Oleh: Fersi Darson
Kemarin, Ayah tiba di rumah setelah kurang lebih satu minggu dalam perjalanan dari Kalimantan menuju Manggarai. Ia senang sekali, akhirnya bisa menginjakkan kaki kembali di kampung halaman dengan selamat setelah 12 tahun mencari kemurahan hidup di perantauan.
Sesuai anjuran Pemerintah Desa, Ayah mesti menjalankan karantina mandiri selama14 hari. Apabila selama 14 hari tidak merasakan sesak napas, flu, dan demam, maka ia boleh bebas. Kami berharap ia baik-baik saja. 14 hari masa karantina lekas berlalu.
Ayah sebenarnya tidak punya rencana pulang ke kampung halaman. Katanya: sebagai Ayah yang bertanggung jawab, ia belum menuntaskan satu tanggung jawab besarnya. Di benaknya, punya satu tugas, tidak lain adalah perkuliahan saya. Ia pulang ke kampung halaman jika kuliah saya sudah selesai. Ia sangat tidak ingin ada kendala keuangan yang mengganggu kelancaran kuliah saya.
Kini, Covid-19 mengharuskan kami melakukan kuliah jarak jauh. Saya merasa sangat bahagia, kuliah dari rumah akhirnya membuat saya bisa berjumpa dengan Ayah yang selalu kurindukan dan selalu kuingat selamanya.
Meskipun sebelumnya Ayah tidak punya rencana pulang kampung secepatnya, namun ia terpaksa menuruti kenyataan yang melanda dunia saat ini. Virus corona tidak hanya menyerang kesehatan manusia namun juga memberikan dampak yang menjalar ke berbagai aspek dan sektor kehidupan manusia. Virus corona yang mengatur segalanya.
Dampak virus corona inilah yang membuat Ayah terpaksa pulang ke kampung halaman. Pilihan itu memang satu-satunya terbaik. Ia mesti pulang kampung karena tidak bisa bekerja di sana. Perusahan tempatnya bekerja ditutup sementara, entah untuk berapa lama. Tentu yang pasti semasa virus corona yang sampai saat ini belum tahu sampai kapan baru mereda dan berhenti memakan korban jiwa.
Ayah pulang tidak membawa oleh-oleh dan kejutan untuk keluarga. Tetapi bagi keluarga itu tidak penting saat-saat begini, yang penting uang cukup untuk ongkos pulang dan selamat dalam perjalanan sampai tempat tujuan. Itu saja yang kami harapkan.
Mengingat virus yang mematikan itu juga, semua orang selalu waspada. Beberapa hari lalu, saat Ayah dalam perjalanan, kami berpesan kepadanya lewat telepon, agar menjaga dirinya baik-baik dan kurangi kontak fisik misalnya tidak berjabat tangan dan jaga jarak selama dalam perjalanan. Kami juga berpesan kepadanya: ketika sampai di kampung, tidak usah berpelukan dan berpegangan tangan dengan kami atau dengan sispa saja. Hal ini terpaksa harus dilakukan agar dunia pulih kembali. Apalagi Ayah datang dari Kalimantan, daerah yang sudah dinyatakan zona merah.
Dalam keadaan seperti ini, kami mesti mampu menahan diri agar tidak melempiaskan rasa rindu yang terpendam selama bertahun-tahun. Kami berusaha untuk tidak melempiaskan pelukan rindu kepada orang terhebat dan tidak mau dibilang pahlawan keluarga itu.
Selebum Ayah tiba, kami telah menyiapkan sebuah ruang tengah yang berada di antara dapur dan rumah untuk Ayah mengkarantina diri. Selain menyiapkan itu, kami juga sudah menyiapkan semua keperluan Ayah saat menjalankan katantina mandiri itu. Saat ia masih dalam perjalanan, kami sudah memberitahukan itu semua.
***
Kakakku yang nomor satu sudah tamat SMA-nya. Ia, berencana untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di kota karang.
Sebelum kakakku melangkahkan kaki untuk meninggalkan keluarga dan kampung halaman, Ayah dan Ibu membekalinya dengan berbagai hal. Doa, motivasi, pesan, etika, dan semua cara hidup yang baik di tanah orang disampaikan Ayah dan Ibu kepada putri semata wayang mereka itu. Ayah dan Ibu sama sekali tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada putri tunggal mereka itu.
Awalnya, Kakaku, Kakak satu-satunya, tidak berminat mengambil jurusan bagian keguruan. Ia lebih tertarik untuk mengambil jurusan kesehatan. Mimpi besar untuk menjadi seorang perawat ingin sekali ia perjuangkan. Menurutnya, menjadi seorang perawat adalah manjadi seorang penolong bagi orang lain. Perawat baginya adalah profesi yang paling mulia.
Ayah dan Ibu sangat senang dengan niat dan cita-cita besarnya. Setelah Ayah menghitung-hitung biaya pendidikan yang tertera pada brosur promosi kampus yang cukup terkenal itu, satu berbanding dua dengan biaya kuliah keguruan. Sangat mahal. Sementara penghasilan Ayah dan Ibu yang bersandar pada kemurahan tanaman musiman di kampung tidak seberapa.
Kakak adalah anak yang sangat paham dengan ekonomi keluarga kami. Ia berusaha memutuskan dan menggugurkan mimpinya untuk menjadi perawat sejati. Meskipun hal itu berat baginya, entah apa lagi yang boleh dibuat, selain menuruti kenyataan itu.
Sedangkan aku, masih berumur 10 tahun. Umur Aku dan Kakak memang berselisih sangat jauh. Ayah bermimpi besar tentangku, selain menjadi generasi penerus yang baik, ia juga bermimpi agar ijazahku mesti berbeda dengannya.
Ia berijazah SMA. Menurutnya, aku harus meraih gelar minimal S1. Untuk itu, ia selalu berjanji akan melakukan apa saja jika urusan sekolah anak-anaknya yang menjadi alasan.
Aku seorang bocah nakal dan selalu berbuat yang aneh-aneh. Karakterku sangat berbeda dengan Kakak yang lugu dan tak banyak tingkah itu. Tidak heran, jika sedikit orang membandingkan aku dengannya karena memang dominan begitulah karakter perempuan.
Tetangga dekat kami terkadang berkata: engkau tak usah sekolah saja nana, kau terlalu nakal. Namun, Ayah tetap optimis dan selalu berjuang agar aku menjadi anak yang rajin dan pandai serta berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Ia selalu yakin dengan kata dokter waktu saya masuk rumah sakit akibat jatuh dari pohon mente. Dokter itu berkata: anak yang nakal dan aktif bermain itu anak yang pintar.
Entah kenapa dokter itu berkata demikian. Dan entah kenapa Ayah juga sangat yakin dengan perkataan itu. Sejak kelas satu, saya selalu mendapatkan pringkat terbaik. Ayah sangat bangga dengan prestasiku itu.
Seiring waktu berlalu, Kakak hampir menyelesaikan kuliah semester limanya.
“Ayah, sebulan lagi kami KKN. Registrasi KKNnya akan bersamaan dengan Regitrasi semester. Ayah mesti menyiapkan lebih 2 juta dari jumlah regis semester sebelumnya”. Kata Kakak dalam telepon.
“Iya, Anakku, Ayah dan Ibu pasti usahakan”. Timpal Ayah saat itu.
Dari anak sepupunya yang baru selesai kuliah, Ayah tahu bahwa semeater-semester terakhir seperti itu adalah puncak kesibukan mahasiswa. Bukan hanya kesibukan, permintaan uang untuk berbagai jenis kegiatan kampus pun sangat banyak. Misalnya, kegiatan Magang, KKN, dan lain-lainnya. Intinya, Ayah tahu bahwa semester enam, tujuh, dan terakhir adalah puncak kesibukan perkuliahan dan membutuhkan biaya sangat banyak. Sehingga permintaan Kakak tidak mengheran Ayah dan Ibu.
Sebenarnya, Ayah dan Ibu tidak bisa berpikir lagi, bagaimana caranya untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Pikirannya penat namun tidak pernah putus asa. Ayah dan ibu selalu mencari cara untuk hal itu.
Ia berpikir bahwa satu-satu cara untuk menjawab permintaan Kakak adalah berutang. Entah kepada keluarga, tetangga, atau kenalan. Namun, di kampung semacam ini, tidak banyak orang yang punya uang banyak.
