Ende, Vox NTT-Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, NTT kembali erupsi pada Minggu (29/11/2020) sekitar Pukul 09.45 Wita. Erupsi gunung itu sudah terjadi sejak tahun 1660 hingga terjadi kenaikkan aktivitas vulkanik pada tahun 1939 dan tahun 1951. Letusan terdahsyat pada tahun 1966 dan 1985 yang meluluhlantakkan Pulau Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) kali ini kembali menetapkan status aktivitas vulkanik Ile Lewotolok dari waspada (level II) menjadi status siaga (level III). Dengan menetapkannya status itu, masyarakat di Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Ile Ape Timur akhirnya dievakuasi.
Berdasarkan rekapitulasi Pemerintah Kabupaten Lembata melalui Koordinator Kabid Humas, Markus Labi, per 7 Desember 2020 terdapat 8042 jiwa dari 933 kepala keluarga yang kini tercatat sebagai pengungsi. Tidak terkecuali, pemerintah setempat juga mencatat ada 618 anak-anak mengungsi akibat bencana tersebut.
Para pengungsi dua kecamatan tersebut dievakuasi dan tempatkan di posko pemerintah dan rumah-rumah warga Kota Lewoleba.
Metode Trauma Healing
Tidak hanya pemerintah, para aktivis dan relawan kemanusian yang tergabung dalam lembaga swasta juga turut menangani para pengungsi, terutama yang menyebar di pemukiman warga Lewoleba. Hal itu karena sistem penanganan pemerintah yang dianggap administratif ber-birokrasi cenderung lebih lemah menangani para pengungsi.
Kelemahan itulah justru berpengaruh terhadap psikis para korban terutama lansia, ibu hamil, kaum disabilitas dan anak-anak.
Lembaga Barakat, salah satu wadah yang terhimpun dari berbagai relawan aktivis kemanusian terjun langsung dalam penanganannya. Disaksikan VoxNtt.com pada Sabtu (05/12/2020) mereka nampak menyisir dan memberi edukasi terhadap para korban di beberapa rumah warga setempat.
Adapun fokus penanganan oleh Lembaga Barakat yakni kaum disabilitas, ibu hamil, lansia dan anak-anak.
Ketua relawan Posko Barakat, Benediktus Bedil Pureklolon memandu kunjungan rumah pengungsi di wilayah Lamahora. Bersama para relawan dari Forum Peduli Bencana Kabupaten Ende untuk Lembata dan Komunitas Jalan Kaki (KJK) Maumere, mereka melakukan edukasi terhadap para pengungsi.
Para relawan tersebut juga menerapkan metode pemulihan trauma atau trauma healing kepada anak-anak. Mereka diajarkan berdongeng, menyanyi dan bercerita.
“Anak-anak ini kan butuh permainan, butuh hiburan butuh sentuhan edukasi yang serius karena mereka sangat sensitif. Mereka sangat bahagia, rupanya,” kata seorang relawan.
Sementara Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday menyatakan saat ini pemerintah pusat telah memberi akses internet gratis untuk digunakan anak-anak korban bencana. Akses internet tersebut dimaksud untuk membantu anak-anak belajar dan bermain.
“Mereka di pengungsian nanti diberi akses internet oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Kominfo RI. Mereka bisa bermain, belajar atau hiburan untuk mereka,” kata Thomas.
Traumatis
Saat ini Gunung Lewotolok masih terus erupsi, meski berskala kecil. Tidak hanya itu, gunung yang ketinggian 1319 mdpl itu mengeluarkan suara gemuruh lemah disertai gempa vulkanik di tengah intensitas curah hujan yang tinggi. Situasi panik yang mencekam ini pun meninggalkan bekas trauma di hati dan pikiran banyak orang termasuk anak-anak di Lembata.
Masyarakat setempat saat ini memang mengalami kecemasan dan putus asa. Rasa depresi dan tidak berdaya lazimnya menjadi problem serius, terutama bagi anak-anak. Di tengah situasi mencekam, penting bagi anak-anak dan orang dewasa untuk mendapatkan pelayanan pemulihan trauma atau trauma healing.
Direktur Lembaga Paula Ndolu Partners Conseling (LPNPC), Paula Ndolu menyatakan anak-anak dan ibu hamil sangat rentan mengalami kegoncangan jiwa akibat dari suatu peristiwa luar biasa. Bahkan sangat mempengaruhi terhadap kehidupan anak selanjutnya.
Paula berpendapat untuk menekan rasa trauma anak yang berkepanjangan maka diperlukan pemulihan serius.
“Karena pada usia itu, anak lebih rentan menangkap segala kejadian dan itu terekam dalam otak bahkan memberi peluang dampak negatif anak pada usia selanjutnya,” katanya.
“Nah, pemulihan itu bermacam-macam dalam bentuk apapun. Dalam bentuk permainan, hiburan atau metode lainnya,” sambung Paula.
Secara umum, lanjut Paula, anak belum memiliki kematangan emosional untuk menepis semua peristiwa luar biasa seperti bencana. Sebab, kondisi pikiran anak masih sangat labil sehingga sangat rentan terjadi suati gejolak pada diri anak.
Oleh karena itu, kenyamanan anak perlu diperhatikan secara serius untuk menekan rasa sugesti negatif anak akibat dari suatu peristiwa yang mengerikan.
“Jangan sampai pikiran anak-anak itu kosong karena anak tidak mampu melindungi diri sendiri. Sehingga bukan hanya kebutuhan material tapi rasa nyaman harus terpenuhi,” tutur Paula.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba