Editorial, Vox NTT-Pembangunan patung Jokowi bisa dibaca sebagai penghargaan prematur atas ketertinggalan dan ketakberdayaan kondisi ekonomi masyarakat Timor Tengah Selatan (TTS).
Patung setinggi tiga meter itu sudah mulai didirikan di Desa Sunu, Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Proyek tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. Ada yang mendukung dengan alasan “balas jasa” terhadap Jokowi, sebagian menolak karena pembangunan tersebut cacat kajian sosio-antropologis.
Pada wilayah Amanatun, terdapat empat Fetor/Noe yakni Noe’ Bone, Noe’ Bana, Noe’ Manumutin, dan Noe’ Bokong. Empat Kefetoran ini memiliki motif kain adatnya masing-masing. Pada 17 Agustus lalu, motif kain adat yang digunakan Jokowi adalah motif fetor Noe’ Bone. Sementara patung tersebut dibangun di wilayah Noe’ Bana. Kenyataan ini membuat pembangunan patung Jokowi dinilai meniadakan aspek kebudayaan orang-orang Amanatun.
Terlepas dari pro-kontra soal aspek budaya, pembangunan patung Jokowi juga menuai soal terutama jika melihat realitas keterbelakangan TTS. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten TTS mengungkapkan, persentase penduduk miskin Maret 2020 naik menjadi 20,90 persen. Nilai Tukar Petani (NTP) menurun dalam kurun waktu 4 bulan terakhir. Pada bulan Juni 2020 NTP sebesar 96,19 dan pada bulan September 2020 turun menjadi 95,66.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten TTS tahun 2019 juga masih tertinggal yakni mencapai 65,23. Angka ini jauh di bawah IPM Nasional yang mencapai 71.92.
Data-data di atas mengafirmasi pernyataan Bambang Brodjonegoro pada tahun 2016 (wawancara oleh okezone.com) bahwa masalah utama pembangunan di Indonesia adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Idealnya, pembangunan sebisa mungkin diselaraskan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, wilayah TTS sebelumnya dihebohkan dengan aneka persoalan seperti kasus Besipae yang kini masih menyisakan persoalan.
Hal ini membuat masyarakat mengira-ngira bahwa jangan sampai pembangunan patung Jokowi adalah pengalihan isu, peredam bom problematika yang terjadi di daerah TTS.
Di lain matra, obsesi sebagian besar masyarakat TTS untuk membangun patung Jokowi tidak bertolak dari alasan yang rasional. Masakan hanya karena menggunakan aksesoris pakaian adat motif dari daerah TTS, masyarakat TTS dengan cepat menilai bahwa hal tersebut adalah simbol kedekatan dengan presiden. Lagi pula, apa yang perlu diapresiasi jika memang kondisi TTS selama pemerintahan Jokowi tidak banyak berubah?
Jika pembangunan patung Jokowi sebagai simbol kedekatan dengan masyarakat TTS, data-data di atas membuktikan bahwa keberpihakan Jokowi malah semakin jauh dari masyarakat TTS.
Andai patung Jokowi berdiri, secara simbolis presiden sedang menyaksikan penderitaan dan ketakberdayaan masyarakat TTS dari atas bukit Sunu. Sebagai karya seni, patung tersebut bisa saja ditafsir sebagai petanda bisunya Jokowi di tengah keterbelakangan yang dialami masyarakat TTS.
Penulis: Dunstan Obe