*) Cerpen oleh Leo de Jesus Leto
Pagi itu, ketika aku sedang asyik meneguk kopi panas dan menikmati beberapa potong singkong rebus, suara Ibu tiba-tiba cengking dari dalam kamar. Ibu memintaku supaya lekas siap diri untuk pergi ke Gereja. Itulah kebiasaannya di hari Minggu dan hari raya besar keagamaan kami. Aku cuek. Tak kugubris sedikit pun permintaannya. Lengkingan suaranya makin menjadi-jadi. Begitulah watak asli Ibu. Kalau kehendaknya tidak dituruti, dia selalu naik pitam dan mengeluarkan jurus teriakan. Kutertunduk diam dan merenung. Teriakan Ibu tadi memunculkan dalam benakku dua tragedi berdarah di rumah-rumah ibadah kaum Nasrani yang pernah menjadi Headline News baik di media nasional maupun internasional.
Kuingat baik, peristiwa serangan bom bunuh diri di rumah ibadah kaum minoritas di Quetta, Pakistan, pada 2017 yang lalu. Aksi nekat tersebut meluluhlantakkan rumah ibadah di kota Quetta. Dalam waktu sekejap tubuh orang-orang yang sedang suntuk memuji Tuhan dalam rumah ibadah itu tercabik-cabik dan hancur berkeping-keping akibat hantaman serpihan bom. Menyeramkan memang.
Mereka yang beruntung dan nyawanya belum sempat dijemput oleh maut menangis histeris meminta pertolongan. Para petugas keamanan dan tim medis tiba di tempat kejadian perkara. Para korban yang masih hidup segera dievakuasi ke rumah sakit terdekat. Mereka yang bernasib malang, kepingan-kepingan jenazah mereka dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Aksi teror berdarah itu menodai negeri Malala Yousafzai, gadis cilik peraih Nobel Perdamain 2014 di mata dunia internasional.
Tragedi teror kedua terjadi kemarin. Sebuah aksi pembantaian keji baru saja terjadi di dalam Gereja Katedral Norte Dame Basilica, Nice, Perancis. Brahim Aouisssaoui, seorang pemuda Tunisia, nekat bodoh menggorok leher Vincent Loques, seorang wanita tua dan menikam berkali-kali Simone Barreto Silva yang sedang suntuk menyembah Allah.
Darah segar para korban kebengisan Brahim berceceran di atas altar dan lantai Gereja Norte Dame. Terlalu tragis dan sangat aneh lantaran Brahim menyerukan nama Tuhan dalam aksi terornya itu.
Aku tak habis pikir. Ah, mengapa nama Tuhan dilibatkan dalam teror berdarah seperti itu? Apakah Tuhan menghendaki adanya kejahatan? Mengapa seorang beragama yang selalu berbincang dengan Tuhan membenci, memusuhi dan membunuh sesamanya dengan cara yang amat kejam? Seandainya agama memprovokasi seseorang untuk melakukan tindakan teror terhadap orang lain, maka sebaiknya aku tidak mesti ke Gereja hari ini. Tidak begitu peting menuruti desakan Ibu.
Tiba-tiba Ayah muncul di kamar makan. Ia menghampiriku dan mukul bahuku. Aku terkejut. Seketika rekaman memoriku tentang dua aksi teror maut itu sirna.
“Janganlah bersikap acuh tak acuh terhadap Ibumu, Nak!” pinta Ayah.
Ia singgah ke meja makan hanya untuk menegaskan teriakan Ibu tadi bahwa aku mesti pergi ke rumah ibadah. Tak lama kemudian, Ibu juga tiba di kamar makan. Katanya, “Segera siap diri ke Gereja, sebab hari ini pastor dari pusat paroki akan memimpin misa terakhir di Gereja kita!”
