Oleh: Matheus Tri Hendratmo Beke
“Jika saya harus dihukum mati, itu tidak mengherankan saya, sebab demikianlah nasib dari para penegak kebenaran”
Pernyataan filosofis Sokrates di atas dilatarbelakangi oleh realitas kemunafikan sistem demokrasi awal Yunani yang lebih mengekspresikan kekuasaan yang sewenang-wenang ketimbang keadilan. Sokrates dihukum mati atas tuduhan konspiratif-politis; memprovokasi dan menghasut kaum muda Athena. Hal serupa juga dialami oleh Almarhum Munir, seorang aktivis yang gigih mengutuk dan mengkritisi paham-paham keliru yang memicu ketidakadilan struktural di negeri ini. Munir memiliki totalitas dedikasi menggapai keadilan dan merealisasikannya dengan konsekuensi bahaya, kematian. Tidak terbayangkan nestapa dan rasa kehilangan bangsa ini, tatkala seorang Munir menjadi korban konspirasi politik orang-orang gila dan tidak bertanggung jawab di negeri ini. Berhadapan dengan realitas percaturan politik tanah air, masih relevankah spirit dan perjuangan Munir memantik militansi dan kepekaan aktivis ketika berhadapan dengan berbagai bentuk distorsi dengan segala konsekuensinya?
Signifikansi Aktivisme di Hadapan Politik Praktis
Pergerakan aktivis mahasiswa selalu berbenturan dengan situasi demokrasi dan perpolitikan di Indonesia yang kerap menyimpang dari apa yang diharapkan bersama. Dalam konstelasi perpolitikan dewasa ini, sinisme kerap terlontar tatkala kaum yang menamakan diri ‘aktivis’ berhadapan dengan politik praktis. Di sini, term politik praktis secara terbatas merujuk pada politik penyelenggaraan negara. Sinisme yang berhembus kencang akhir-akhir ini diafirmasi oleh sederet prestasi minor yang berhasil ditorehkan para praktisi politik atau politisi, di antaranya korupsi. Dalam lanskap perpolitikan tanah air dapat kita saksikan bagaimana para politisi kita mengalami apa yang disebut degradasi moral atau penyusutan moral. Pandangan ini melahirkan serentak membakukan sebuah standar etis bagaimana bersikap terhadap politik. Politisi yang terjun langsung ke dalam politik praktis diasosiasikan sebagai kaum yang telah kehilangan kredibilitas moral. Dunia politik dipandang kotor dan penuh tipu muslihat sehingga orang-orang yang berkecimpung di dalamnya mau tidak mau (conditio sine qua non) mesti bermain kotor. Dunia politik merupakan suatu anggapan publik sebagai dunia berlumur dosa dan penuh permainan kotor atau juga dicerca ketika harapan-harapan justru pecah seperti buih karena ulah destruktif para elit politik. Di samping itu, orang-orang yang tidak terjun ke dalam dunia politik praktis dinilai masih bersih moralnya.
Di tengah kerinduan yang besar akan reformasi kaum aktivis diharuskan bersikap terhadap politik praktis ada semacam romantisme aktivisme yang berkelebat di kepala berhadapan dengan birokrasi kita yang carut-marut. Aktivisme ’98 dan perjuangan mahasiswa serta kalangan bawah yang dapat dirunut ke belakang menjadi semacam sebuah imperatif bahwasanya terhadap polusi demokrasi kita mesti berjuang. Ikim politik pada era Orde Baru yang ditandai dengan krisis moneter yang menghantam bangsa Indonesia dan wabah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) mengharuskan aktivis mahasiswa dan kalangan bawah turun ke jalan untuk bersuara menolak segala bentuk kediktatoran Presiden Soeharto. Aktivisme adalah sebuah gerakan bersama mengganyang kekuasaan yang korup. Sejak masa Orde Baru politik ditandai dengan sebuah ikhtiar mulia melaksanakan asas Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun, praktisnya ikhtiar itu hanyalah sebuah kedok untuk melanggengkan status quo. Daya kritis ditumpulkan seiring pembredelan atas beberapa media massa atau pers sebagai corong demokrasi. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai sebuah model politik yang mulia pun dibajak. Tumbangnya rezim yang dinahkodai ‘ jenderal yang senantiasa tersenyum’ ini memunculkan asa bagi tumbuhnya iklim politik yang lebih demokratis. Namun, roda politik yang menggelinding sejak runtuhnya rezim Orba hingga masa reformasi sekarang pun tidak menampakkan sebuah vitalitas atau daya hidup. Mau dibawa ke kiblat mana demokrasi bangsa Indonesia?
