Oleh: Inosensius Sutam*
Kita masih dalam gema kegembiraan natal. Natal tahun ini secara nasional dan global bersifat spesial. Sifat spesial ini salah satunya karena perayaan kegembiraan umat kristiani ini berbarengan dengan wabah Covid-19.
Wabah ini telah menjadi mimpi buruk di sepanjang tahun 2020. Covid-19 telah menjadi monster yang menebarkan teror dan mimpi buruk bagi masyarakat manapun. Karena itu segala sesuatu menjadi tumpul dan buntu.
Covid-19 telah menjadi lubang hitam yang sulit diperkirakan. Ia menyulitkan orang untuk berjalan dan melihat.
Semua seperti tergerus olehnya. Ia
menjadi sentrum gravitasi yang menarik semua kepadanya.
Ada apa di baliknya? Ada apa setelah virus ini? Seperti apa hidup setelah ini? Ada banyak pertanyaan yang sulit dijawab. Walaupun demikian hidup harus berlanjut. Hidup harus dirawat dan dilindungi, apalagi di tengah pandemi ini.
Salah satu jalan adalah konsep new normal. Kita harus melihat secara normal semua standar protokol kesehatan di tengah pandemi ini.
Ini adalah sebuah budaya baru yang sebenarnya tetap menjadi lubang hitam bagi banyak orang. Lubang hitam karena ia menyita semua perhatian.
Lubang hitam juga karena masyarakat tidak mengerti, miskin, bosan, masa bodoh, pasrah, merasa repot, takut, marah, cemas, jengkel, tertekan, dan lain-lain
Di tengah lubang hitam budaya Covid-19 ini, kita membutuhkan terang dan cahaya yang menerangi jalan, memberi harapan, kekuatan, dan ketenangan.
Tentu ada banyak jalan yang bisa menjadi terang dan cahaya: IPTEK dengan berbagai jenis pengobatan dan perawatan, bimbingan konseling, koordinasi dan manajemen pandemi, dan lain-lain.
Tentu salah satu terang dan cahaya yang menjadi tempat sandaran juga adalah spiritualitas. Secara konkret spiritualitas ini adalah kegiatan rohani atau keagamaan.
Untuk yang beragama Kristen, natal barusan dirayakan. Natal itu pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Ini sebuah semangat.
Salah satu hal yang dilahirkan dan yang direnungkan dalam pesta natal adalah cahaya, terang. Awalnya dalam kebiasaan bangsa kafir saat natal ini adalah pesta dewa matahari yang menjadi sumber cahaya dan terang bagi alam semesta.
Orang Kristen awal dengan cepat melihat Yesus Kristus sebagai cahaya dan terang dunia, yang menghalau segala kegelapan.
Hal ini bersumber juga dalam kitab para nabi, antara lain Nabi Yesaya. Ia meramalkan terang dan cahaya yang akan datang bagi bangsa yang berjalan dalam kegelapan dan kekelaman.
Kristus adalah pembebas yang memberi terang bagi bangsa yang tertindas, yang berada dalam kegelapan hidup dalam berbagai dimensinya. Kristus adalah terang di tengah kegelapan dosa manusia.
Secara kontekstual, tidak salah jika kita melihat Kristus yang peringatan kelahirannya dikenangkan dalam pesta natal sebagai cahaya dan terang dalam masa pandemi Covid-19 ini.
Terang dalam hal ini tentu dimengerti dalam arti simbolis. Tentu dalam arti harafiah tak sedikit penderita Covid-19 yang mengalami kekuatan Tuhan dengan berbagai cara, sehingga sembuh dari cengkraman virus ganas ini.
Kristus sebagai terang dan cahaya yang secara khusus ditunjukkan melalui pesan natal juga memberikan sandaran sosial, kultural, ekologis, historis dan spiritual.
Secara spiritual, pesta natal menjadi terang bagi manusia karena pesta itu menunjukkan solidaritas Allah Bapa yang mau mengutus PuteraNya untuk keselamatan manusia.
Allah Putera yang mau menjadi manusia hina dan tinggal bersama manusia. Allah Roh Kudus yang memungkin inkarnasi Allah menjadi manusia.
Jelas dalam hal ini, kita tidak sendirian dalam sejarah hidup ini juga di tengah wabah Covid-19 ini. Allah Emanuel selalu beserta kita dan menguatkan kita.
Ia berjalan, menderita, dan bergembira bersama manusia. Dengan ini sejarah manusia dan sejarah keselamatan dipadukan dalam Kristus yang menjadi manusia.
Di sini dimensi spiritual natal yang bersentuhan dengan dimensi historis menjadi terang bagi kehidupan manusia.
Secara sosio-kultural, natal menjadi terang karena menumbuhkan dan menyempurnakan solidaritas dan persatuan antara manusia. Solidaritas para gembala adalah sumber inspirasi yang hidup.
Para gembala adalah orang miskin, kecil, dan terpinggir tetapi hati dan roh selalu terbuka kepada Tuhan dan sesama. Kekuatan solidaritas dan kerjasama dalam Covid-19 menjadi sumber pengharapan dan kekuatan untuk mengatasi dan mengalahkan Covid-19.
Bersama kita bisa adalah slogan yang penting dan efektif. Penghormatan dan partisipasi terhadap dan dalam protokol kesehatan dalam masa pandemi ini adalah bentuk solidaritas sosial dan kultural yang menjadi perwujudan iman dalam kehidupan bersama.
Dengan itu masyarakat menjadi rahim kasih yang menjadi terang dan bisa mengalahkan kekuatan destruktif apa saja, termasuk Covid-19 ini.
Kita melihat bahwa cahaya dan terang Kristus yang dirayakan dalam pesta natal adalah sumbu iman kita yang membakar dan menghidupkan badan, jiwa dan roh sehingga pikiran, kata-kata, perasaan, kehendak, tingkah laku dan tindakan kita dalam masa pandemi ini bisa menumbuhkan kekuatan personal, sosio-kultural, dan spiritual.
Ini adalah modal besar yang menjadi terang bagi jalan kita dalam berziarah mengarungi lubang hitam Covid-19 ini.
Inosensius Sutam adalah rohaniwan katolik dan dosen pada UNIKA St. Paulus Ruteng