Secara adat dan etis memang tidak pantas dan elok memasang punggung terhadap kata-kata orangtua. Ah, singkirkan saja memori kelam dua tragedi berdarah tadi. Kuturuti permintaan Ibu dan Ayah. Dengan muka yang masih malas-malas, aku berusaha bangkit. Kutinggalkan gelas kotor di atas meja makan, lalu bergegas ke kamar mandi. Ibu kemudian membereskan meja. Aku segera menyiapkan diri seperlunya. Lalu, mengangkat sepeda reyot milik Ayah dan mendayungnya dengan tergesa-gesa menuju ke Gereja yang sudah usang dimakan usia.
Dari kejauhan terdengar bunyi musik menggetarkan seluruh kampung. Aku tiba di dalam kompleks Gereja. Lautan manusia telah membanjiri halaman Gereja tua itu. Lantunan musik dan suara manja lagu Kaka Enda membuat roman wajah seluruh umat terlihat ceriah dan kaki-kaki umat sudah tak tenang untuk menari. Sebelum misa dimulai, Pak Kobus, Ketua Stasi mengumumkan kepada umat bahwa hari ini adalah misa terakhir dan perpisahan dengan pastor Kribo yang katanya akan diutus oleh kongregasinya melanjutkan studi ke luar negeri.
Asyik juga hidup sebagi pastor. Di mana-mana, kalau pastor mau pindah ke tempat lain selalu saja ada pesta perpisahan. Sisi buruk dari acara perpisahan dengan seorang pastor ialah bahwa acara itu akan membuat umat pusing kepala, sedih dan meneteskan air mata. Wajah ibu-ibu kelompok Legio Maria dan Orang Muda Katolik (OMK) tampak sedih mendengar pengumuman Pak Kobus. Anggota seksi konsumsi acara perpisahan terlihat super sibuk menyiapkan hidangan pesta di dapur yang berdempetan dengan aula kapela.
Tak lama kemudian Pastor Kribo tiba dengan sepeda motor Honda Asrtea keluaran tempoe doloe. Segera sesudah menyapa umat dan berkoordinasi dengan Pak Kobus, Pastor Kribo mengajak seluruh umat untuk masuk ke dalam Gereja supaya memulai perayaan misa. Ia kelihatan terburu-buru dikejam oleh waktu yang sangat mepet. Barangkali Pastor Kribo akan mengadakan perpisahan berikutnya di Gereja stasi lain.
Aroma masakan daging soto kambing dan RW menembus masuk ke dalam Gereja. Konsentrasi dan keseriusan umat mulai terganggu dengan aroma tersebut. Pastor Kribo berusaha menenangkan suasana yang sedikit riuh. Lalu, ia kembali tancap gas membacakan homilinya yang mengandung banyak bumbu lawak sehingga membuat umat tertawa terbahak-bahak.
Di pertengahan homilinya, Pastor Kribo menyentil tragedi berdarah di Gereja Katedral Norte Dame, Nice. Dengan nada tinggi berkali-kali, Pastor Kribo mengutuk aksi biadab pemuda Tunisia dalam Gereja Norte Dame. Umat di samping kiri dan kananku turut mengutuk aksi Brahim.
“Perbuatan setan dan biadab itu,” ujar seorang Bapak di sampingku. Pastor Kribo sungguh seorang tokoh agama yang gigih membela keadilan, kebenaran dan martabat manusia yang diinjak-injak dan dihancurkan dengan cara yang kejam oleh bajingan-bajingan yang tak bermoral dan tak berperikemanusiaan.
Sentilan homili Pastor Kribo tentang tragedi berdarah di Gereja Norde Dame kembali mengusik pikiran dan nuraniku. Fantasiku kembali ke dalam dua peristiwa keji seperti di meja makan tadi pagi. Ah, dua tragedi berdarah tersebut tentu saja telah menghianati prinsip kemanusiaan. Terlalu biadab cara Brahim dan para teroris lainnya menghabisi nyawa orang lain.
