Oleh: Melkisedek Deni
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
Beberapa hari lagi beberapa daerah di Indonesia akan melangsungkan Pilkada serentak. Pilkada akan diselenggarakan di 270 daerah yang meliputi 9 pemilihan gubermur, 37 pemilihan wali kota, dan 224 pemilihan bupati, termasuk bebarapa kabupaten di Nusa Tengggara Timur. Dalam Webinar Nasional Untuk Pembekalan kepada Seluruh Pasangan Calon dan Penyelenggara Pemilu (20/10/2020), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan bahwa para kontestan kepala daerah setidaknya membutuhkan Rp. 65 miliar untuk dapat memenangi Pilkada. Kita pun punya kecurigaan tersendiri pada Pilkada serentak kali ini.
Ongkos Politik Mahal
Di mana-mana ongkos politik amat mahal. Para kontestan pun mengeluarkan biaya politik tidak sedikit demi mendapat kendaraan politik mulai dari partai, biaya kampanye sampai dengan administarsi non-teknis.
Firli menyatakan rata-rata kemampuan dana para calon berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ialah sekitar Rp 18 miliar. Dari mana para kontestan memeroleh dana Rp. 65 M itu? Firli Bahuri menyampaikan hasil penelitian KPK bahwa rata-rata para calon kepala daerah menggunakan dana pinjaman dari pihak ketiga alias sponsor di luar partai.
Pada 2016, para kontestan yang ditunggangi oleh sponsor sebesar 82,3 persen. Hal ini jelas bwah sebelum terpilih menjadi kepala daerah, calon sudah menggadaikan kekusaannya dan melanggengkan penderitaan rakyat.
Ada semacam tren bahwa ongkos politik yang mahal, saran-prasarana dan fasilitas pemerintah mesti megah dan pengembalian modal sponsor dalam Pilkada dipandang lebih mendesak daripada mengabulkan aspirasi rakyat, pembangunan infrastruktur, infrastruktur sosial, mengurangi angka kemiskinan, pengangguran, masalah buta huruf, pelanggaran HAM, dan penderitaan rakyat.
Siapa sponsor yang menunggangi para kontestan dalam Pemilu? Sponsor dalam Pilkada ialah pemilik modal dan elite. Kaum kapitalis (pemilik modal; cukong) meminjamkan modal dan kaum elite menawarkan kompetensi/keahliannya dalam proses demokratisasi berlangsung. Para cukong sebagai investor ekonomi politik mencukongi seluruh proses politik, biaya kampanye dan pemungutan suara. Sedangkan elite pragmatis sibuk menjual pengetahuan dan keahliannya dengan membangun narasi-narasi besar selama proses demokratisasi. Kaum kapitalis dan elite pragmatis anonim, trans-nasional dan homogen. Mereka punya kekuatan yang mahabesar; melampaui politik identitas, gerakan populisme, klientalisme dan politik dinasti.
Praktik mahar politik, kapitalisasi politik perkoncoan, populisme, politik uang, dan serangan fajar senantiasa mencengkeram pesta demokrasi di tanah air. Setelah terpilih jadi kepala daerah, ia hanya sibuk mengembalikan modal. Buntutnya iala korupsi menggurita di mana-mana.
Oligarki Mengkapitalisasi Pilkada
Ketika kaum kapitalis, elite pragmatis dan birokrasi negara membaca tanda-tanda penderitaan dan kemiskinan rakyat, mereka bisa saja membentangkan jangkar pasar, bursa saham dan slogan diskon di mana-mana. Para calon sibuk melakukan perjalanan dan kunjungan ke daerah-daerah terpencil sambil mengumbar janji-janji politik; memberikan jabatan dan kedudukan tertentu, membangun infrastruktur dll. Birokrasi membangun kongsi politik dan memberikan dukungan melalui mobilisasi massa (Frans Obon, 2012: 69). Demokrasi disulap jadi pasar.
Pilkada menjelma menjadi peluang bisnis. Paradigma pasar berpenetrasi ke dalam kebijakan politik. Setiap kebijakan politik dan anggaran negara seakan-akan mesti diselaraskan dengan imperatif pasar. Hal ini tampak dalam segala produk perundang-undangan lebih memihak kaum bermodal besar daripada pemerintahan kerakyatan (demokrasi) dan kepentingan rakyat.
Penetrasi paradigma pasar ke dalam ranah politik dapat mengaburkan batas-batas antara kepentingan pasar dan peran negara; pemerintah dan para cukong; pemilik modal dan rakyat. Biasanya paradigma pasar disokong oleh oligarki bisnis-politis guna memperluas wilayah kekuasaan produksi dan kenaikan laba. Hal ini tentu saja dapat mempertajam kensenjangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat.
