Oleh: Irvan Kurniawan
Entah apa yang merasuki Denny Siregar. Senin 27 Oktober 2020, influencer yang kerap mengundang kontroversi itu ikut nimbrung mengomentari sebuah foto yang tengah viral sejagat. Bahkan menurut Denny ributnya segalaksi.
Foto itu memang menyentuh perasaan ketika memperlihatkan seekor komodo dewasa berpapasan dengan mobil dumptruck.
Si Varanus Komodoensis itu berjalan dari arah berlawanan dengan mengambil sisi kanan bagian depan mobil. Sedangkan mobil dumptruck itu terlihat mengangkut besi beton dan dua pekerja di atasnya.
Sejumlah sumber VoxNtt.com menyebutkan foto tersebut berlokasi di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo (TNK). Mobil dumptruck dalam foto tersebut merupakan kendaraan milik kontraktor yang mengerjakan proyek geopark di pulau yang menjadi habitat asli satwa purba itu.
Meski belum mencermati fakta, jari Denny Siregar seakan gatal melihat foto itu viral. Narasi foto yang beredar memang kebanyakan mengeritisi proyek ambisius pemerintah Jokowi untuk membangun Jurassic Park dan sarana pariwisata di tengah suara penolakan dari elemen masyarakat.
Setelah menulis tanpa berpikir panjang, Denny pun langsung tweet. Jarinya lebih cepat dari pikiran dan hasilnya….ambyar, lahirlah disinformasi publik. Meski banyak netizen yang sudah mengingatkan kesalahan Denny, faktanya hingga saat ini, postingan itu masih ada di laman Twitternya.
Ia menulis begini: Modal satu foto doang, ributnya se galaksi.. Padahal ini di pulau Rinca, pulau kecil dekat pulau Komodo. Disana emang ada bbrp komodo. Tapi pulau Rinca diperuntukkan utk wisata, sdgkan utk konservasi di pulau komodo. Jangan percaya ma orang2 yg percaya Sarumpaet digebukin..
Ada dua kesalahan Denny dalam mengomentari foto itu. Pertama, ia menyebut pulau Rinca yang luasnya sekitar 198 km² sebagai pulau kecil dekat pulau Komodo. Padahal jika dilihat dari peta, pulau Rinca jauh lebih besar dari Pulau Gili Lawa, Pulau Papagaran, Pulau Padar, Pulau Motang dan beberapa pulau kecil lainnya.
Itu artinya Pulau Rinca bukan pulau kecil karena masih banyak pulau yang lebih kecil darinya. Beda cerita jika Deny menyebut Pulau Rinca, adalah pulau yang lebih kecil dari pada Pulau Komodo. Secara logika, itu benar karena memang faktanya demikian.
Karena menganggap pulau Rinca sebagai pulau kecil Denny pun terjebak pada jurang kesalahan yang kedua. Ia menganggap jumlah Komodo di Pulau Rinca tidak lebih banyak dari Pulau Komodo. Bisa jadi ia hanya menyimpulkan dari namanya saja. Jadi dikira karena namanya Pulau Komodo maka dengan sendirinya populasi komodo di sana lebih banyak dari pulau lain. Padahal faktanya, jumlah komodo di Pulau Rinca lebih banyak dari pulau Komodo.
Tragisnya lagi, saking percaya dirinya, Denny Siregar mengajak netizen dalam nada sindirian untuk jangan percaya sama hoaks seperti yang dilakukan Ratna Sarumpat beberapa waktu lalu.
“Jangan percaya ma orang2 yg percaya Sarumpaet digebukin..” tulisnya.
Sesungguhnya Deny adalah orang yang tidak tahu kalau ia sendiri tidak tahu. Dalam ketidaktahuannya ia memaksa diri sebagai orang yang banyak tahu. Hasilnya, ya memang jadi sok tahu.
Sebagai influencer, kredibilitas Denny pada akhirnya runtuh seketika. Alih-alih menasehati orang untuk jangan percaya pada hoaks seperti yang dilakukan Ratna Sarumpaet, ia sendiri malah menjadi murid setia Ratna. Lalu, apa bedanya Denny Siregar dengan Ratna Sarumpaet, cs yang sering dijadikannya sebagai model hoaks di Indonesia?
Andai Denny Siregar bisa “seruput kopi” dengan komodo dan masyarakat dalam kawasan TNK, pasti ia dapat merasakan kegalauan dalam tafsiran foto yang sedang viral itu.
Seruput kopi juga berbermakna turut berempati dan solider dengan kegelisahan komodo dan masyarakat di tengah ancaman terganggunya keutuhan hidup mereka akibat gempuran investasi.
Komodo kini dijadikan sebagai komoditas jualan demi melayani hasrat kapitalis tanpa memikirkan masa depan populasinya. Bahkan demi investasi, penduduk lokal yang dalam legenda setempat adalah saudara kembar dari Komodo, terancam disingkirkan dari kawasan TNK. Tentu masih ingat jelas dalam benak publik terkait rencana relokasi penduduk lokal di TNK.
Tak hanya itu lahan di kawasan TNK sering dilanda kebakaran akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab seperti yang terjadi di Padar dan Gili Lawa. Demikianpun rusa sebagai makanan komodo banyak yang dicuri dan diburu, diambil tanduk dan kulitnya untuk dijadikan aksesoris serta bahan fesyen, sementara dagingnya dikonsumsi.
Persoalan lain adalah jumlah pulau di sekitar TNK dan pulau-pulau di wilayah Labuan Bajo sekitar 200-an pulau. Tetapi pulau-pulau di Labuan Bajo itu sudah bertuan. Di pulau Kenawa, pulau Seraya kecil dan Seraya Besar misalnya, sudah dikontrol investor asing dari Italia dan Korea Selatan. Di Pulau Seraya sudah dikuasai pebisnis hotel asal Yunani, Yannis dan Rozalin Vlatakis (ayah dan putrinya). Di dalam pulau ini mereka membuka sebuah resor dengan biaya bungalow $320 per malam.
Hal yang sama terjadi di Pulau Bidadari. Pulau itu sudah berpindah tangan ke tuan kapitalis asal Amerika Serikat, Ernes Lewandosky. Padahal dalam UU pertanahan asing tak diperbolehkan memiliki tanah kecuali hak sewa.
Di tengah gemerlapan investasi, data BPS Manggarai Barat tahun 2019 menunjukan tingkat pendidikan terhitung sangat rendah. Angka penduduk 15 tahun ke atas yang berpendidikan. Yang tidak berijazah 17.46 persen, ijazah SD/sederajat 41.88 persen, SMP 17.6 persen, SMA ke atas sebesar 23 persen.
Ini menunjukan angka SDM Mabar masih sangat rendah. Sementara pendapatan per kapita masyarakat hanya Rp 12.000.000/tahun atau Rp 1 juta per bulan.
Secara fiskal, Mabar masih bergantung 90 persen pada keuangan pemerintah pusat. Dana yang mengucur ke Labuan Bajo akhirnya hanya melingkar di antara elit bisnis saja, belum mengucur ke bawah (trickle-down). Siapa yang diuntungkan?
Problemnya lagi, Jokowi tidak pernah satu katapun bicara serius, sistematis dan terukur soal kondisi rill masyarakat Manggarai Barat.
Jokowi seharusnya mulai periksa tingkat konsumsi atau pendapatan per kapita Manggarai Barat. Jokowi juga perlu memeriksa berapa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata. Selain itu, Jokowi bisa memeriksa apakah sayur-sayuran atau konsumsi hotel berasal dari pertanian Mabar dan bagaimana pertanian di Mabar itu berkembang, sehingga menjadi penyangga pariwisata. Jangan sampai ada mata rantai yang terputus antara gemerlapan bisnis pariwisata dengan masyarakat Mabar.
Deny mungkin hanya peka pada keutuhan rezim Jokowi agar tetap langgeng sampai akhir jabatan. Sehingga apapun bentuk kritikan dilihatnya sebagai serangan untuk menjatuhkan rezim ini.
Jika Deny menelaah lebih jauh tentang persoalan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, barangkali ia tidak mengalami blunder yang memalukan seperti ini. Sebab sesungguhnya, di balik foto yang sedang viral saat ini tersimpan sebuah ironi investasi di sana. Ada fenomena gunung es yang harus dibongkar di balik gemerlapan investasi. Begitu Mas Den…