Aku tidak lagi berkonsentrasi dengan ritual misa yang sedang berlangsung. Pikiran dan batinku kacau dibayangi oleh peristiwa pelik itu. Gugatan dan pemberontakan batinku mulai bergelora dan meledak. Pelbagai pertanyaan silih berganti muncul di kepalaku.
Mengapa seorang beragama yang mengklaim diri dekat dengan Tuhan dan biasa berkomunikasi dengan Allah menaruh dendam kesumat kepada sesamanya, lalu dengan enteng membunuh mereka yang tidak seiman dengan cara yang sangat brutal? Apakah Tuhan mengajarkan kepada manusia jalan untuk saling membantai? Jika Ia mengajarkannya, maka Ia adalah aktor dibalik seluruh kejahatan yang pernah terjadi di dunia. Tetapi, bukankah Tuhan itu adalah sumber kasih, kebaikan dan keadilan seperti yang selalu aku dengar di dalam homili-homili para Pastor dan tokoh agama lainnya? Bukankah Ia selalu mengajarkan kepada manusia supaya mereka saling mengasihi, bertindak adil, jujur, saling membantu dan menghargai satu sama lain?
Tak terasa misa hampir usai. Pak Kobus naik ke mimbar, lalu menyampaikan sebuah pengumuman pendek bahwa sesudah misa akan dilanjutkan acara temu pisah dengan Pastor Kribo. Seluruh umat diundang tanpa terkecuali. Tepuk tangan umat meledak seketika mendengar isi pengumuman tersebut. Segera sesudah misa, seluruh umat berbondong-bondong ke aula. Pak Kobus mengundang pula para tokoh agama lainnya. Hadir dalam acara temu pisah itu Pak Pendeta dan Pak Haji. Sementara acara temu pisah berlangsung, Pastor Kribo, Pak Haji dan Pak Pendeta berdiskusi tentang tragedi di Gereja Katedral Norte Dame. Ketiga tokoh tersebut mengutuk keras tindakan tak manusiawi Brahim.
Tak lama kemudian, Pastor Kribo memanggilku. Aku menghampirinya dan kucium tangannya yang terurapi itu. Ia berbisik kepadaku untuk mengambil ramuan spesial di dalam tasnya. Kuambil, lalu kuserahkan ramuan itu kepadanya. Ia mencapurkannya ke dalam arak kampung bernama MB. “Daging soto kambing dan RW akan jauh lebih enak, jika ditolak dengan BM”, jelasnya kepada Pak Haji dan Pendeta. Mereka tertawa sipu. Lalu, ia menyodorkan segelas arak BM kepadaku. Kuterima dan kuhabisi arak BM itu satu kali teguk. Lima menit kemudian BM mulai mempermainkanku dari dalam.
Tiba-tiba, wajah Pastor Kribo, Pak Pendeta dan Pak Haji dalam pandanganku tampak sangat banyak wajah. Apakah ini yang dimaksud dengan mabuk? Sifatku yang pemalu dan biasanya segan terhadap Pastor Kribo lari menghilang entah ke mana. Aku yang tadinya hanya diam mendengan diskusi mereka, mulai berani berbicara. Bahkan jauh lebih banyak dan lebih panjang dari mereka. Dengan berani kutanyakan kepada Pastor Kribo tentang akar masalah dari aksi brutal yang dilakukan oleh para teroris sembari menyerukan nama Allah seperti yang dilakukan oleh Brahim di Gereja Norte Dame.
Jawabnya, “Para pelaku teror adalah orang-orang yang keliru dalam menafsir ajaran agamanya. Kekeliruan semacam itu bisa menumbuhkan bibit kebencian, permusuhan dan melihat oran g lain yang berada keyakinan dengan mereka sebagai musuh dan iblis yang mesti disingkirkan dan dibunuh.”
“Apa alasan substansial sampai mereka bertindak brutal terhadap orang yang berbeda keyakinan dengan mereka?” tanyaku dengan serius.
