Oleh: Irvan Kurniawan
Editorial, VoxNtt.com-Dua bocah perempuan itu berlari sambil berpegangan tangan. Sesekali mereka menoleh ke belakang melihat ‘batuk’ Ile Ape yang mengeluarkan lava dan lahar.
Awan panas mendadak mengepul di atas langit-langit Lembata. Kedua bocah itu terus berlari dengan raut ketakutan yang terpancar dari wajah mereka. Keduanya mungkin sedang terpisah dari para orang tua di tengah hiruk pikuk insan Bumi menyelematkan diri.
Amukan Ile Ape tak terbendung. Tak ada yang mampu menahan. Isak tangis pecah. Kerapuhan manusia tergambar nyata di sana. Tak ada kata yang paling mujarab sebagai pelipur lara selain menyebut nama Tuhan. Ya, Tuhan menjadi satu-satunya harapan di tengah keterpurukan manusia.
Itulah sebabnya mengapa beberapa ibu berlari sambil menggendong patung Yesus dan Ina Maria. Bagi mereka, kemegahan duniawi tak lagi berarti selain mengandalkan Sang Ada, empunya hidup. Itulah sepintas gambaran dari huru-hara anak manusia di kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur, Minggu 29 November 2020.
Dalam sekejap, bencana itu menjadi kabar duka di seluruh negeri. Duka Lembata menjadi duka Indonesia bahkan dunia. Sebagaimana Covid-19, bencana vulkanik di Lembata menyulut solidaritas kemanusiaan. Letusan gunung berhasil menggetarkan rasa kemanusiaan melampaui sekat sosial dan budaya. Riuh Pilkada serentak tahun 2020 menepi sejenak. Perhatian tertuju ke sana.
Ile Ape Pesan Sekaligus Media
Letusan Ile Ape sepintas menjadi media pemersatu sekaligus membawa pesan reflektif. Sebagai media, Ile Ape berhasil menyatukan berbagai pikiran dan perasaan yang mungkin selama ini telah terpapar virus individualisme, egoisme dan hedonisme. Insan manusia di bawah kolong langit Bumi dipersatukan dalam frekuensi perasaaan yang sama yakni kemanusiaan.
Sebagai pesan, Ile Ape membawa makna bahwa manusia hanyalah secuil debu di alas kaki Penciptaan. Alih-alih menguasai jagat raya, bencana yang ada di depan mata tak mampu kita atasi. Pesan yang sama kurang lebih terpancar dari Virus Corona yang hingga saat ini belum lekas pergi. Ribuan nyawa sudah melayang, sementara kita masih menanti vaksin dalam ketidakpastian.
Kerapuhan manusia pada akhirnya tertutup oleh kesombongan dan nafsu serakah. Manusia hidup seakan-akan tidak akan mati dan mati seakan-akan tidak akan hidup kembali. Manusia mengejar uang hingga membantai sesama dan alam, seakan-akan tanpa pohon, tanah, air dan udara ia bisa hidup di ruang hampa.
Kemanusiaan yang ekslusif (antroposentris) juga sedang digugat. Manusia menganggap dirinya sebagai spesies paling pusat dan paling penting dari pada spesies lain. Hak Asasi Manusia juga perlu mempertimbangkan etika lingkungan. Bahwa pohon, binatang dan semua makhluk hidup punya hak untuk hidup dan berkembang.
Alam memang tidak bisa berbicara. Ketika pohon ditebang dan isi tanah dikeruk, mereka tak akan bersuara. Bisa jadi alam berbicara lewat bencana. Ia menangis mengeluarkan air mata api dari kawah Ile Ape. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memahami bahasa alam di balik setiap bencana.
Bahasa alam itu juga terungkap dalam perspektif folkloristik. Nenek moyang kita sudah mewanti-wanti melalui legenda dan mitos yang berisi pesan menjaga keberlanjutan lingkungan. Sebab alam adalah bagian lain dari tubuh manusia. Singkat kata dari Ile Ape, kita kembali diajarkan untuk solidaritas dengan sesama dan alam ciptaan.