*Oleh: Frederikus Magung
“Beri aku sepuluh pemuda dan dengan kesepuluh muda itu aku akan mengguncangkan dunia. Dengan seratus pemuda, aku akan memindahkan Gunung Semeru”
Ungkapan heroik di atas pernah dilontarkan oleh presiden pertama bangsa Indonesia, Bung Karno dalam suatu kesempatan pidato kebangsaan nasionalismenya. Bung karno secara gamblang menyatakan suatu kesadaran bahwa tanpa intervensi kaum muda dalam memperjuangkan kemerdekaan, tidak akan teramini.
Lantas, de facto membuktikan ketangkasan- nasionalisme kaum muda dalam memperjuangkan kemerdekaan serentak menciptakan sejarah baru dalam peradaban dunia. Pertama bermula dari Gerakan Kebangkitan Nasional Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1945), Menumbangkan rezin Orde lama (1966), peristiwa Malari (1974), sampai penurunan rezin Orde Baru pada tahun 1998. Dalam sejarah “keselamatan” itu, para pemuda mengambil peran penting.
Mengapa mesti kaum muda? Pertanyan ini mengantar kita pada suatu konsep eksistensialisme kaum muda di tengah keterlibatan-keterlibatannya dalam dunia pada umumnya, berpolitik pada khususnya. Berpolitik kaum muda menjadi acuan pragmatis serta preferensi dialektis konstruktif bagi perkembangan sebuah bangsa dan negara.
Kaum muda diasosiasikan sebagai seorang patriot, nasionalis berjiwa muda, semangat perubahan, aktif, energik, penuh spirit, kreatif, visioner, pekerja keras serta mempunyai nilai positif bagi kemajuan bangsa.
Maka, semangat politis konstruktif yang melekat dalam diri kaum muda pada zaman sebelum reformasi hendaknya diwarisi secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Aras ini esensial agar sistem politik kita selalu diperbarui dan tercerahkan, tidak monoton dan selalu bergerak keluar sembari memberi angin segar kepada masyarakat publik. Sehingga terciptalah apa yang kita sebut sebagai demokrasi.
Kaum muda progresif mesti terlibat aktif dalam dunia politik. Dunia politik adalah arena perjuangan yang sangat baik demi menciptakan kenyamanan hidup bersama. Maka demikian tujuan politik yakni sebagai tempat menyimpan aspirasi serentak memperjuangkan aspirasi itu yang terwujud dalam kebijakan politik pemerintah.
Keterlibatan politik kaum muda tidak semestinya masuk pada jalur politik praktis, masuk partai politik, terjun berpolitik atau menjadi calon legislatif, eksekutif atau pun yudikatif.
Atau kepemimpinan politik yang merangkul Gerakan pemuda ke dalam kekuasaan baru yang membentuk, kemudian mentransformasikan Gerakan pemuda itu ke dalam institusionalisasi demokrasi melalui pelembagaan politik formal, partai politik, organisasi massa atau kedudukan dalam birokrasi pemerintahan, rezim baru.
Tetapi kaum muda progresif membentuk sebuah organisasi radikal sebagai pertahanan diri yang kuat dalam menanggapi situasi politik dengan menciptakan idealisme perjuangan dan sosialisme yang tinggi yang terwujud pada serangkaian aksi sosial yang inspiratif dan mencerdaskan.
Dengan konsep lain, kaum muda progresif dituntut untuk perlu dengan jeli meneropong sistem politik dari kacamata kaum muda tanpa menghilangkan esensi sebuah politik. Karena itu, kaum muda berpikir secara progresif, analitis serta berdaya transformative- konstruktif dan tidak mudah jatuh dalam konsep politik semu.
System literasi demokrasi dan politik Indonesia akhir-akhir ini kian akut. Salah satu contoh kejanggalan kebijakan pemerintahan atau wacana politik ekonomi pada dekade terakhir adalah penetapan kebijakan UU Omnibus Law di tengah pusaran inflasi administrasi, inflasi ekonomi nasional baik makro dan mikro serta inflasi lokal maupun inflasi daerah.
Kebijakan berdaya melumpuhkan demokrasi mengundang aliansi mahasiswa untuk mendemonstrasi. Masifnya ekonomi politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk serta semakin memperlihatkan politik kapitalis oligarki.
Pada aras ini, sistem kebijakan politik bukan saja direvitalisasi oleh rezim berkuasa tetapi ada intervensi para oligarki dan kaum bosisme. Pemerintah memberi legitimasi penuh kepada kaum kapitalis oligarki dalam membentuk negara. Itensitasnya hanya dua, geliat mamon dan kekuasaan.
Perkawinan silang opsi kekuasan dan geliat mamon membentuk sebuah ilusinasi destruktif bagi perkembangan bangsa dan negara. Negara bukan lagi berdiri kokoh di atas dasar demokrasi sebagai wadah yang kuat tetapi sontak bertepi di pasir, manakala badai datang, goncanglah sistem demokrasi.
Pemerintah bukan lagi menjadi malaikat pelindung hak dasar warga negara yang mendistribusikan keadilan secara merata. Namun, kerap kali pemerintah menciptakan kericuhan publik karena kebijakan yang tidak berorientasi pada kebaikan rakyat, bonum commune tapi malah demi kepentingan kelompok tertentu, kaum kapitalis.
Atas dasar konsep semu itu, kaum buruh semakin tidak diperhatikan, rakyat dinomorduakan, kebijakan umum direduksi menjadi kepentingan kelompok tertentu. Yang kaya semakin kaya, yang miskin, semakin kian melarat.
Maka demikian, tulang punggung demokrasi ada di tangan para pemuda, kaum muda. Saatnya kaum muda diberikan kesempatan untuk merealisasikan kelebihan, bakat ekstraktif, karakter berjiwa muda dalam menanggapi situasi perpolitikan Indonesia.
Rendahnya literasi politik akan menjadi tanggung jawab kita bersama, elemen masyarakat, para tokoh adat dan agama terlebih khusus kaum berjiwa muda, pemuda. Pemuda sebagai agent of change mesti mendapat tempat dalam mengkonstruksi peradaban dunia baru.
Pilkada serentak 2020 adalah menjadi momen penting bagi pemuda untuk merealisasikan ketangkasan dan jiwa nasionalisme dalam membentuk mencerdaskan bangsa. Membaca situasi politik, berdiskusi dalam ruang publik adalah jalan yang terbaik menjaga sakralitas demokrasi.
Pemuda adalah harapan bangsa. Pemuda adalah masa depan bangsa. Pemuda adalah bangsa itu sendiri. Berjuanglah untuk mencerdaskan bangsa.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero