Labuan Bajo, VoxNtt.com-Semua pihak di NTT menyambut baik gagasan untuk membentuk UU tersendiri tentang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hanya yang perlu didiskusikan lebih mendalam adalah soal kekhususan dari RUU ini yang pada akhirnya dapat mengarahkan managemen pemerintahan daerah Provinsi NTT ini ke depan.
Kekhususan tersebut misalnya terkait kondisi geografis kepulauan, perbatasan dengan negara lain, kondisi sosiologis multi-etnis, dan basis ekonomi pariwisata komodo.
Demikian garis besar kesimpulan sesi terakhir kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan naskah Akademik dan RUU ttg Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diadakan Badan Keahlian DPR RI pada 6 November 2020 di Labuan Bajo.
Kegiatan FGD ini menghadirkan narasumber Anggota DPR RI, Dr. Benny K. Harman, SH, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, dan Rektor Unika Santu Paulus Ruteng, Dr. John Boylon, Pr.
Sedangkan peserta yang menjadi stakeholder dalam kegiatan ini adalah Bupati Manggarai Barat, Drs.Agustinus Ch. Dula, Pjs Bupati Manggarai, Zet Sonny Libing, Bupati Manggarai Timur, Drs. Andreas Agas, wakil ketua DPRD kab. manggarai Barat, Darius Angkur, Ketua DPRD Kab. Manggarai Timur, Heremias Dupa dan Pemerintah Kabupaten Ngada.
Namun karena kegiatan ini merupakan kegiatan awal di NTT, semua sepakat untuk perlu melakukan Seminar Nasional di Ibukota Provinsi, Kupang yang mendatangkan berbagai narasumber kompeten untuk membahas lebih lanjut gagasan ini.
Pada kesempatan tersebut, Dr. Benny K. Harman, SH yang banyak membahas perspektif hukum dari RUU yang akan dibuat ini memberikan lima (5) catatan.
Pertama, yang diperlukan sekarang sebenarnya adalah UU yang mengatur Tentang Pemerintahan Daerah Provinsi NTT. Itu yang lebih substantif dan lebih mendasar, bukan sekadar bikin UU Provinsi NTT untuk menggantikan UU yang lama. Yang diperlukan bukan menggantikan bungkus lama atau baju lama dengan bungkus baru/baju baru. Badannya dan juga jiwanya!
Kedua, UU Pemerintahan daerah provinsi NTT yang akan dibentuk harus mempertegas prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam Negara Unitaris yaitu prinsip subsidiaritas. Artinya Pemerintahan Daerah Provinsi NTT harus mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah boleh “membuat apa saja” sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dari NKRI.
Ketiga, Karena UUD 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, maka saya usulkan agar dalam hal ada rencana untuk membentuk UU Tentang Pemerintahan Daerah Provinsi NTT prinsip dasar ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat Provinsi NTT.
Keempat, sifat istimewa (keistimewaan) dan sifat khusus (kekhususan) dari pemerintahan daerah provinsi NTT bisa dilihat dalam tiga hal yakni struktur fisiknya sebagai provinsi kepulauan (lebih dari seribu pulau); struktur sosiokulturalnya sebagai provinsi dengan satuan-satuan masyarakatnya yang multi etnik dengan berbagai keragaman yang menyertainya sebagai kategori kedua; letaknya sebagai provinsi berbatasan langsung dengan Negara-negara lain.
Kelima, menjadikan daerah provinsi NTT sebagai provinsi khusus atau provinsi istimewa sejalan dengan pluralisme/kebhinekaan bangsa Indonesia sebagai suatu faktum-realitas. Model Negara Kesatuan yang kita pilih tetap mengakui keragaman dan kekhususan atau keistimewaan daerah-daerah. Menjadikan Provinsi NTT sebagai daerah yang memiliki kekhususan atau keistimewaan sejalan dengan konstitusi.
Menurut Benny, ide untuk membuat UU tentang Provinsi NTT harus dimaknai untuk membentuk UU Tentang Pemerintahan Daerah dari Provinsi yang memiliki sifat khusus atau sifat istimewa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945.
“Jangan sekadar mengganti “baju lama” dengan baju baru. Kekhususan atau keistimewaan itu diberi pendasarannya dalam UUD 1945. Kita harus mempertahan kekhususan tersebut dengan membentuk UU Tentang Pemerintahan Daerah Provinsi NTT,” ujar Ketua Fraksi Demokrat di MPR RI itu.
Sementara Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat, lebih menekankan kondisi sosiologis yang harus lebih banyak dipahami oleh perumus naskah dan RUU sehingga substansi RUU tidak berjarak dengan rakyat NTT.
“Kondisi sosiologis yang menjadi pertimbangan hukum sebuah RUU bukanlah seberapa sering bertemu dengan masyarakat tetapi bagaimana realita masyarakat NTT yang perlu dijadikan sebagai substansi UU”, tegasnya.
Penulis: Lexy A