Negara.
Dengan itu, pemuda menjadi generasi penerus yang tahu etika dan memiliki kebajikan dalam menggunakan media sosial. Dengan demikian visi dan misi pemuda juga sumpah pemuda menjadi sangat nyata dalam kehidupan sosial itu sendiri dimana pemuda menjadi garda terdepan dalam membangun perubahan maka terealisasinya kata-kata bung Karno yakni “Berikan aku seribu orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya juga berilah aku sepuluh pemuda maka akan kugonjang dunia”. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa kehadiran pemuda sangat di butuhkan dan diharapkan untuk merubah maindset masyarakat dari pemahaman yang lemah, juga membawa perubahan, serta memberi nutrisi bagi sebuah Negara.
Penulis adalah mahasiswa Sosiologi Fisip Undana – Kupang