Wabah
Ketika wabah Covid-19 masuk ke dalam seonggok tubuhku,
Aku pun sedang keluar
Membagikan wabah ke arah siap saja
Panik!
Ketika sirene berbunyi
Entak kaki langit yang berdebam menjemput debu kita
yang tekubur musnah dalam pandemi Covid-19
Kita seketika duduk di atas kepanikan dalam dilema
desah percakapan menggigilkan jam dinding
memeluk kegetiran, kita saksikan lagi pembacaan obituari di sana
gema dalam panik.
Hari-hari kita sibuk menerka-nerka: siapa lagi yang meronta-ronta dalam kegelisahan,
Siapa lagi yang dipeluk kemalangan menuju kesepian kekal?
Di pintu pandemi Covid-19 yang buru-buru menjemput kita berangkat ke sepi,
Menghapus batas dengan duka
Di jendela lapuk bayang-bayang maut diam-diam menangkap percakapan kita
Ke mana lagi percakapan kita, ketika kita lupa Bahasa; masih ada esok!
Bolehkah jadwal keberangkatan kita tunda esok?
Aku masih miskin segalanya. Aku ingin hidup seribu tahun lagi!
Dilema
Ketika aku bejalan di belakang dukanya, rasanya gerah penuh seluruh
Bumi melegam dibakar terik duka kita,
mencucurkan embun ke dalam biji mata
dilumuri bercak-bercak darah duka kita yang tersayat
Roda zaman tak bosan-bosannya menggilas kita
Awan pun membagikan keringat kepada rumput di luar
Pohon menjelma biru dalam diam
Tapi kata-kata sudah disekap di antara kertas abu dan pena lebam
di ruang dilema; merawat kegelisahan masa lalu atau menolak duka yang terlampau nikmat!
Kau berbisik: Mengapa kita masih bahagia? Waktu pun susut
dalam musim ketidakpastian. Lalu ke mana lagi bahagia kita, ketika dilema
mengosongkan kata-kata di belakang gema. Sudah tiba saatnya, kita tidak di sana
dilema menjemput kita menuju ketidakpastian
Kita pun nyaris tak bebas, bukan?
Buku
Ketika malam tiba, kita masuk ke dalam buku
tenggelam dalam barisan kata yang tidak mengenal batas
di mana bayang-bayang percakapan pendek mendadak abu
dalam putih! Bayang-bayang kata memanjang di atas kertas putih
Jarak pun lenyap dalam gaib kata
Buku putih yang mengaburkan garis pada batas
seperti hujan terurai di batas kota, tak henti-hentinya menggoda biji mata
dan memercikkan racun-racun akut ke dalam batok kepala kita.
Batok kepala pun gundul pelan-pelan di atas bukit.
Dingin bunga di luar jendela menggigilkan malam dalam diam
Seketika itu kata yang abu berdiri di antara kata buku putih,
yang bertahun-tahun sibuk mengingat-ingat kita
di antara ruangan, rak, meja, kata, dan jendela.
Ketika kita memasuki ruangan ini,
Buku berdemonstrasi tiap kali kita cuek,
Sepi, bila kita tidak membelai dan bercakap-cakap dengan dia.
mencoba bunuh diri seketika kita tidak menulis.
Berjalan ke Seluruh Usia
Aku berjalan ke Desember di waktu tengah malam,
lembar tanggal tergulung pelan dalam diam
Usia mendahului langkahku dari depan
Aku berjalan menyaingi usiaku yang berjalan diam dan terus mengalir
Mendadak aku semakin miskin di belakang,
Aku mulai membaca kembali kisah, warisan dan surat cintaMu,
Kutemui diriku tak ada apa-apa, kecuali kuk masa depan.
Nubuat yang nyaris tak sempat dibayar tuntas.
Aku dan masa depan tidak pernah tahu tentang
siapakah yang menciptakan usia?
Aku dan usia tidak pernah tahu tentang
siapakah yang lebih dulu menangkap kami; esok atau kecelakaan?
Aku dan esok pun tidak pernah tahu tentang
Siapakah yang menciptakan kecelakaan?
Ketika kaudoakan namaku, aku sedang keluar sebentar.
Ketika doamu sedang keluar, akulah doamu.
09 Desember 2020
Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.