Jakarta, Vox NTT- Aliansi Peduli NTT mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk menghentikan upaya kapitalisasi dan privatisasi wilayah Taman Nasional Komodo (TNK) dan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Desakan itu disampaikan Aliansi Peduli NTT dalam aksi demonstrasi di Depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (26/11/2020).
Koordinator Aliansi Peduli NTT Yohanes Gore Jemu Ari dalam rilis yang diperoleh VoxNtt.com menjelaskan, penetapan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas dengan bertumpu pada bisnis pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) oleh Pemerintah Republik Indonesia telah menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya.
Menurut Yohanes, kawasan TNK telah lama diincar oleh para investor besar, korporasi nasional dan trans-nasional. Upaya oknum-oknum tertentu untuk menguasai kawasan Taman Nasional Komodo telah lama dijalankan.
Dengan jargon percepatan pembangunan dan investasi, kawasan TNK yang seharusnya menjadi wilayah konservasi bagi satwa purba Varanus Komodoensis, kini menjadi lahan penanaman modal.
Upaya untuk mengkapitalisasi dan memprivatisasi wilayah TNK telah dimulai pada kurun waktu 2003-2011.
Ia menyebut, pengelolanya adalah PT Putri Naga Komodo (PNK) yang beroperasi atas izin Kemenhut bernomor 195/Menhut II/2004.
PT PNK ini merupakan joint-venture antara PT Jayatsa Putrindo dan The Nature Conservancy.
“PNK bubar tanpa pertanggungjawaban yang jelas pada tahun 2011,” tulis Yohanes.
Pada tahun 2010 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Menurut Yohanes, kedua produk regulasi ini menawarkan model investasi baru bagi pihak swasta melalui Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).
Untuk konteks TNK, segera setelah dua aturan ini diterbitkan pada tahun 2010, tercatat ada tujuh perusahaan yang mengajukan IPPA.
Ada dua perusahaan dari tujuh perusahaan tersebut mendapatkan izin yaitu: PT Komodo Wildlife Ecotourism dengan SK Kemenhut Nomor 796/Menhut/II/2013, tanggal 9 September 2013 (Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo) dan PT Segara Komodo Lestari dengan SK Kemenhut nomor 5.557/Menhut/II/2013 tanggal 9 September 2013 (Loh Buaya di Pulau Rinca).
Kedua perusahaan ini adalah milik David Makes yang juga adalah Ketua Percepatan Pembangunan Kawasan Taman Nasional Komodo.
Pada tahun 2014, lanjut dia, PT Komodo Wildlife Ecotourism mendapatkan IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada bulan September 2014 seluas 426,07 Ha yang terdiri atas: 274,13 Ha di Pulau Padar (19,6 % dari luas Pulau Padar), 151,94 Ha di Pulau Komodo (0,5 % dari luas Pulau Komodo). Sarana dan prasarana yang dapat dibangun seluas 42,6 Ha.
Pada tahun tahun 2015, PT Segara Komodo Lestari mendapat IUPSWA di Pulau Rinca seluas 22,1 Ha (0,1% dari luas Pulau Rinca) dan izin untuk membangun Sarana dan prasarana maksimal 10% dari luas izin yang diberikan yaitu 2,21 Ha.
Selain dua perusahan ini ada juga PT Synergi Niagatama yang juga mendapatkan izin usaha dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan PT Flobamora yang sedang mengurus perizinan untuk dapat berinvestasi di kawasan Taman Nasional Komodo.
Yohanes menegaskan, pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) oleh Menteri Lingkungan dan Kehutanan mengabaikan prinsip-prinsip konservasi yang tertuang dalam UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Surat Keputusan Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi alam nomor SK.21/IV-SET/2012, yang menyebut zona inti kawasan Taman Nasional Komodo harus dilindungi dari segala bentuk investasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terkesan menutup-nutupi informasi terkait perihal izin yang telah diberikan kepada perusahaan-perusahan tersebut. Pemetaan lahan yang dikelola oleh perusahaan itu. Seberapa besar total keseluruhan luas tanah yang diberikan pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Dengan kata lain, kata dia, KLHK menutup-nutupi pengkaplingan tanah yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan tersebut.
Aliansi Peduli NTT juga menduga adanya praktik “mafia perizinan” yang dilakukan oleh Menteri dan jajarannya di KLHK.
