Oleh: Eren Holivil Nampar
Alumnus STFK-Ledalero, Mahasiswa Pascasarjana UGM
Kontestasi Pilkada kita kerapkali dihadapkan dengan maraknya fenomena cukong politik. Hampir setiap kandidat yang berkontestasi tidak bisa melepaskan diri dari kehadiran para cukong politik. Apalagi dengan cost atau ongkos politik yang melampaui kemampuan kandidat, tentu bantuan modal dari para cukong politik sangat dibutuhkan.
Persoalannya, keberadaan cukong ini tidak semata-semata membantu kekurangan modal finansial seorang kandidat, tetapi justru dibaluti kepentingan politik dan ekonomi. Ada semacam kontrak dan bisnis politik antara keduanya untuk mencapai kepentingan pribadi. Seorang kandidiat berkepentingan memenangkan Pilkada, sementara cukong politik berkepentingan bisnis-ekonomi.
Kuatnya peran dan pengaruh para cukong dalam Pilkada, jelas membuat Pilkada kita disulap menjadi tempat transaksi kepentingan politik dan ekonomi. Dan bagi saya, motif kepentingan seperti ini membuat kehadiran para cukong hanyalah upaya mendelegitimasi demokrasi. Rakyat akan didepak keluar dari agenda pembangunan, dan pada yang sama para cukong menikmati kepentingan dan kemewahan ekonominya.
Relasi Simbiosis Mutualisme
Dalam Pilkada, antara kandidat dengan cukong memiliki relasi simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan. Ibaratnya seperti dua mata uang yang sukar dipisahkan. Kandidat di satu sisi membutuhkan sokongan dana dari cukong demi memuluskan strategi kemenangan. Sementara di sisi lain, jika kandidat yang diusung memenangkan pilkada, cukong berkepentingan agar kandidat mengamankan kepentingan ekonominya. Beralasan kalau kita jarang menemukan kepala daerah yang tidak tersandera kepentingan dan agenda cukong.
Sponsor/cukong dibutuhkan oleh kandidat dalam Pilkada untuk mengongkosi biaya politik. Sebab bukan cerita biasa lagi, ongkos politik kita di Indonesia tertalu tinggi (higt cost politic), melampaui kemampuan si kandidat. Seorang caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten misalnya, cost politik yang dikeluarkan bisa mencapai 300 sampai 400-an juta. Demikian pun Caleg DPR-RI, Calon Bupati, dan Calon Gubernur, cost atau ongkos politiknya bisa mencapai angka Miliaran rupiah.
Bukan lagi rahasia umum, ongkos politik seorang kandidat tidak hanya dibutuhkan pada saat sosialisasi, survei, kegiatan kampanye, tetapi juga ketika seorang kandidat membeli dukungan partai politik, atau biasa kita kenal sdengan ‘mahar politik’. Belum lagi ada kebutuhan ongkos politik lainnya, seperti membayar tim sukses, relawan, konsultan politik, membayar saksi dalam proses pemilihan, serta ongkos penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pilkada. Proses yang panjang dan ribet seperti ini membuat ongos politik terlampau tinggi.
Ketika ongkos politik kita terlampau tinggi, kehadiran sponsor atau cukong politik bagi seorang kandidat adalah sesuatu kebutuhan mutlak. Dalam catatan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), sekitar 82% calon kepala daerah didanai oleh sponsor atau disokong cukong politik. Dan hampir setiap tahun, besaran dana sponsor selalu meningkat. KPK mencatat pada tahun 2015, besaran dana sponsor untuk seorang kandidat mencapai angka sekitar 70%. Dan pada tahun 2017 dan 2018, angkanya naik mencapai 82%. Artinya, keberadaan cukung politik tidak pernah lepas dalam kontestasi Pilkada daerah.
Namun risikonya, jika kandidat yang didukung memenangkan pilkada, maka kepentingan ekonomi sponsong/cukong pasca-Pilkada harus dilayani sepenuhnya. Mulai dari kemudahan prizinan dalam berbisnis, kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis, hingga kemudahan akses untuk menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD. Kepentingan-kepentingan ini dilihat semacam kontrak atau bisnis politik antara kandidat dengan cukong politik. Ibaratnya, tidak ada makan siang yang gratis (no free lunch) dalam politik.
Kalau dilihat secara normatif, seorang kandidat memang tidak dilarang untuk menerima bantuan dan sumbangan dari pihak manapun, baik dari pihak swasta, perseorangan, maupun dari kandidat sendiri. Sponsor/Cukong sekalipun, boleh berkontribusi dalam pendanaan kandidat asal sesuai dengan regulasi dan memenuhi asas transparansi. Namun faktanya, meskipun ada pengetatan regulasi, masih terlalu banyak kandidat dan cukong politik melanggar regulasi yang diatur dalam mekanisme dan teknis pendanaan calon. Terlalu biasa bermain di ruang gelap, banyak dana yang tidak terdeteksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan penegak hukum. Akibatnya sulit untuk memvalidasi objektivitas nominal dana calon/kandidat.
Keberadaan para cukong dalam Pilkada terlihat seperti apa yang disebut oleh Adam Smith sebagai the invisible hand, tangan tak terlihat. Mereka berada dibalik aksi borong partai untuk mendukung calon tunggal. Dan ketika calon yang didikung menang, si cukong memerankan diri sebagai pemerintah bayangan yang mengatur kebijakan penetapan tender. Akibatnya peran pemerintah diminimalisuir, dan ada kecendrungan si cukong memonopoli kebijakan pemerintah.
Solusi Alternatif
Bagaimanapun, kehadiran cukong politik dalam Pilkada berbahaya bagi peradaban demokrasi kita. Intervensi para cukong terhadap kebijakan pemerintah daerah, tentunya membuat kebijakan-kebijakan kita sangat koruptif. Konsekwensinya, kebijakan pembangunan daerah lebih melayani kepentingan pemilik modal atau cokong, ketimbangan kepentingan masyarakat luas.
Padahal Korupsi kebijakan, seperti kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, jauh lebih berbahaya ketimbang korupsi uang. Korupsi uang bisa dihitung, sementara korupsi kebijakan susah dihitung namun memiliki daya rusak yang besar.
Untuk mencegah sekaligus keluar dari fenomena seperti ini, reformasi tata kelola pembiayaan atau cost politik sangat diperlukan. Mesti ada penguatan regulasi sebagi akibat lemahnya mekanisme aturan dalam upaya mengeliminir potensi politik berbiaya tinggi. Jika belum ada reform terkait pembiayaan politik, maka Pilkada kita akan selalu dibajak oleh para cukong.
Selain pengetatan regulasi, peran partai politik sebagai agregasi kepentingan publik juga mesti ditonjolkan. Partai sebisa mungkin mengcounter kandidat yang dicalonkan bukan berdasarkan modal, melainkan lebih pada persoalan rekam jejak, kemampuan atau kapabilitas, dan memiliki jiwa visioner. Hal ini penting supaya peran para cukong dalam proses elektoral diminimalisir dan dilenyapkan, sehingga proses demokrasi kita betul-betul dihasilkan dengan cara-cara yang beradab. “Pastikan Cukong Politik tidak merajalela demi menjaga keutuhan dan peradaban demokrasi kita”