Aktivisme punya posisi yang strategis untuk merongrong sistem yang korup. Ia menjadi semacam watchdog yang bisa menggonggongi elit politik yang menyimpang dari politik yang mengutamakan asas-asas demokrasi. Hal ini penting mengingat bahwa para politisi kita sedang terjangkit sebuah kegagapan aksiologis, ketimpangan antara perkataan dan perbuatan. Di muka rakyat yang polos kebenaran diumbar dan dijanjikan buat dijunjung sementara di belakang layar mereka justru bercumbu dan bersetubuh dengan oligarki demi keuntungan pribadi.
Restorasi Idealisme dan Pergerakan Aktivisme Mahasiswa
Menyoroti realitas yang terjadi dewasa ini seiring masifnya perkembangan teknologi dan informasi, ada beberapa hal yang menjadi problematika sekaligus atensi bagi signifikansi aktivisme mahasiswa masa kini dalam menjawabi tantangan jaman: pertama, budaya baca sebagai opsi solutif menumbuhkan daya kritis. Menjadi aktivis tidak sekadar mengeksposisikan penampilan fisik dan posting-posting di media sosial yang tidak berdaya produktif, namun lebih jauh bagaimana bisa bersahabat dengan banyak literasi yang mampu menggebrak dan merubah pola pikir yang kritis. Budaya baca melatih berpikir kritis, sistematis, komprehensif, dan akuntabilitas serta menjadi bekal merestorasi idealisme mahasiswa masa kini dalam menanggapi setiap polemik yang terjadi dalam realitas. Kedua, militansi dan kepekaan terhadap situasi sosial. Generasi muda intelektual perlu mengambil peran melawan dan mengkritisi setiap penyelewengan kebijakan yang merugikan banyak orang. Militansi dan konsistensi perlu dibentuk sedemikian rupa sehingga setiap perjuangan pergerakan murni demi kepentingan dan kemaslahatan bersama, bukan kepentingan milik segelintir pihak ataupun diboncengi oleh kepentingan politik.
Satu hal yang mesti diberi atensi adalah pergerakan aktivis harus senantiasa dilandasi oleh upaya transformasi dan kontribusi secara optimal sehingga bersifat adaptif dan compatible dengan perkembangan zaman. Maka pola dan strategi pergerakan harus senantiasa diperbaharui sesuai tuntutan realitas sosial politik pergerakan aktivis dengan mempertimbangkan situasi, kondisi, sikap-sikap, dan momentum yang tepat. Gerakan yang sekadar memobilisasi massa tanpa sebuah postulat rasional bisa jadi terjebak dalam anarkisme dan radikalisme. Tidak cukup mendulang animo silent majority yang sudah muak dengan rezim yang timpang, rakyat pun mesti diberikan seperangkat pengetahuan mengenai arti dan tujuan pergerakan. Akhirnya, aktivisme harus dibangun dengan prinsip anti-elitisme. Ia bukan semata-mata gerakan milik mahasiswa atau kaum berintelek saja. Dalam arti tertentu ia mesti melewati batas tembok-tembok kampus dan dibumikan dalam sanubari rakyat yang akhir-akhir ini keracunan apatisme terhadap para praktisi politik.
Penulis adalah mahasiswa Semester VII STFK Ledalero, juga aktivis PMKRI Cabang Maumere St Thomas Morus