Ada indikasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup mengotak-atik peraturan untuk melegitimasi invasi investasi yang dilakukan di Taman Nasional Komodo.
Sebagai contoh, kata Yohanes, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan mengeluarkan Permen LHK nomor p.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sebagai revisi atas Permen LHK nomor p.48/Menhut-II/2010, tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Berbagai kelompok pro-konservasi dan komunitas juga menolak invasi perusahaan ke dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Alasan utamanya adalah perusahaan tersebut mengganggu habitat alami Komodo yang khusus serta eksistensi penduduk Pulau Komodo.
Ia menjelaskan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar, menghentikan sementara pembangunan sarana dan prasarana bisnis oleh kedua perusahaan ini tanpa mencabut IPPA.
“Penolakan tersebut kian menguat tatkala, demi kepentingan investasi di Kawasan Taman Nasional Komodo, masyarakat lokal di kawasan Taman Nasional Komodo yang telah lama bermukim di kawasan Taman Nasional Komodo yang memiliki sejarah, kultur dan budaya, hak atas tanah dan ruang hidup, di Kawasan TNK nyaris dipindahkan atau direlokasi,” tulis Yohanes.
Rencana relokasi warga Desa Komodo di Pulau Komodo, kurang lebih 2.000 jiwa atau sekitar 500 KK, sebagai bagian dari Program Pulau Komodo sebagai Kawasan Wisata Safari Super-eksklusif.
“Sepertinya hal ini tertunda, namun Aliansi Peduli NTT memprediksi akan ada hal-hal yang dilakukan untuk menggusur warga Desa Komodo secara halus agar meninggalkan Pulau Komodo,” sebut Yohanes.
Selain hal ini, pada tahun 2020, ada rencana Pembangunan Kota Baru di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Golo Mori, sebelah timur Taman Nasional Komodo.
Yohanes menduga, demi kelancaran investasi modal di kawasan Taman Nasional Komodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang memeroses alih fungsi dua pulau yaitu Pulau Muang dan Pulau Bero untuk keluar dari kawasan Taman Nasional Komodo.
Banyak tindakan dan kebijakan KLHK yang cenderung mementingkan investasi dibanding konservasi.
Berkaitan dengan hal ini, rencana pembangunan sarana dan prasarana “geopark” di Loh Liang, Pulau Rinca dengan anggaran sekitar 69,19 miliar rupiah terdiri atas gedung-gedung dan konstruksi beton yang dinilai tidak selaras prinsip konservasi.
Ada juga pengeboran sumur dalam yang berpotensi merebut sumber air satwa dan merusak vegetasi bentang alam asli Pulau Rinca. Pulau Rinca yang juga menjadi bagian dari Taman Nasional Komodo akan diarahkan sebagai destinasi wisata massif.
Dikatakan, pemerintah bakal membangun sejumlah fasilitas di lokasi ini seperti elevated deck, pusat informasi hingga kafetaria. Sedangkan di Pulau Komodo sebagai bagian dari Taman Nasional akan dipoles menjadi destinasi super-premium berkonsep terbatas.
Wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Komodo kelak akan dipatok tarif sebesar US $ 1.000.
“Kunjungan pun harus menggunakan kartu keanggotaan. Di kemudian hari, apakah kita dapat berkunjung ke Pulau Komodo dengan tarif seperti ini?”
Oleh Karena itu, 13 organisasi masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Peduli NTT menyatakan sikap:
Pertama, hentikan kapitalisasi dan privatisasi di wilayah Taman Nasional Komodo dan di Labuan Bajo
Kedua, cabut izin investasi yang telah diberikan kepada PT Segara Komodo Lestari, PT Synergindo Niagatama dan PT Komodo Wildlife Ecotourism.
Ketiga, tolak pemberian izin investasi kepada PT Flobamora di Taman Nasional Komodo
Keempat, copot Siti Nurbaya Bakar dari jabatannya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kelima, copot Wiratno dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keenam, buka akses untuk masyarakat lokal di Kawasan Taman Nasional Komodo agar masyarakat dapat kembali beraktivitas secara normal
Ketujuh, hentikan semua cara-cara penggusuran secara halus kepada masyarakat lokal di kawasan Taman Nasional Komodo.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba