Oleh: S. Edi Hardum, S.H.,M.H
Sebagian besar masyarakat Indonesia salut kepala sikap tegas Polri dalam ini Polda Metro Jaya yang menahan petinggi Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab (MRS).
Alasan utama lelaki yang sempat kabur ke Arab Suadi itu ditahan karena dugaan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara. “Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Demikian bunyi pasal UU 160 KUHP. Rasa senang sebagian besar masyarakat Indonesia ini bisa terlihat komentar di media-media sosial dan media massa.
Polda Metro Jaya mulai menahan MRS sejak Sabtu (12/12/2020) seusai diperiksa selama 13 jam. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan, polisi menahan MRS dengan dua alasan yakni alasan yang bersifat objektif dan subjektif. Alasan objektifnya, karena ancaman terhadap MRS di atas lima tahun. Sedangkan subjektifnya agar MRS tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi perbuartan, dan mempermudah penyidikan.
Memang ada sebagian masyarakat Indonesia, terutama anggota FPI tidak menerima dengan tindakan Polri menahan MRS. Sebagian masyarakat yang tidak sepakat dengan tindakan Polri tersebut mendatangi kantor polisi setempat, untuk ikut ditahan sebagai solidaritas terhadap junjungan mereka, MRS.
Bahkan, pada Jumat (18/12/2020), ratusan masyarakat berunjuk rasa di dekat Patung Kuda Jakarta. Mereka ingin ke depan Istana Negara, mendesak Presiden agar MRS dibebaskan tanpa syarat. Mereka juga meminta agar para ulama yang sedang dibui karena melakukan tindak pidana dibebaskan.
Alasan para penentang tindakan tegas Polri adalah karena MRS adalah ulama. Selain itu, mereka menilai Polri menahan MRS karena melanggar protokol kesehatan. Bagi mereka melanggar protokol kesehatan tidak perlu dihukum. Seperti Musni Umar dalam akun twitter@musniumar menulis, ”Saya kutip 3 pakar Hukum Tata Negara yaitu Prof Mahfud MD, Prof Yusril dan Dr Fefly Harun. Ketiga pakar tsb menegaskan pelanggar protokol kesehatan tdk bisa dipidana. Pertanyaannya, mengapa HRS (Habid Rizieq Shihab) dipidana dan bahkan ditangkap dan dijebloskan ke dlm tahanan”. Pernyataan senada dengan ini ramai diviralkan para para pengikut dan simpatisan MRS. Mereka memojokkan Polri dan pemerintah.
Mereka tidak berusaha menyimak dan tidak paham atau sengaja tidak menghiraukan penjelasan Polri mengenai alasan MRS ditahan. Atau mereka sengaja menutup-nutupi tindakan yang dilakukan MRS sebagai alasan utama Polri menahannya. Mereka juga sepertinya tidak menyimak bahkan acuh dengan ucapan MRS yang bernuansa hasutan dan melawan penguasa negara, seperti TNI dan Polri.
Sebgian besar dari mereka percaya dengan agitasi dan berita hoaks bahwa Polri sedang melakukan kriminalisasi terhadap MRS dan ulama-ulama yang terbukti melakukukan tindak pidana lainnya.
Tujuan Penegakkan Hukum
Ada tiga tujuan hukum harus ditegakkan, dan tiga tujuan ini saling kait (Sudikno Mertokusumo, 2008: 160). Pertama, hukum ditegakkan untuk kepastian hukum (rechtssicherheit). Artinya, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu (equality before the law).
Setiap anggota masyarakat tentu mengharapkan hukum diterapkan dalam setiap kejadian atau peristiwa konkrit dan nyata. Setiap orang mengharapkan bagaimana hokum harus berlaku. Antara teori (das sollen) harus sama dengan dengan praktiknya (das sein).
Hukum tidak boleh menyimpang. Sehingga ada adegium Fiat Justitia et Pereat Mundus, walaupun dunia runtuh hukum harus ditegakkan.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yang pasti dan tegas terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang tertentu atau kelompok tertentu atau dari penguasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Kedua, hukum ditegakkan untuk kemanfaatan bagi masyarakat (zweckmassigkeit). Setiap anggota masyarakat pasti mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakan timbul keresahan di dalam masyarakat.
Jeremy Betham, penganut Teori Utilistis (Betham, 2019 :129), menegaskan, rasa aman yang merupakan tujuan paling hakiki dari hukum sebagai syarat-syarat ekspektasi. Tanpa hukum, tidak ada rasa aman, dan tanpa rasa aman maka nilai-nilai kelangsungan hidup, kemakmuran dan kesetaraan tidak akan dapat tercapai.
Menurut Betham, rasa aman itu sendiri tercapai karena karena terpeliharanya ekspektasi. Ekspektasi adalah firasat yang memberi setiap warga negara kekuatan untuk membentuk sesuatu rencana perilaku umum yang menjamin bahwa rangkaian momen yang membentuk kehidupan bukan titik-titik yang saling terpisah dan independen, melainkan menjadi bagian-bagian dari suatu keseluruhan yang saling berhubungan.
Betham menegaskan, hukum harus diketahui semua orang, konsisten dan pelaksanaannya jelas, sederhana dan ditegakkan secara tegas. Persyaratan yang terpenting adalah hukum harus didasarkan pada prinsip manfaat. Setelah itu, masing-masing syarat dipenuhi sebagai sesuatu yang sudah semestinya.
Penegakkan hukum harus memberikan rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Di sinilah masyarakat dari penegakkan hukum adalah memberikan efek jera kepada pelaku serta mencegah bagi anggota masyarakat lainnya untuk melakukan kejahatan yang sama atau yang dianjurkan oleh si pelaku kejahatan.
Ketiga, hukum ditegakkan untuk keadilan (gerechtigkeit). Artinya, hukum ditegakkan untuk memberikan rasa adil kepada masyarakat.
Menurut Sudikno, hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum: setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualitas dan tidak menyamaratakan. Adil bagi si A belum tentu adil bagi si B.
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan adalah kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanya kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan diabaikandan selanjutnya.
Untuk itu, kata Sudikno, dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara tiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktik tidak selalu mudah, mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.
Dugaan Tindak Pidana MRS
Polisi menetapkan MRS menjadi tersangka dan menahannya lebih kepada isi ceramah MRS pada acara Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Kediaman Rizieq Syihab, Jakarta Barat, Sabtu (14/11/2020) malam.
Dari video yang beredar, penulis mencatat ada beberapa ucapan MRS yang mengarah kepada dugaan tindak pidana penghasutan, dan penulis sangat percaya ceramah tersebutlah dasar polisi mengambil langkah tegas dan terukur.
Pertama, MRS menyindir pimpinan TNI yang menghukum seorang Prajurit TNI Serda BDS karena menyambut kepulangannya dari Arab Saudi, Selasa, 10 November 2020.
“Ada prajurit TNI, waktu saya pulang, buat rekaman sambut saya datang, bagus gak ? Eh ditangkep, diborgol, dipenjara. Yeeeeeeeeee,” kata Rizieq disambut tertawa oleh hadirin.
Menurut MRS adalah hal bagus apabila ada TNI yang mencintai seorang habib. “Katanya, katanya, katanyaa melanggar disiplin militer. Yeeeeee. Katanya, katanya, katanya, tidak sesuai sapta marga yeeeeee. Unyil,” ujar Rizieq yang disambut gelak ketawa para pendukungnya.
Kedua, pada kesempatan itu, MRS juga memprotes adanya perbedaan sikap antara apa yang dilakukan seorang Prajurit TNI tersebut dengan dinobatkannya cukong China dan pendiri Mayapada Group Dato Sri Tahir menjadi warga kehormatan Korps Brimob Polri.
“Seorang Prajurit TNI sambut kepulangan seorang Habib diborgol, dipenjara yang menarik cukong China, China lagi, cukong China digotong-gotong sama prajurit Brimob digotong-gotong ini China pakai nama Datuk Tahir, yeeee. Dari Mayapada ini cukong China dibopong oleh Brimob tak ada masalah saudara lalu kenapa ada TNI sekadar ucapkan selamat datang kok harus ditahan. Kurang ajar, goblok !” ucap Rizieq.
Ketiga, pada kesempatan itu MRS meminta agar siapa menghina ulama dan habib harus dihukum. Kalau tidak, jangan salahkan umat Islam memengggal kepala siapa saja yang menghina ulama atau habib seperti di Perancis.
Ucapan-ucapan MRS itu menurut penulis merupakan sebuah anjuran atau menghasut pengikutnya agar membenci TNI dan Polri, anti kepada warga negara beretnis China atau Tionghoa dan melakukan main hakim sendiri kepada siapa saja yang menghina ulama atau habib.
Padahal Indonesia adalah negara hukum. Artinya barangsiapa melanggar hukum harus dilaporkan kepada pihak penegakkan hukum agar diproses secara hukum, bukan main hakim sendiri seperti memenggal kepala.
Manfaat
Oleh karena itu, bagi penulis tindakan Polri menahan MRS sudah sangat tepat. Menurut penulis tindakan Polri menahan MRS lebih besar karena alasan kemanfaatan hukum sebagaiman dijelaskan di atas. Di mana dengan MRS ditahan, maka masyarakat menjadi tenang, timbul rasa aman dan nyaman.
Selain itu, tindakan Polri menahan MRS bertujuan memberitahu kepada masyarakat terutama para pengikut dan simpatisannya bahwa tindakan main hakim sendiri seperti yang terjadi di Perancis adalah yang tidak dibenarkan oleh hukum Indonesia. Selain itu, sindiran kepada TNI dan Polri juga tidak dibenarkan secara hukum. TNI menghukum anggota TNI yang bersikap memihak adalah sesuai dengan UU TNI. Demikian juga ucapan rasis terhadap Bos Mayapada Grup Dato Sri Tahir sungguh berlebihan yang bisa perang suku atau persekusian bahkan pemburuan kepada etnis Tionghoa di Indonesia.
Walau demikian, bagi penulis Polri menahan MRS juga demi tegaknnya hukum dan tercapai rasa adil. Hukum bisa menjerat siapa saja yang bersalah. Entah ia ulama, uskup, pastor pendeta, biksu atau bahkan menteri dan presiden kalau melanggar hukum yang harus dihukum. Jadi Polri menjerat MRS dengan Pasal 160 KUHP sudah tepat. Mari dukung Polri !!
Penulis adalah Praktisi Hukum, anggota Presidium Iska, dan anggota LBH Famara Jakarta