Kupang, VoxNtt.com-Pembangunan pertanian sejak kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur, Victor-Jos, haruslah berperspektif ekosistem berkelanjutan agar makna inti sustainable development goals digalang semua pihak di sini dan kini.
Demikian sari pati Seminar Nasional Pertanian VII, yang digelar Fakultas Pertanian Lahan Kering di Aula Rektor Undana Lantai III, Kamis (26/11/2020). Tema pokok seminar adalah Pola Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan.
Seminar yang diikuti 500 para cerdik cendekia melalui saluran webinar itu dimoderatori Dekan Fakultas Pertanian Undana, Dr. Dami Adar.
Seminar diikuti para mahasiswa dan dosen pertanian di beberapa Universitas di Indonesia. Dua pembicara kunci pada seminar tersebut, masing-masing Gubernur NTT, Victor Bungtilu Lasikodat dan Rektor Undana, Prof. Frederick Benu, MSi, PhD.
Menurut Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat, tidak mungkin membangun pertanian di NTT tanpa ekosistem berkelanjutan yang inklusif. Pembangunan pertanian berkelanjutan yang inklusif artinya, pembangunan pertanian haruslah seiring dengan sektor lain yang terkait di dalamnya.
Pembangunan pertanian merupakan salah satu bagian dari mata rantai gerakan perubahan seiring dengan pembangunan pariwisata sebagai prime mover untuk mencapai masyarakat sejahtera. Karena itu, pertanian tidak dilihat terpisah dan berdiri sendiri lepas dari konteks pembangunan pariwisata. Begitupun sektor lain semisal peternakan dan perikanan.
Mengapa pertanian sebagai salah satu kunci perubahan sosial ekonomi di NTT? Karena pertanian adalah salah satu mata rantai signifikan yang menyumbangkan supply chain pendukung gerakan pariwisata tersebut.
“Pertanyaan kuncinya ialah bagaimana mengkonstruksi grand design pertanian NTT dalam konteks pariwisata sebagai prime mover pembangunan?” Tanya Gubernur yang dijawab sendiri dengan mengatakan, yang pertama diubah adalah mindset komunitas pendidikan di NTT. Mindset perlu segera diubah agar sekolah dan pendidikan tinggi tidak selalu berorientasi menjadi pegawai negeri sipil. Misalnya, Fakultas Pertanian Undana, memiliki banyak mahasiswa. Mereka harus memulai karya intelektualnya dengan penerapan ilmu pengetahuan pertanian melalui praktek lapangan.
“Kesan saya, pendidikan di Universitas, khususnya di Fakultas Pertanian, hanya tertarik untuk belajar ilmu pengetahuan ilmu pertanian, tetapi tidak tertarik untuk menjadikan ilmu pertanian itu dalam konteks mobilisasi kemakmuran minimal untuk dirinya sendiri dan keluarganya,” ujar Gubernur Victor.
Dia menambahkan, mahasiswa tidak perlu membantu masyarakat. Tetapi sudah cukup jika setiap mahasiswa Fakultas Pertanian membantu dirinya sendiri dengan cara mengolah lahan pertanian sendiri sebagai ajang uji coba ilmu yang dipelajarinya di kampus. Jadi teori 40 persen, tetapi praktik 60 persen.
Gubernur Victor menyebutkan, di sektor penyiapan pakan ternak. Tercatat kebutuhan pakan ternak untuk kepentingan kalangan sendiri di NTT minimal 200.000 ton pertahun. Harga rerata perkilogram Rp.10.000.
Marilah kita membayangkan, berapakah kiranya total keuntungan penjualan pakan ternak untuk kalangan sendiri di NTT jika mahasiswa sejak kuliah sudah mulai menekuni bidang ini dengan sungguh-sungguh dan focus. Bukankah benar akan lahir orang-orang kaya muda di daerah ini.
Gubernur Victor menambahkan, ekstraksi dana untuk membeli pakan ternak di luar NTT pertahun Rp. 1,1 triliun. Itu artinya setiap tahun uang dari NTT mengalir keluar sebanyak itu.
“Marilah kita sama membayangkan bagaimana kiranya jika uang sebanyak itu berputar saja di NTT. Berapakah kiranya kemungkinan mobilisasi kemakmuran di daerah ini?” tanya Victor retoris.
Dengan menyebut peluang di dua sektor ini saja, pertanian dan pakan ternak, kita lalu mencatat bahwa sesungguhnya NTT ini tidak miskin. NTT memiliki banyak potensi ekonomi. Sayangnya, potensi ekonomi itu belum berubah menjadi benda ekonomi karena kita tidak berani mengambil langkah yang jelas dan sedikit kerja keras. “Saya dan Kak Josef datang ke NTT untuk mengeluarkan ini NTT dari belenggu rantai kemiskinan itu. Itulah tugas suci kami ke sini,” tandas Victor.
“Setelah seminar ini, saya bermimpi beberapa hari, atau minggu atau sebulan ke depan para mahasiswa mendatangi saya dan melaporkan bahwa para mahasiswa Fakultas Pertanian Undana mau menggarap lahan minimal satu hektar satu mahasiswa. Jika ada 1000 mahasiswa fakultas pertanian melakukan hal itu, saya sangat yakin, tak ada lagi sebutan rakyat NTT miskin dan melarat, karena ada 1000 ha hamparan pertanian yang diolah secara ilmiah dan menghasilkan puluhan ribu ton jagung atau tanaman berguna lainnya,” tandasnya.
Terkait dengan perspektif ekosistem berkelanjutan, Gubernur mengingatkan bahwa teoretis, lingkungan berkelanjutan itu harus diikuti penyelamatan lingkungan.
“Tetapi, dalam serial kunjungan kerja saya di daratan Timor dan Sumba, ditemukan kasus rakyat gemar membakar lahan milik mereka karena dianggap, setelah lahan dibakar, rumput baru untuk ternak tumbuh segar, dan dipercaya ada jenis kesuburan baru. Justru di situlah letak soalnya. Karena itu, saya lugas menegaskan, hentikan bakar lahan, sebab lahan yang sering dibakar tak hanya merusak lingkungan alam, tetapi juga kesuburan tanah berkurang, tempat dari mana mereka memperoleh kehidupan,” jelas Gubernur.
Dia menerangkan, dirinya telah mengingatkan berulangkali dengan keras para kepala desa, camat dan bupati untuk rajin turun ke rakyat mengontrol ketat para petani yang suka bakar lahan. Jika perlu diberi sanksi tegas agar jera.
Pada bagian akhir paparannya, Gubernur menandaskan: “Tidak mungkin kita berbicara pembangunan pertanian berkelanjutan tanpa pembangunan inklusif. Artinya, pertanian tak mungkin bebas dari penguruh sektor lain yang saling mendukung dan menyumbang perubahan sosial ekonomi di NTT. Bahkan tak mungkin bebas dari lingkungan strategis lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata adalah satu mata rantai yang saling sensitive dan kontributif baik dalam pengertiannya yang negative maupun positif”.
Perspektif Kultural
Rektor Undana, Prof. Dr. Fred Benu, menganalisis konteks mengolah ladang pertanian lahan kering berkelanjutan di NTT sebagai cara petani mengatasi problem ekonomi mereka. Serentak dengan itu pola pertanian juga sebagai pantulan dari cara pandang kebudayaan.
Bagi petani, cara bertani dan seluruh lingkup ritus atasnya, merupakan ekspresi cultural. Bekerja sebagai petani, tak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsiten, tetapi juga sebagai medan terap cultural yang dianggapnya baik dan benar.
Mereka menilai bertani sebagai solusi mengatasi tuntutan domestic kehidupan harian yang sering menindih petani. Karenanya, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan subsiten sekaligus sebagai mekanisme daur cultural yang menjanjikan kebaikan di kelak hari untuk komunitas mereka sendiri. Para petani bekerja dengan semangat pemenuhan subsisten.
Cilakanya, kultur ini kerap menggunakan cara-cara yang tidak efisien dan efektif. Bahkan tidak sensitive lingkungan. Secara berulang, petani dengan kultur ternak di baliknya, memandang lahan produktif seiring dengan pemanfaatan padang penggembalan ternak. Membakar lahan sebagai siklus bertani. Tetapi sekaligus sebagai mekanisme penyiapkan rumput ternak pada fase setelahnya.
Pada sisi lain, Rektor Undana itu terinspirasi pengaruh lima tahapan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ala Walt Whitman Rostow tahun 1960. Lima tahapan pembangunan yang dimulai dari masyarakat petani tradisional menuju masyarakat modern lepas landas. Tetapi, tampaknya teori Rostow tak cukup aksesibel dengan kondisi pertumbuhan ekonomi untuk konteks pertumbuhan ekonomi masyarakat petani NTT.
Dicatat, 10 tahun kemudian, Andre Gunder Frank sepertinya mengeritik Rostow dengan menyebutkan, sesungguhnya realitas ekonomi masyarakat memiliki ketergantungan pengaruh dari sistem sosial dan ekonomi politik di luarnya yang melahirkan Negara tengah (pusat) dan pinggir (peripheral).
Sepuh tahun kemudian, Konferensi Penang yang diikuti Negara-negara terbelakang mempertanyakan teori-teori ini. Disimpulkan, introdusir pembangunan di Negara belahan Asia Selatan ternyata tak membuahkan hasil menyenangkan bagi petani. Carl Lewis yang melakukan penelitian di Greater San Juan di salah satu cerukan kawasan Amerika Latin menyimpulkan bahwa masyarakat miskin justru memproduksi kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan itu hanya mungkin diubah dengan hadirnya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dan manajemen yang kuat. Karena pemimpin serupa itu akan menyelesaikan soal tanpa membuat soal baru.
Karena itu, Prof. Fred Benu menyimpulkan, rekayasa pembangunan sosial justru sangat diperlukan. Caranya, antara lain menghadirkan pemimpin (leader) dengan kepemimpinan dan manajemen yang sangat kuat. Kepemimpinan yang kuat akan memunculkan perubahan signifikan. Perubahan itu sensitive terhadap penderitaan rakyat sambil menghadirkan keberlanjutan ekosistem yang sensitive terhadap lingkungan sosial dan alam.
Maka pemimpin kuat diperlukan masyarakat petani. Pemimpin itu membebaskan mereka dari lilitan kultur bertani subsisten karena mereka pergi ke luar memandang cahaya baru bagi kehidupan mereka. (eka)