Pemerintah dan KPK menyebut kapitalisme politik sebagai fenomena. Bisa jadi, karena realitasnya lebih miris dari data yang diperoleh. Sebab menurut penilitian KPK sekitar 82 persen Pilkada dicukongi oleh segelintir orang super kaya dan elite pragmatis.
Pada Pemilu kali ini, demokratisasi bisa gagal menyumbat gerakan kaum oligark-kapitalis. Karena seperti Jeffery A. Wintters (2011:267) katakan bahwa “lembaga-lembaga demokrasi malah memberdayakan, dan bukan mengekang para oligark Indonesia sejak 1998. Lembaga-lembaga ini telah menyediakan arena untuk maraknya kerja sama dan persaingan antar-oligark”.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola membenarkan hasil penelitian Cyrus Network yang menyatakan hanya 57 persen responden yang menilai KPK masih bertaji (Alfian Putra Abdi, “Setahun Revisi UU KPK, Pemberantasan Korupsi Tinggal Retorika”, dalam Tirto.Id., https://tirto.id/setahun-revisi-uu-kpk-pemberantasan-korupsi-tinggal-retorika-f6cF, diakses pada 21 November 2020). Indikator Publik menyatakan hanya 24,7 persen masyarakat percaya pada kerja-kerja KPK. Terakhir, Charta Politika Indonesia menyatakan kepercayaan publik terhadap KPK hanya 71,8 persen.
Persekongkolan cukong, elite, birokrasi negara dan kontestan bisa disebut oligarki. Mereka yang kemudian mengatur, mengontrol dan mengendalikan setiap kebijakan dan anggaran negara. Negara (pemerintah) dan KPK membaca realitas itu, tapi seakan-akan pura tak paham. Mereka bertindak harus disemangati oleh modal lebih besar.
Warga negara tidak memiliki akses dalam menentukan kebijakan politik dan penyelenggaraan kekuasaan negara. Warga negara memandang persoalan distribusi ekonomi negara, pendidikan, infrastrukstur publik, pelayanan kesahatan, pemerataan pelayanan politis, pembangunan Sumber Daya Manusia, pembangunan Sumber Daya Alam, dan Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia merupakan masalah yang harus ditangani oleh negara.
Akibatnya warga negara menganggap pemenuhan atas hak-hak asasi ekonomi, hak-hak asasi untuk mendapat mengakuan tata cara peradilan dan perlindungan, hak-hak sipil politik dan pengembangan demokrasi tidak penting lagi (Otto Gusti Madung, 2016: 18). “Ketika warga negara, kata Otto Gusti Madung, mereduksi Negara menjadi institusi pelayanan publik, maka ini menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya budaya politik patronase dan klientalisme”. Dengan demikian negara tetap menderita, dan “memapankan” keadaan yang ada.
Kapitalisme menciptakan persaingan antara perusahaan. Dalam demokrasi pun sarat terjadinya persaingan antara partai politik. Perusahaan-perusahaan berkompetisi menggaet masyarakat konsumen, sedangkan partai politik berkompetisi memperebutkan para pemilih (I. Wibowo, 2006: 148-149). Demokrasi, kata Wibowo, memberdayakan para pemilih, sedangkan kapitalisme memperbayakan para konsumen.
Monopoli pasar bebas dengan kredo minimal state selalu berdampak pada persaingan ekonomi lolos dari kontrol demokrasi. Hal ini tampak dalam kebijakan perusahaan yang tidak melibatkan negara dan kontrol kelas pekerja/ buruh. Intevensi oligark bisnis-politik ke dalam kebijakan politik mencederai sistem poliltik negara demi meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Merevitalisasi Demokrasi Pancasila
Sistem demokrasi Pancasila seringkali dikomersialisasi dan diperalat demi kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan universal bangsa Indonesia. Pilkada langsung oleh rakyat seringkali mencederai substansi demokrasi Pancasila. Hal ini tampak dalam bentuk politik uang, politik identitas, politisasi birokrasi, perkoncoan dan klientalisme.
Di tengah paradoks demokrasi seperti itu, kita harus membebaskan Indonesia dari cengkeraman oligark bisnis-politis dengan agenda neokolonialisme pasarnya. Agenda neokolonialisme pasar ini dikampanyekan oleh perusahaan multinasional (multinational corporations: MNC), yang didukung oleh tiga organisasi internasional: IMF, World Bank dan WTO. Pemerintah (negara), birokrasi negara, ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial masyarakat mesti merevitalisasi substansi demokrasi Pancasila kepada seluruh warga negara Indonesia.
Demokrasi Pancasila mengantar seluruh warga negara mencapai kesetaraan dalam pluralitas dan multikulturalisme. Demokrasi Pancasila dapat menjamin kembali kesamaan hak dan kewajiban warga negara dengan latar belakang yang berbeda-beda. Demokrasi Pancasila mesti menjadi preferensi politik negara Indonesia, bukan preferensi pasar a la neokapitalisme.
Melkisedek Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT