Oleh: Eren Holivil Nampar
(Mahasiswa Pascaserjana Fisipol-UGM)
Di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini, beberapa daerah di Indonesia tetap menggelarkan aktivitas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada serentak 2020 ini akan dilaksanakan di 270 wilayah, yang terdiri dari 9 Propinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Sebagaimana keputusan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemandgri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP), bahwa Pilkada serentak 2020 akan tetap berlangsung pada 9 Desember mendatang. Yang terpenting para penyelenggara Pilkada dan masyarakat pemilih (voters) tetap mengikuti aturan protokol kesehatan dalam seluruh tahapan pelaksanaan Pilkada.
Tentu euforia demokrasi ini bukan kejutan dan barang baru lagi di Negeri ini. Demokrasi elektoral kita menutut ada sirkulasi elite setiap lima tahun. Namun, ada satu hal yang perlu dicemaskan, bahwa penyelenggaran pemilu ditengah Pandemi berpontensi terjadi penyelewengan.
Salah satu yang cukup sensitif dan krusial adalah potensi meningkatnya praktik Money Politics atau politik uang. Bahwasannya, krisis ekonomi akibat Covid-19 saat ini menjadi momentum para kanditat untuk mempraktikan Money Politics. Pandemi Covid-19 tidak lagi dilihat sebagai situasi emergency, tetapi malah diperalat para kandidat demi melayani kepentingan politik semata. Hati-hati, Pilkada di tengah Pandemi saat ini bisa menjadi jebakan adanya pandemi baru, yakni politik uang.
Virus “Money Politics”
Meskipun money politics ini bukan barang baru dalam politik kita di Indonesia, barangkali sebagai bentuk pendidikan politik, penting untuk dieksplore kembali konsep dan modus money politics. Kira-kira ada dua alasan mendasar yang bisa dijelaskan; Pertama, maraknya praktik money politics itu bisa saja terjadi karena voters mengalami situasi disinformasi, situasi dimana Voters sama sekali tidak mengetahui dan memahami money politics itu sendiri. Kedua, sebagian voters mengetahui dan menyadari dirinya terjebak dalam prakti money politics, tetapi dibuat seolah-olah tidak paham. Persis pada alasan kedua ini, sebetulnya bukan masyarakat pemilih yang salah, tetapi para kandidat sendiri yang gagal menjadi political educator.
Kalau didefenisikan secara sederhana, money politics merupakan praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Atau dengan kata lain, money politics merupakan tindakan membagi-bagi uang kapada voters, baik berupa uang pribadi maupun uang kelompok/partai. Motif pemberian uang ini bukan lagi soal bela rasa dan kemanusiaan dari kandidat kepada pemilih, tetapi lebih pada kepentingan meraup suara pemlih (bersifat politis).
Dalam praktiknya, Money Politics atau politik uang in beroperasi pada dua ranah. Pertama, di tingkat elite, seperti calon presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati atau wali kota yang maju dalam proses pemilihan. Setiap calon/kandidat harus merogoh kantongnya lebih dalam, baik untuk sewa “perahu” partai, kampanye, konsultan hingga beperkara ke Mahkamah Konstitusi.
Kedua, politik uang di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih (Burhanuddin Muhtadi, 2013). Operasi dua arah ini yang menyebakan Pilkada kita di Indonesia banyak merekrut dan menampung para kandidat yang kaya (oligarki). Ketika rekam jejak dan kompetensi tidak lagi diperhitungkan, uang menjadi taruhan unggulan. Proses inilah yang saya sebut sebagai politik padat modal.
Betapa tidak, cost politik kita di Indonesia terlalu tinggi. Memang dari seluruh literatur yang ada, saya belum menemukan satu pun penelitian yang rigid dan paling bisa diuji kesahihannya terkait cost atau ongkos politik yang dikeluarkan para kontestan. Tetapi dari pengalaman empirik, ongkos politik pada caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten hampir mencapai 300 sampai 400-an juta. Caleg DPR RI dan calon Bupati, ongkos politiknya bisa mencapi miliaran rupiah. Artinya, kalau dihitung gaji pokok 60 juta, ples uang reses, maka uang itu tidak bisa dikembalikan selama lima tahun. Proses inilah yang menyebakan adanya korupsi; ada politik dagang pengaruh untuk mengambilkan cost politik, sambil menampung untuk kontestasi berikutnya.
Sampai di sini, saya coba mengkonstruksi ulang akar masalah atau penyebab adanya politik uang ini. Pada level prosedural, saya melihat ada yang salah dalam mekanisme pemilu kita di Indonesia. Kalau kita cermat dengan baik perdebatan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memilih “mekanisme Proposional terbuka” sebetulnya secara sadar membuka peluang adanya praktik politik uang.
Dalam proporsional terbuka, relasi yang terbentuk adalah kandidat/kontestan dengan pemilih secara langsung. Sementara dalam proporsioal tertutup, relasi yang terbentuk adalah pemilih dengan partai. Yang terjadi kemudian bukan hanya soal membagi uang kepada voters, tetapi politik dagang sapi juga terjadi antara kandidat dengan partai. Jadi sudah sejak awal, mekanisme proporsional terbuka ini menciptakan praktik money politics.
Beralih pada level prosedural, problem substantif money politics ini juga disebabkan adanya faktum normalisasi dalam masyarakat. Dalam artian, praktik politik uang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Politik uang dilihat sebagai demokrasi musiman selama lima tahun, meskipun mereka sendiri memahami bahwa politik uang merupakan kerjahatan pemilu, election crime. Para caleg/kandidatlah yang menjadi pemicu sekaligus memperkenalkan politik uang demi meraup keuntungan suara dari voters.
Ada dua modus politik uang yang diperkenalkan oleh para caleg atau kandidat; pertama, melaui modus konfensional. Pada tahap ini, kandidat melakukan mekanisme door to door untuk memberi uang kepada pemilih. Proses ini biasanya dilakukan H-3 sebelum hari pencoblosan. Disinilah kita kenal istilah serangan wajar. Sebab di waktu last minute, para kandidat memahami bahwa yang dingat pemilih adalah memori pemberi terakhir.
Kedua, modus agensy lost. Modus ini menggunkan hukum probabilitas atau kemungkinan adanya voters yang tidak memilih, meskipun dirinya sudah diberikan uang oleh caleg/kandidat. Atau sederhananya, seorang kandidat membagikan uang kepada voters melebih jumlah yang ditargetkan untuk menjaga kemungkinan para voters yang tidak memilihnya. Tentu ada modus-modus lain, tetapi dua modus ini yang paling sering dihadapkan pada publik.
Politik uang pada akhirnya merupakan penyakit dalam tatanan demokrasi kita. Sebab, melalui politik uang, demos atau rakyat digiring untuk memilih pemimpin daerahnya secara pragmatis. Memilih pemimpin bukan lagi berdasakan rekam jejak, visi-misi, dan integritas moralnya, melainkan karena hak suaranya dibeli. Akibat sikap prgamatisme tersebut yang menyebabkan masyarakat tidak bisa menilai kandidat secara obyektif.
Edukasi Politik
Politik uang bukan rujukan demokrasi kita. Itulah sebabnya harus dicegah untuk menjaga peradaban politik kita. Banyak upaya yang dilakukan untuk mencegah politik uang, tetapi salah satu yang bisa saya tawarkan adalah penguatan pendidikan politik.
Edukasi politik dimaksudkan supaya di satu sisi masyarakat memahami konsep dan modus-modus politik uang, tetapi di sisi yang lain masyarakat juga memahami dampak politik uang bagi tatanan demokrasi. Termasuk pemahaman terkait dampak politik uang bagi kualitas seorang pemimpin. Sebab akan beda kualitasnya, pemimpin dipilih karena uang, dengan pemimpin dipilih karena rekam jejak, visi-misi, dan integiras moralnya.
Pendidikan politik ini tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu, seperti KPU, Bawaslu dan DKPP, atau lembaga non pemerintah, tetapi masyarakat juga diberi tanggungjawab yang sama. Masyarakat memiliki hak konstitusional untuk mencegah politik uang. Dalam artian bahwa, jika ditemukan adanya traksaksi jual-beli suara di dapil, masyarakat wajib melaporkannya kepada pihak penyelenggara pemilu. Partisipasi politik seperti ini selain upaya menghindari praktik politik uang, pada saat yang sama pula tercipta budaya politik yang beradab dan berintegritas.
Selamat mengikuti Pilkada. Tolak Politik uang untuk menjaga peradaban bangsa kita.