Belum sempat menjawab pertanyaanku, Pak Kobus mengundang Pastor Kribo ke podium untuk menyampaikan pesan dan kesan terakhirnya kepada umat. Ia maju dan mulai menyampaikan isi hatinya. Suaranya tiba-tiba serak-serak basah. Seluruh umat hening seketika. Sebagian besar mengeluarkan sapu tangan dan tisu untuk mengeringkan linangan air mata yang telah membasahi pipi mereka.
Pastor Kribo berusaha untuk teguh dan tidak menjatuhkan air matanya. Barangkali ia malu dan takut akan diejek sama teman-temannya, jika ketahuan. Seperti biasa, kata-katanya selalu membuat para pendengar tertawa meledak. Sesudah menyampaikan sambutan perpisahannya, ia kembali ke tempat duduknya. Segera sesudah duduk, Pastor Kribo berpaling kepadaku dan menjelaskan tentang akar dari kekerasan yang dilakukan oleh para teroris.
Katanya, “Tindakan kekerasan yang menyeret nama Tuhan seperti yang tampak dalam aksi teror sebagaimana yang baru saja terjadi di dalam Gereja Katedral Norte Dame sebenarnya lahir dari pikiran dan sanubari yang telah tercemar oleh racun fanatisme yang sempit, kebencian, amarah dan egoisme. Sebenarnya tidak ada soal orang berbeda agama atau keyakinan, sebab agama adalah cara atau jalan yang dipilih oleh setiap orang untuk kembali kepada Tuhan. Adalah lucu dan keliru, jika orang-orang beragama saling membenci, memusuhi dan membunuh. Padahal Tuhan tidak pernah mengajarkan kepada manusia untuk saling membenci, memusuhi apalagi membunuh. Tuhan tidak pernah mendirikan agama, dan Ia tidak pernah menganut agama apapun. Tetapi, itu bukan berarti Tuhan itu sama seperti kaum ateis. Tidak! Tuhan adalah Tuhan. Tidak ada Tuhan yang lain selain Tuhan itu sendiri. Tuhan itu sumber kasih, kebaikan dan keadilan. Dia adalah Bapak serentak Ibu bagi semua umat manusia yang berbeda agama maupun yang tidak menganut agama. Agama-agama yang mengajarkan kasih, kebaikan, keadilan, kedamaian, kejujuran, kesetaraan, saling menolong, menghormati dan memahami adalah agama-agama yang bersumber pada Tuhan.”
“Aku sangat sepakat dengan penjelasan Pastor. Para teroris yang menyerukan nama Tuhan dalam setiap aksi kejahatannya adalah orang-orang yang hendak memaksa Tuhan untuk terlibat dalam kasus kejahatan dan itu adalah sebuah keliruan absolut dalam memahami ajaran Tuhan,” jelas Pak Pendeta.
“Aku sangat setuju dengan Pak Pendeta dan Pastor. Mari, kita saling menghargai perbedaan dan menjaga persaudaraan di antara kita,” pinta Pak Haji.
Tak lama kemudian, Pak Kobus mengundang Pastor Kribo, Pak Haji dan Pak Pendeta untuk mengambil foto kenangan, lalu disambung dengan acara menari bersama. Ledakan musik langsung menggetarkan ruangan aula. Seluruh umat bersama ketiga tokoh agama bergandengan tangan menari-nari. Mereka larut dalam susana persaudaraan dan kegembiraan di acara perpisahan Pastor Kribo.***
Daftar Kata
RW: rintek wu’uk adalah masakan daging anjing (Bahasa Minahasa)
BM: bakar menyala
Cerpen ini pernah dimuat di SesawiNet (Portal Berita Katolik Indonesia) dengan judul “Ternyata Tuhan Tidak Menganut Agama.” Namun, dalam edisi kali ini judulnya diubah total sedangkan isinya sedikit mengalami perubahan.
*Leo de Jesus Leto, Alumnus STFK Ledalero, Tinggal di wilayah kaum Indian Quepe, Chile