Tetapi, biasanya yang pegang uang banyak itu adalah ibu-ibu yang suaminya merantau ke seberang laut, seperti Kalimantan atau Malaysia. Itu juga tidak semua isteri perantau, karena banyak juga perantau di kampung kami yang tidak mengirimkan uang untuk keluarga yang ditinggalkan.
“Enu, saya dengar suamimu ada kirim uang. Bisakah, tolong bantu saya dulu. saya harus mengirimkan uang untuk regis anakku.”
“Nana, saya bisa membantumu, tetapi tiga bulan lagi, tepat musim kemarau tiba, kami harus membangun rumah baru. Itu kata suamiku.”
“Kalau begitu, tolong bantu saya dulu, Enu, saya akan berusaha untuk menggantinya dalam waktu dekat”.
Ayah berkunjung ke Tanta Susan, tetangga kami yang suaminya lama di Kalimantan. Ayah tahu, Tanta Susan dua hari lalu dikirimi uang oleh suaminya.
Permintaan Kakak yang selalu bertambah setiap bulan dan setiap semester tidak bisa ayah hadapi dengan mengandalkan penghasilan di kampung. Satu-satunya jalan keluar yang Ayah pilih untuk menjawab semua itu adalah merantau ke Kalimantan. Ayah memilih ke sana karena terbukti: Om Nadus, suami Tanta Susan itu sukses dan bisa membangun rumah mewah.
****
Satu minggu pertama masa karantina mandiri sudah selesai. Selama itu juga semua proses berjalan dengan baik dan lancar. Semua kebutuhannya kami sediakan. Kami menjalankan proses itu dengan sangat dan amat hati-hati. Selalu menjaga jarak dan memakai masker setiap saat jika berada di rumah.
Setelah satu minggu mendekam dalam kamar kecil tanpa melakukan kontak fisik sedikit pun, kami sangat mengharapkan agar hari-hari selanjut sampai hari ke-14 kami lalui dengan cepat dan tidak terasa. Kami ingin agar Ayah lekas menyelesaikan masa karantinanya dan bisa disimpulkan tidak terinfeksi virus mematikan itu.
Tepat satu minggu satu hari setelah itu, Ayah mengalami perubahan. Perubahan itu membuat Ayah segera dan secepatnya keluar dari ruang isolasi kecil itu. Kami tidak tega mendengar suaranya dari balik dinding ruang kecil itu.
Ayah memiliki tubuh yang tidak seperti waktu ia pergi merantau. Tubuh yang sedikit berisi saat itu telah hilang. Ia pulang dengan tubuh yang tidak berisi dan lengannya penuh timbunan urat. Kami sangat tahu bahwa hal itu bertanda betapa kerasnya hidup di perantauan.
Ayah menunjukkan gejala sesak nafas, batuk, flu, dan demam. Dari spanduk sosialisasi Tim Percepatan Penanganan Covid 19 di perenpatan jalan, saya tahu bahwa tanda-tanda seperti yang dialami Ayah adalah tanda-tanda terinfeksi virus corona.
Dengan secepatnya saya melaporkan hal itu kepada kepala desa kami. Ia kepada Tim Gugus Tugas tingkat kecamatan dan sampai kepada tingkat kabupaten.
Sehari setelah pengambilan Swab dan dinyatakan positif virus corona. Ayah mengembuskan nafas terakhir di tempat karantina umum yang disiapkan oleh pemerintah daerah.
Terik mentari di perantauan menyisakan kulit dan tubuh yang kumal membuat virus corona dengan mudah dan halus menelan hidup Ayah. Ayah meninggalkan duka yang begitu dalam kepada kami sekeluarga. Kami tidak pernah menyangka Ayah pulang untuk berpulang menuju kehidupan abadi di surga.
Kutuluskan ini untuk Kakakku yang lama menjadi guru honorer di salah satu SMA Swasta dan lulus seleksi PNS beberapa bulan lalu. Aku bersandar padamu.
Keterangan:
Enu: panggilan orang Manggarai untuk perempuan yang bukan ibu kandung dan relatif umur sama dan kurang dari umur penutur.
Nana: panggilan orang Manggarai untuk laki-laki yang bukan ayah dan umur relatif sama dan bahkan kurang dari umur penutur.
*Penulis: Mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng.